And Then,
Aku pindah dari rumah orangtua ku ke apartemen teman dekat ku dan memulai segalanya dari awal lagi. Kecuali, hubungan ku dengan Mr.Backstreet. kami semakin sering berkencan, karena sekarang aku tak bisa di’mata-matai’ orangtua ku.
“Ai,....” Mr.Backstreet memberikan ku seuntai kalung dengan liontin yang sama dengan kalung yang dia pakai.
“Kalung? Untuk apa?” tanya ku menerima kalung yang masih didalam kotak itu dari tangan Mr. Backstreet.
“Untuk mu.” Ujar Mr.Backstreet.
Aku tersenyum. Lalu, menaruh kalung itu di tangannya.
“Kenapa? Kau tidak menyukainya, yaa?” tanya Mr.Backstreet.
“Bukan itu...” ujar ku.
“Kau sendiri kan yang bilang, aku baru boleh memberi mu hadiah setelah kita melewati 6 bulan.” Ujar Mr.Backstreet.
“Aku,... aku merasa aneh kalau memakai kalung ini sendiri...” pancing ku.
“Aku juga pakai” ujar Mr.Backstreet dengan polosnya.
Aku jadi tertawa sendiri. Pancingan ku benar-benar tak dimengerti Mr.Backstreet.
“Maksudnya aku tak bisa memakainya....” kata-kata ku segera di potongnya.
“Kau alergi pada logam tertentu, yaa?” tanyanya.
Aku jadi tertawa lagi. Dia mengenyitkan kening dan mulai mengelitiki ku.
“Kau ini kenapa?” tanya ku. “Sudah...sudah perut ku jadi sakit tau...” ujar ku sambil terkikih.
“Iya tapi, kenapa kau tertawa terus?” protes Mr.Backstreet.
“Bene kau tak mengerti, yaa? Rantai kaluyngnya pendek, jadi mana bisa aku memakainya sendiri..” Ujar ku lagi.
Mr.Backstreet menganguk seolah mengerti.
“Mengerti?” tanya ku.
Dia kembali menganguk. Aku pun kembali tersenyum menahan tawa.
“Kenapa?” tanyanya. “Aku mengerti, besok aku akan mengganti rantainya dengan yang lebih panjang.” Lanjutnya.
Tawa ku tak tertahankan lagi.
“Hei,... tertawa lagi...” protesnya sambil kembali mengelitiki ku.
“Ampun deh...” ujar ku.
Aku berusaha menenangkan diri dan menahan tawa ku.
“Maaf.” Ujar ku. “Maksud ku, aku meminta mu untuk membantu ku memakainya.”lanjut ku.
Mr.Backstreet jadi tertawa sendiri. Tapi, akhirnya kekasih ku yang polos ini mengerti dan membantuku untuk memasangkan kalung itu.
Sebenarnya, Mr.Backstreet bukanlah orang bodoh. Dia hanya terlalu polos, terlalu lugu dan sedikit naif. Dia juga agak kolot seperti aku dan dia tak mengerti harus romantis seperti apa. Sehingga dia jadi terlihat bodoh saat gugup. Sikap naif dan pencemburunya juga terkadang membuatku jadi tak berdaya dan jadi ikut-ikutan salah tingkah sendiri.
Kencan hari ini hingga malam. Dia mengantar ku hingga apartemen. Waktu kami untuk berduaan sebenarnya bisa saja lebih sering lagi. Tapi, aku memutuskan untuk kerja di Cafe dengan Kak Kim yang meminjamkan satu kamar di apartemennya. Sebenarnya kak Kim tidak begitu peduli aku bayar atau tidak. Tapi, rasanya benar-benar tak enak jika harus menumpang hidup pada orang lain tanpa usaha sedikitpun. Semenjak aku pindah ke tempat baru ku itu, Mr.Backstreet sedikit lega tapi juga was-was. Maklum saja dia tau aku sering terkena ‘tangan jahil’ di Cafe. Tapi, dengan tinggal di tempat kak Kim aku jadi bisa jalan lebih sering dengan Mr.backstreeet dan tanpa harus berbohong pada orangtua ku. Bahkan, kini Mr.Backstreet bisa mengantar ku hingga depan kamar dan terkadang singgah sebentar disana untuk sekedar ngobrol dengan ku. Tapi, tetap saja pemikiran kolotnya sering membuat kami bertengkar karena dia tak suka aku bekerja di Cafe, walau hanya sekedar menjadi backing singer.dia tetap tidak suka konotasi buruk para pekerja malam dan tentunya aku pun merasa dia benar. Tapi, aku tetap harus bekerja disana untuk riset ku sebelum menulis teenlit baru tentang remaja yang bekerja di Cafe.
***
Cafe hari ini benar benar ramai. Sesaat setelah aku turun dari panggung, ada beberapa tangan nakal yang mencoba mengganggu kami. Sesekali tangan jahil itu ‘tertangkap tangan’ oleh para tukang pukul di Cafe. Tapi, lebih sering mereka tak tertangkap basah.
Suatu kali Mr.Backstreet menjemput ku dari Cafe dan mengantar ku kembali ke apartemen. Dia mencumbu ku dan mengucapkan selamat malam. Entah mengapa tetangga baru ku,yang tinggal di depan kamar mengintip dan membuka pintunya setelah Mr.Backstreet pulang. Dia tersenyum. Aku menyebutnya Mr.Roosters (Karena Jambul diujung kepalanya seperti ayam jantan), dia suka sekali melihat pasangan di apartemen ini jika ada yang bertengkar apalagi ‘putus’. Dan dia terlihat kesal dan benci jika ada yang bermesraan di depannya. Dan hari ini pun dia tersenyum sinis memandang ku. Aku hanya bisa diam dan menggelengkan kepala, tak habis pikir. Ternyata masih ada orang aneh yang hanya bisa senang jika orang lain menderita ‘putus cinta’. Aku segera menutup pintu.
Memang setelah hampir 6 bulan pindah ke apartemen kak Kim. Aku merasa sangat berbeda. Aku bisa lebih bebas. Tapi, aku juga jadi di paksa untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab. Aku sering sekali mengeluh lelah pada Mr.Backstreet karena aku harus bekerja sambil kuliah. Pagi hari saat Mr.Backstreet menjemput ku biasanya aku masih menahan menguap berkali-kali. Dia sering mengantar ku dan jalan dengan ku sampai-sampai terkadang dia bolos dari jam pelajaran mata kuliah tertentu. Aku pun jadi tak enak hati. Aku memintanya untuk tetap fokus dan konsentrasi pada pelajarannya. Biar bagaimana pun juga aku masih ingin melihat dia menjadi calon pengacara handal. Tak jarang kata-kata ku membuatnya cemberut kesal. Tapi, perlahan dia mencoba untuk merubah sikapnya dan mulai untuk konsentrasi belajar lagi.
Perbedaan kami memang tak akan pernah memuluskan jalan cinta kami. Maklum, Mr.Backstreet pun di larang orangtuanya untuk bersama dengan ku. Hal itu membuat dia terkadang ingin membawa ku kabur saja dari Jakarta. Apalagi, orangtua ku tampaknya tak akan berhenti menjodohkan aku lagi. Dia tak bisa melarang tapi, tak rela juga mendukung ku jika harus kencan dengan pria lain. Tentu saja dia pria normal yang selalu ingin mendapatkan perhatian penuh dari pasangannya. Tapi, sesempurna apapun rencana dan hubungan yang kami buat, manusia hanya bisa berencana kehendak itu belum datang, kami tetap berdiam di tempat kami, hubungan ini hanya bisa berdiam ditempat. Memang tak ada kemunduran, tapi juga tak ada kemajuan.
Dia mungkin bisa bertoleransi dengan hal sensitif yang menjadi masalah kami. Tapi, aku tak bisa begitu saja mentoleransi hal itu. Sering Mr.Backstreet bertanya, sampai sejauh apa aku rela berkorban demi cinta kami. Tapi, aku tak mampu menjawabnya. Mungkin selamanya, sampai kami tua kami akan menemui ‘kebuntuan’ ini. Dan kami tak punya solusi untuk masalah sensitif kami.
***
Minggu pagi, teman-teman satu apartemen ku pun langsung membuka pembicaraan yang topiknya sudah diulang entah berapa kali.
“Teman mu, Peppi dan William, mantan-calon suami mu itu saja bisa. Kenapa kalian ngak bisa?” tanya kak Fay, salah satu teman dekat kak Kim.
“Iya kalau kalian serius dan mau usaha, pasti bisa.” Ujar Kiki, teman kerja ku.
“Kami serius, kok. Dan kami juga usaha. Tapi, kalau harus melakukan hal yang ngak sesuai sama kata hati, apalagi melanggar agama...” kata-kata ku terputus.
Obrolan tentang itu lagi yang harus diulang setiap kali aku dan teman-teman ku itu berkumpul. Dimata mereka, mungkin aku dan Mr.Backstreet kurang serius dan kurang cukup berusaha. Tapi, sekalipun itu benar, aku sendiri bingung harus melakukan apa lagi. Toh, hubungan ini aku dan Bene yang menjalani. Selama hampir 10 bulan ini kami bersama dan masih baik-baik saja. Tapi, sehari kedepan kami tidak lagi tau nasib dari hubungan kami. Bisa dibilang kami sudah pasrah saja. Tapi, belum ada kata menyerah.
“Selalu saja jawaban mu begitu.” Protes Nia, rekan kerja ku yang lain.
“Iya. Kedengerannya pasrah.” Ujar Kiki. “Nia saja tidak berhenti berjuang supaya kekasihnya tidak direbut Cafe ‘sebelah’.” Lanjutnya.
“Hei, dia itu urusannya beda.” Ujar Kak Kim.
“Apanya yang beda? Aku memang tidak beda agama dengan Bob tapi, aku tetap punya banyak masalah yang harus kami atasi kalau tak mau putus.” Ujar Nia.
“Tapi, tak sama dengan hubungan baik yang dibedakan karena masalah agama saja. Ai dan Bene kan, baik-baik saja kecuali karena masalah agama yang berbeda.” Ujar kak Fay.
“Maksud ku cepat atau lambat kalau kau hanya diam, Bene bisa berpaling pada wanita lain. Lebih baik kan kalau hubungan itu tidak digantung atau disembunyikan.” Sindir Dian, teman lama ku yang mingu ini datang ke apartemen.
Aku terdiam sesaat. “Sedikit cemas sih. Dia pasti suatu saat akan berhenti menunggu.” Desis ku.
“Tuh kan. Maka dari itu... toleransi ngak salah kan. Toh, kalian saling cinta.” Ujar Nia.
“Huh, dasar Ai yang malang...” ujar Kiki.
“Huh, mengesalkan. Habis mau bagaimana lagi?” pikir ku. “Bene dan aku hanya punya satu masalah perbedaan. Tapi, cukup dengan adanya satu perbedaan untuk membuat hubungan baik menjadi berantakan.” Desis hati ku.
“Sudah jangan dibicarakan lagi. Dia jadi semakin cemas sendiri.” Ujar Kak Kim.
“Tenanglah. Aku rasa dia serius dengan mu jadi, tak mungkin begitu saja putus, kan?” ujar Kak Kim.
Justru hal itu yang aku takutkan. Semakin serius Bene mengejar ku, semakin sering dia mengeluh dan ujungnya, dia akan mengajak ku pergi dan menikah di luar negeri seperti William dan Peppi. Hal senada pun dikatakan oleh teman-teman ku sebelumnya. Aku jadi punya firasat aneh tentang hubungan ku dengan Bene. Bukan berharap sih ada hal yang bisa membuat hubungan kami jadi bermasalah. Aku berusaha meyakinkan diri ku, kalau itu cuma sugesti. Tapi, firasat buruk biasanya terjadi. Firasat baik saja terkadang bisa jadi buruk.
“Dia sudah melamar mu?” tanya Nia tiba-tiba.
Semua mata teman-teman ku memandang ku dan seolah ingin menelanjangi ku. Akhirnya aku menceritakan juga.
***
Dua hari yang lalu setelah pulang kampus, Bene mengajak ku makan siang. Tapi, di jalan dia menepikan mobilnya.
“Kenapa?” tanya ku pada Bene.
“Ai, ini soal kita.” Ujarnya.
Awalnya aku masih bisa tersenyum sambil memperhatikan wajah Bene.
Tapi, tiba-tiba saja Bene mengatakan hal yang membuat ku pusing untuk memikirkannya.
“ Aku dijodohkan.” Ujar Bene.
Kata-kata Bene membuat ku nyaris tersedak ludah yang kutelan sendiri. Aku masih terdiam menunggu kata-kata Bene selanjutnya.
“Kau tau kan, orangtua ku merasa umur ku sudah cukup untuk menikah.” Ujar Bene.
“Cukup usia untuk menikah? Padahal usia Bene baru saja menginjak 23 tahun tepat 2 bulan lagi tahun ini. Kenapa terburu-buru sekali orangtuanya? Apa hubungan kami sudah diketahui?” pikir ku.
Bene dan aku masih terdiam. Aku menghela nafas perlahan.
“Kali ini kamu yang dijodohkan.” Desis ku.
Bene masih juga terdiam. Aku menatap wajahnya yang tertunduk dari kaca spion depan. Tiba-tiba Bene melihat kearah spion dan kami saling menatap tanpa bicara selama beberapa detik. Tiba-tiba Klakson motor dipinggir jalan memecah keheningan kami. Seorang Polisi mengetuk kaca depan mobil dan Bene segera menurunkan kaca depannya.
“Maaf pak, bapak tidak boleh berhenti disini.” Ujar Polisi itu.
Aku sedikit kesal sebenarnya dengan polisi ini. Padahal kami sedang dalam pembicaraan yang benar-benar serius. Tapi, apa boleh buat. Kami yang salah karena menepikan mobil cukup lama dipinggiran jalan yang cukup padat.
“Bisa saya lihat SIM dan STNK-nya pak?” tanya Polisi itu.
Bene segera mengeluarkan SIM dan STNK-nya. Polisi itu segera mencatat surat tilang sambil melirik kearah nomor plat mobil. Aku dan Bene tidak berkutik sedikit pun. Polisi itu kembali kearah kaca depan bangku kemudi yang dibuka Bene. Bene keluar dari mobilnya dan mulai bicara dengan Polisi tadi. Aku cukup kesal karena surat tilang pun lama ditahan Polisi itu. Entah apa saja yang dibicarakan mereka diluar. Aku pun turun dari mobil dan menuju kearah Bene dan Polisi itu berdiri. Polisi itu segera sadar saat melihat ku berjalan kearahnya.
“Allian.” Ujar Polisi itu tiba-tiba.
Aku terdiam sesaat, mencoba mengingat orang itu. Sudah lama tidak ada orang yang memanggil ku dengan nama itu.
“Allian Park, kan?” Tanya Polisi itu lagi.
“I..Iya,..maaf..” Sebelum kata-kataku selesai Polisi itu segera menepuk pundak ku dan membuat Bene terkejut dengan tingkah Polisi itu.
Polisi itu tersadar kalau aku tidak mengenalinya. Dia segera menunjukkan nama yang tersulam pada baju seragam yang dikenakannya.
“Jimmy Napitupulu.” Baca ku dalam hati sambil mencoba mengingat karena marga itu pasti adalah marga dari keluarga nenek dari ibu ku. Aku segera tersadar saat mengingat nama anak yang dulu tinggal di rumah sebelah, milik ibu ku.
“Astaga? Jim.” Ujar ku.
“Sudah lama yaa ngak ketemu.” Ujar Jim.
Jim dan aku sama-sama tersadar ada sepasang mata yang terus mengamati kami. Tentunya, itu adalah mata Mr. Backstreet-ku alias Bene, yang sejak tadi menunggu saja disamping Jim. Jim segera tersenyum dan mengantongi surat tilang itu. Singkatnya, kami tidak jadi di tilang. Jim bahkan mengajak kami makan disalah satu restauran di deretan jalan itu.
Aku cukup bingung harus menerangkan apa pada Jim tentang siapa Bene. Tapi, Bene dengan santai segera mengenalkan diri pada Jim saat Jim menanyakannya.
“Ben Baker.” Ujar Bene.
“Pacar?” Tanya Jim pada ku.
Aku tersenyum. Bene pun tersenyum.
“Senyum-senyum aja.” Ujar Jim. “Apa kabar Inangtua?” Tanya Jim segera menanyakan keadaan ibu ku.
“Baik.” Ujar ku.
“Waktu itu aku dengar kamu batal nikah..” Ujar Jim. Namun, Jim segera berhenti bicara saat melihat reaksi Bene yang terkejut.
“He-eh. Sudah hampir 7 bulan lalu, kali.” Ujar ku segera.
“Iya sih.” Ujar Jim. “Sudah Basi yaa?” Ujar Jim lagi.
Aku tertawa kecil. “Gitu deh.” Ujar Ku. “Sekarang sudah pindah ke Jakarta? Bukannya katanya Inanguda kamu dinas di Bali?”
“Sudah 3 Bulan dinas di sini.” Terang Jim. “Sorry yaa, tadi aku ngak lihat kamu. Jadi, ngak langsung kenal deh.” Ujar Jim.
Aku tersenyum malu karena tertangkap saudara sendiri saat melanggar peratuaran di jalan raya. Bene segera menengahi.
“Salah aku sebenarnya. aku ngak liat-liat, langsung berhenti disitu.” Ujar Bene.
Jim tersenyum lagi sambil melihat Bene yang terlihat layaknya ‘gentleman’ yang berani mengakui kesalahannya.
“Jangan ngomong begitu. Nanti surat tilang-nya keluar lagi.” Ujar ku bercanda.
Jim dan Bene tertawa. Kami mulai makan sambil berbincang kecil dan bercanda. Aku yakin akan mendapat masalah kalau sampai Jim ‘membuka mulut’nya dan memberitahukan kepada ibunya(bibi-ku) yang kupanggil ‘inanguda’ itu tentang Bene. Bisa-bisa keluarga ku marah besar karena hal ini. Maklum, inanguda-ku itu agak besar mulut. Entah apa yang diberitahukan pada inanguda-ku itu, pasti langsung ber-anak-pinak jadi gossip super heboh di keluarga ibu ku.
Sekitar 1 jam lebih kami makan sambil ngobrol di restaurant itu. Jim segera sadar kalau sudah waktunya dia kembali bekerja.
“Well, aku balik dulu kalau begitu. Lain kali kita ngobrol lagi.” Ujar Jim.
Bene dan Jim bersalaman. Lalu, Jim kembali menepuk pundak ku dan melangkahkan kaki nya menjauh dari mobil Bene yang diparkir di depan restaurant.
“See you!.” Ujar ku pada Jim, yang dibalas lambaian tangannya.
Bene segera membukakan pintu mobil untuk ku dan aku segera duduk di samping kiri dari bangku kemudi. Taklama kemudian kami pun segera melesat menuju Cafe tempat ku bekerja. Dan semua yang kami bicarakan sebelumnya seolah terlupakan.
an a.k.a inriani sianipar
Komentar
Posting Komentar