Viena terkejut melihat Josh yang beberapa hari ini bagai menghilang
ditelan bumi, berjalan ke arahnya begitu saja seperti muncul dari dalam perut
bumi. Viena segera menghalangi Josh yang berusaha membuka pintu ruangan kerja
atasannya, Anti. Josh tidak mengerti mengapa Viena menghalanginya untuk masuk
ke dalam ruangan itu.
“Apa ada prosedur baru untuk masuk dan menemui Anti?” Tanya Josh
dengan nada kesal pada Viena.
Viena yang menyuruh Josh untuk duduk di sofa yang ada di depannya
membuat Josh sedikit kesal. Tidak biasanya Josh dilarang seperti ini, mengingat
selama ini Josh dan Anti berteman. Viena berusaha tersenyum sambil kembali
duduk pada kursi kerjanya.
“Maaf. Kau belum membuat janji dengan Anti. Aku tidak bisa membiarkan
mu masuk begitu saja.” Ujar Viena.
“Mambuat janji?” Ulang Josh. “Ayolah, sejak kapan aku membuat janji
dengan teman ku sendiri? Sambungkan aku dengan Anti.” Ujar Josh meminta Viena
untuk menghubungi Anti yang berada di dalam ruangannya.
“Dia sedang rapat dengan penulis lain, kau tidak bisa begitu saja
mengganggu rapat mereka kan?” Balas Viena. “Lagipula, kau sudah membaca e-mail
dari Anti, kan? Karya mu batal naik cetak bulan ini.”
Josh terdiam dan mencoba bernegosiasi dengan Viena. “Kalau kau ijinkan
aku masuk, aku akan berikan nomor ponsel Steve. Bagaimana?” Tanya Josh.
Viena masih terdiam dan berpikir ulang mengenai penawaran yang
diberikan Josh. Tidak setiap hari Josh akan memberikan penwaran seperti ini.
Tapi, di sisi lain, Viena baru saja membuat kesalahan besar, beberapa hari lalu
di ruang rapat yang membuat Anti marah.
“Ayolah, ini benar-benar penting.” Ujar Josh meminta Viena untuk
menghubungi Anti.
“Aku lihat jadwal Anti dulu.” Ujar Viena sambil membuka agendanya.
Josh tidak sabar menunggu Viena untuk menghubungi Anti. Dengan segera
tangan Josh menyambar gagang telepon yang ada di meja kerja Viena. Sayangnya,
Viena berhasil menarik kembali gagang telepon tersebut.
“Jadwalnya hari ini sudah penuh. Bagaimana kalau besok saja?” Tanya
Viena pada Josh.
Josh segera melangkah ke arah pintu dan bersiap membuka pintu ruangan
Anti. Viena segera berdiri dan mencoba menarik tangan Josh. Tepat saat Josh
akan membuka pintu, seseorang membukanya dari dalam. Josh nyaris menabrak wajah
yang dikenalnya beberapa hari yang lalu. Penulis cerita fiksi ber-genre komedi
itu tersenyum pada Josh, tapi pria itu menanggapinya dengan dingin. Josh segera
masuk ke dalam ruangan Anti tanpa mempedulikan Edy yang baru saja keluar dari
ruangan itu.
“Aduh.” Keluh Viena saat Josh masuk ke dalam ruangan Anti.
Edy hanya tersenyum pada Viena dan melangkah ke arah elevator tanpa
mempedulikannya. Josh segera tersadar saat melangkah masuk lebih jauh ke
ruangan Anti, ada seorang pria yang masih duduk di sofa berhadapan dengan Anti.
Josh segera menunduk memberi salam pada pria itu. Viena yang akhirnya ikut
masuk sudah bersiap menghadapi kemarahan atasannya itu di hadapan pria yang
disukainya sejak tujuh tahun lalu itu.
“Josh.” Desis Anti.
Wanita itu melirik ke arah Dennis sesaat, lalu berjalan ke arah Josh
dan Viena.
“Kenapa kau kesini?” Tanya Anti pada Josh. “Dan, apa yang kau lakukan
di luar sana, Vi? Apa kau tidak tahu kalau aku sedang rapat dengan Dennis?”
Tanya Anti pada Viena.
Viena menunduk malu karena ditegur oleh Anti di depan Dennis. Josh pun
terlihat sungkan dan malu. Anti tidak tahu harus mengatakan apa kecuali
memelototi Viena dangan sorotan mata yang tajam.
“Tunggu limabelas menit lagi.” Bisik Anti pada Josh. “Kau pesankan
meja untuk tiga orang di Sakura Restauran pada jam makan siang.” Ujar Anti lagi
pada Viena.
Josh dan Viena akhirnya keluar dari ruangan itu. Anti melanjutkan
rapatnya dengan Dennis. Josh merasa sudah melakukan kesalahan pada Viena, dan
hanya bisa mengucapkan kata maaf pada wanita itu.
“Maaf.” Ujar Josh.
“Kau tunggu saja di sana.” Ujar Viena dengan wajah kesal.
Viena segera melakukan pemesanan yang diminta Anti. Sementara, Josh
duduk menunggu di sofa yang tepat berada di depannya. Josh hanya bisa menghela
nafas. Entah mengapa hari ini, tidak seperti hari biasanya Josh merasa sudah
melakukan banyak hal konyol tanpa berpikir terlebih dahulu, sebelum hal itu
terjadi. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku kemeja dan berpura-pura
melakukan sesuatu untuk menyibukan diri, karena merasa tidak punya muka lagi
untuk menghadapi asisten pribadi Anti yang menatapnya kesal berkali-kali.
Baru beberapa menit berlalu, Cleo akhirnya sampai di lantai duapuluh
gedung milik perusahaan V Media ini. Viena segera bangkit berdiri menyapanya
dengan senyuman hangat. Cleo segera duduk di sofa setelah Viena
mempersilahkannya, dan menyadari pria yang tadi menolongnya di stasiun tengah
duduk di sampingnya, sibuk dengan ponsel di tangannya. Cleo segera menyapanya
dengan senyuman.
"Dunia selebar daun kelor, ya." Sapa Cleo. “Terima kasih.”
Ujar Cleo.
Josh segera mengarahkan pandangannya kepada orang yang duduk di
sampingnya yang baru saja mengatakan terima kasih padanya, entah untuk apa.
Saat menyadari wajah wanita yang menurutnya selama ini aneh itu adalah orang
yang baru saja menyapanya, Josh menatap ke arah Viena dengan segera. Viena
gantian tidak mau menatap ke arah Josh.
“Maaf, apa yang kau lakukan di tempat ini?” Tanya Josh.
“Oh, aku ada janji untuk bertemu dengan editor.” Ujar Cleo. “Kemarin
editor tidak bisa bertemu dengan ku, dan menggantinya hari ini.” Ujar Cleo
lagi.
Josh melirik ke arah Viena lagi. Kali ini Viena membalas tatapan Josh
dengan tatapan menantang.
“Dia ada janji lebih dulu dengan Anti. Kau harus menunggu giliran mu.”
Ujar Viena yang masih terlihat kesal pada Josh.
Josh tertunduk dan menghela nafasnya. Cleo segera tersenyum saat pria
ini meliriknya sekilas. Josh kembali tertunduk dan memutuskan untuk mengirimkan
SMS pribadi pada Anti. Josh berharap, hari ini Anti memiliki waktu sebentar
untuk bicara dengannya.
Tidak lama setelah menunggu sekitar limabelas menit, pintu ruang kerja
Anti terbuka. Dennis keluar bersama Anti, dan Viena segera berdiri untuk
memberi hormat pada Dennis Tedja, anak pimpinan perusahaan yang dikagumi Viena
sejak pertama kali bekerja di perusahaan ini. Anti segera menutup pintu
ruangannya dan mendapati Josh bersama seorang wanita menunggunya di sofa.
Dennis yang sempat melangkah menuju elevator berbalik, dan menatap Anti.
"I'll see you. Don't forget 7 p.m, and don't try to run. i don't
accept rejection." Ujar Dennis sambil melirik ke arah Josh yang baru saja
bangkit dari sofa.
"I'll come." Balas Anti dengan senyuman lebar.
"Huh, apa itu?" Desis Josh.
Anti segera melangkah ke arah Josh dan wanita yang duduk di
sampingnya, diikuti Viena di belakangnya. Cleo sedikit terkejut karena kembali
melihat dosen pembimbingnya saat menyusun disertasi strata duanya dulu yang
terkenal kejam itu, ada di depannya.
"Ini adalah Ratu Cleopatra yang naskahnya waktu itu ku
bawakan." Ujar Viena tanpa memperhatikan perubahan wajah Cleo.
"Aku kenal dia." Ujar Anti.
Viena tidak mengerti, entah bagaimana Anti bisa mengenal Cleo. Cleo
segera memberi hormat pada dosen yang sempat memberikannya banyak kesulitan
saat menyusun disertasi. Anti hanya mengangguk membalas salam mantan mahasiswa
bimbingannya itu, dan beralih pada Josh.
"Kau ikut saja makan siang dengan tamu ku hari ini. Kebetulan ada
sesuatu yang ingin ku bicarakan dengan mu." Ujar Anti pada Josh.
"Baiklah." Ujar Josh.
Anti beralih pada Viena yang seolah ingin bertanya, bagaimana dengan
dirinya. Viena langsung mendapatkan jawaban sebelum menanyakan nasibnya yang
seharusnya makan siang bersama mereka itu. Karena biasanya Anti akan membawa
serta Viena untuk makan siang saat meeting kecil seperti hari ini.
"Kau bisa ke percetakan setelah jam makan siang? Aku butuh
kepastian tanggal pengiriman novel bulan ini." Ujar Anti. "Aku akan
makan siang bertiga dengan mereka saja. Jam tiga aku akan kembali ke kantor.
Aku pergi dulu." Ujar Anti akhirnya.
Hari ini Viena hanya bisa gigit jari karena batal menikmati sushi dan
sashimi sebagai menu makan siangnya di restaurant Jepang yang kebetulan berada
di lantai dasar gedung ini.
***
Viena berjalan dengan langkah malas-malasan keluar dari gedung
berlantai tigapuluh itu. Hari ini adalah hari ulangtahun terkacau dalam
hidupnya, selama tigapuluh satu tahun bernafas di dunia ini. Viena tidak bisa
menyembunyikan kekecewaannya yang batal mendapatkan makan siang di restauran
Jepang favoritnya. Sepanjang perjalanan menuju tempat percetakan, wanita yang
tengah berulangtahun itu cemberut dan terdiam.
Dalam hatinya, Viena merasa bodoh karena sudah berpikir kalau hari
ini, seperti hari biasanya saat meeting kecil di restauran bersama penulis Anti
akan membawa serta dirinya. Sekarang Anti hanya bisa meratapi nasibnya sambil
menatap bungkusan burger dari restauran cepat saji yang baru dibelinya sebelum
berkendara dengan mobil kantor bersama supir tua yang sama sekali tidak sedap
dipandang matanya.
"Kenapa di hari ulangtahun ku, tidak ada yang mengucapkan
selamat? Aku bahkan tidak bisa makan di restauran favorit ku. Tadi juga Anti
menegur ku di depan pak Dennis. Aku masih harus ke percetakan siang hari bolong
untuk memastikan tanggal pengiriman novel ke toko buku. Selain itu, sepertinya
Anti dan Dennis akan berkencan malam ini. Kenapa hari ini aku tidak dapat
hadiah, malah mendapatkan musibah?" Keluh Viena dalam hatinya.
Di tengah terik matahari kota metropolitan ini suara klakson tidak
berhenti terdengar, seperti alunan terompet atau saxophone yang dimainkan
dengan nada yang sumbang. Tidak ada harapan lagi untuk Viena menikmati sisa
beberapa jam hari ulangtahunnya. Supir yang membawa mobil kantor pun terlihat
sangat mengesalkan, lebih daripada hari biasanya. Supir tua ini membawa mobil
berisi penumpang seperti sedang membawa ternak. Viena tak tahan lagi. Wanita
ini akhirnya menutup mata dan mencoba untuk menikmati lagu cinta yang mengalun
dari earphone ponselnya.
Belum habis satu lagu didengarnya, tiba-tiba suara hantaman keras
terdengar, diikuti dengan tubuhnya yang terpental menabrak kursi supir yang ada
di depannya. Malang tak dapat ditolak, Untung tak dapat diraih. Kira-kira
itulah peribahasa yang cocok untuknya hari ini. Mobil yang merasa ditabrak itu
segera mengklakson mobil yang sudah berani menabraknya dari belakang. Viena
menutup matanya lagi sesaat setelah melihat supirnya tersenyum tanpa dosa ke
arahnya.
Sebuah mobil sedan berwarna merah menepi di depan mobil kantor yang
dikendarai supir tua yang membawa Viena seperti sedang membawa ternak itu.
Viena dan supir tua itu segera keluar dari mobil dan melihat hasil dari
senggolan bumper depan mobil kantor mereka dengan bagian belakang bumper mobil
sedan mewah itu. Viena yakin betul bumper sedan itu harganya lebih mahal dari
bumper mobil CRV kantornya. Tapi yang lebih parah hari ini, seperti menambah
kesialannya, Viena harus mendengar ocehan kemarahan dari si-empunya mobil sedan
mewah yang mungkin merasa mobilnya seperti sudah disodomi dari oleh mobil
kantornya.
Viena mencoba menarik nafas dan menyiapkan telinganya untuk menerima
kemarahan pengemudi yang mobilnya disosor oleh supir kantornya yang sudah tua
itu. Viena tak berani menatap pengemudi mobil itu dan menunduk dengan segera
saat pengemudi itu mendekatinya dengan nafas memburu. Supir tua itu ikut
menunduk seperti akan menerima nasib dari putusan hakim di pengadilan.
"Aduh, saya benar-benar minta maaf." Ujar Viena sambil
menunduk kira-kira nyaris sembilan puluh derajat itu.
"Aduh, kira-kira dong. Lagi macet begini kok bisa-bisanya meleng
sampai menabrak bumper orang." Keluh Pria yang mengendarai mobil sedan.
"Baiknya bagaimana ini? Saya sedang buru-buru, ...." Kata-kata pria
itu tak berlanjut lagi saat menyadari keberadaan wanita di depannya.
Viena masih tertunduk dan tidak punya nyali untuk menghadapi pria yang
mobilnya baru saja ditabrak mobil kantornya. Pria itu terkikih sejenak membuat
Viena bingung.
"Vi." Panggil Steve. "Supir lo ngantuk kali."
Ujarnya lagi.
Viena segera melirik ke arah asal suara dan mendapati steve berdiri
dengan senyum lebarnya yang sempat membuatnya jatuh hati saat masih berkuliah
dulu. Steve yang merupakan senpai-nya yang nyaris menjadi MAABA alias mahasiswa
abadi itu.
"Kau tidak apa-apa, kan?" Tanya Steve. "Supir se-tua
ini kenapa masih dipakai di kantor mu. Bagaimana kalau sampai terjadi
kecelakaan besar?" Canda Steve.
Viena masih terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya tersadar kalau
Steve sejak tadi sudah memutari tubuhnya.
"Apa kau benar-benar tidak apa-apa?" tanya Steve lagi.
Viena tersenyum. "Aku tidak apa-apa. Apa kau sendiri baik-baik
saja? Bagaimana ini mobil mu jadi rusak?" Ujar Viena sambil menunjuk
bumper belakang mobil sedan Steve.
"Kau itu, ...." Steve tertawa kecil sambil memandangi supir
tua yang tadi menabrak mobilnya. "Biar dia saja yang urus dengan kantor
mu." Ujar Steve.
Supir tua yang sejak tadi terdiam itu terkejut dan melirik ke arah
Viena, meminta bantuan dari wanita itu. Steve tidak peduli pada supir tua itu.
Viena sendiri bingung harus mengatakan apa pada Steve ataupun supir tua itu.
Sebelum Viena mengatakan sesuatu, Steve sudah menarik tangannya untuk ikut
masuk ke dalam mobil sedannya dan melaju begitu saja meninggalkan supir tua itu
sendirian.
"Steve, aku harus pergi ke percetakan. Lalu, mobil kantor ku
harus dibawa ke bengkel. Supir itu tidak bisa mengurusnya sendiri." Ujar
Viena sambil menatap ke arah belakang.
Supir tua itu terlihat bingung dan putus asa sendirian menatap bumper
mobil kantornya rusak. Sementara Viena panik, Steve justru tertawa.
"Biarkan saja dia menanggung akibatnya. Siapa suruh dia
mengendarai mobil seperti sedang mabuk." Ujar Steve.
Viena tidak tega melihat supir tua itu kebingungan. Jika Anti dan
pihak kantor tahu masalah tabrakan itu, supir tua itu bisa saja dimintai ganti
rugi, atau mungkin bisa dipecat. Viena tidak bisa melupakan bayangan wajah
Ayahnya yang seolah memintanya untuk membantu supir tua itu. Mungkin jika Ayah
Viena masih hidup, usianya akan sama dengan supir tua itu. Viena tidak mungkin
bisa memaafkan dirinya kalau pria tua itu sampai dipecat dari kantor hanya
karena kesalahannya hari ini.
"Sudahlah, aku antar kau ke tempat percetakan. Jangan pedulikan
pria tua itu." Ujar Steve.
Steve yang sejak kecil hidup dalam kemewahan, tidak mungkin tahu
rasanya menjadi supir dengan gaji rendah. Viena mengerti kalau supir itu salah
saat mengemudi, tapi rasanya tidak adil kalau pria tua itu mendapatkan masalah
nantinya hanya karena bumper mobil yang pecah. Viena segera meraih ponselnya
dan mencoba menghubungi pria tua itu. Wanita itu menyuruh supir tadi
mengantarkan mobil kantornya ke bengkel. Viena juga berjanji akan membantu pria
tua itu mengurus masalah dengan kantor dan pihak asuransi.
Baru kali ini Steve melihat Viena seperti orang panik menghubungi
supir tua yang tadi mereka tinggalkan, serta kantor tempatnya bekerja. Viena
yang memiliki wajah seperti anak kecil ini terlihat manis di mata Steve saat
memperlihatkan rasa pedulinya pada orang lain. Steve memandangi wajah Viena
yang masih sibuk meminta maaf pada bosnya di telepon melalui spion depan
mobilnya.
"Kau akan ku antar ke bengkel itu setelah kita ke percetakan.
Jadi, jangan khawatir. Oke?" Ujar Steve berusaha menenangkan kepanikan dan
kecemasan yang masih ada di wajah Viena.
"Maaf, aku jadi merepotkan mu." Ujar Viena sambil menunduk
malu.
Steve tertawa kecil sambil melirik spion depannya yang masih
menampilkan wajah Viena.
"Tidak kok. Aku tidak ada urusan hari ini sebenarnya." Ujar
Steve pada wanita di sampingnya yang sejak tadi menggigit bibirnya sendiri.
"Jangan menggigit bibir mu. Kalau bibir mu bisa bicara, dia pasti
teriak." Canda Steve yang mencoba mencairkan suasana. "Hei, aku
mengantar mu hari ini, tapi kau harus membayar ya."
Viena mulai tersenyum dan menatap Steve yang tersenyum lebar saat
mengendarai mobil sedan mewahnya.
"Baik. Aku akan bayar. Tenang saja." Balas Viena sambil
tertawa kecil.
"Tapi, aku tidak mau dibayar dengan uang." Ujar Steve.
"Bayaran ku kan tidak murah."
"Lalu mau dibayar dengan apa? Lagipula, memangnya berapa bayaran
mu jadi supir?" Tanya Viena lagi.
"Tentu saja mahal. Di mana kau bisa menemukan supir se-tampan
aku." Ujar Steve sambil tersenyum lagi pada Viena.
Viena dan Steve bertatapan dan melepaskan tawa yang ditahan mereka
sejak tadi.
***
"Kalian masih menyukai kuliner Jepang kan?" Tanya Anti saat
melihat dua orang yang duduk di depan meja yang sama dengannya galau, entah
karena apa.
"Sashimi di sini masih sama enaknya." Ujar Josh sambil
memandangi sashimi di depannya tanpa menyentuhnya.
"Kau terlihat enggan memakannya, bagaimana mungkin kau tahu rasa
sashiminya tetap sama kalau kau hanya memutar-mutar sumpit mu di atasnya, dan
tidak menelannya?" Tanya Anti pada Josh.
Cleo terlihat memajukan bibirnya sejak tadi. Anti berusaha untuk tidak
mempedulikannya. Josh akhirnya memasukan sashimi itu ke dalam mulutnya. Anti
sendiri terus menikmati sepiring sushi yang tersaji di depannya. Seperti mengingat
masa lalu, Cleo menatap mantan dosen yang membuatnya ingin menjadi penulis itu
dengan saksama. Tidak ada yang berubah dari dosen wanita yang terkenal tidak
suka dipuji ini.
"Dean si kowai ini, kenapa aku harus bertemu dengannya
lagi?" Pikir Cleo. "Aku tahu dia akan mempersulit ku lagi seperti
waktu dia menjadi pembimbing disertasi ku." Keluh Cleo dalam hatinya
sambil menatap Anti yang melahap sushinya dengan santai.
"Kau tidak suka pada makanan itu, atau tidak suka bertemu dengan
ku lagi?" Tanya Anti tanpa menatap Cleo.
Josh mencoba melirik ekspresi kedua wanita yang sedang makan siang
dengannya ini. Atmosfer yang gloomy dan penuh dengan ‘petir’ menyala-nyala
sepertinya sedang ada di antara kedua wanita itu. Hanya saja, Josh tidak
mengerti mengapa keduanya tampak seperti bermusuhan. Seperti ada jarak ribuan
kilometer di atas meja di antara kedua wanita yang duduk berhadapan itu.
"Kau juga sudah tahu." Desis Cleo.
"Yang aku tahu hanyalah, karya mu yang masih belum berubah.
Terlalu mengandalkan imajinasi daripada perasaan sesungguhnya saat
menggambarkan adegan dalam cerita yang kau buat." Ujar Anti dengan
ekspresi wajah cuek.
“Aku hanya cocok membuat naskah fiksi anak-anak. Kau mau mengatakan
itu lagi?” Tanya Cleo sebelum menegak segelas penuh teh hijau Jepang yang
tersedia di depannya.
Anti mengeluarkan dua buah naskah dari tasnya dan meletakannya di
depan kedua orang yang ada di meja restauran itu. Wanita itu melipat kedua
tangannya dan menghentikan kegiatan makan kedua orang yang ada di hadapannya.
Anti menatap satu per satu kedua tamunya itu.
“Aku akan membantu kalian. Tapi, apa kalian mau membantu diri kalian
sendiri?” Tanya Anti dengan santainya sambil meraih sumpit dan menarik satu
sushi terakhir di atas piringnya.
Josh terdiam karena tidak mengerti dengan pembicaraan temannya itu.
Sementara, Cleo menatap naskah yang dikerjakannya satu tahun ini. Cleo teringat
pada disertasinya yang harus dirobek oleh tangannya sendiri karena tidak
disetujui oleh dosen pembimbingnya itu. Bagi Cleo, wanita yang duduk dihadapannya
itu masih kejam dan tidak punya perasaan seperti dulu. Jadi, Cleo merasa konyol
jika harus merobek naskahnya kali ini yang dikerjakannya sepenuh hati di depan
wanita itu.
“Aku tidak bisa.” Ujar Cleo. “Apa hak dari seorang editor hingga aku
harus merobek naskah ku seperti saat merobek disertasi ku?” Tanya Cleo.
Anti tersenyum menatap Cleo lalu mengalihkan pandangannya pada Josh.
Josh yang sejak tadi terdiam, hanya memperhatikan kedua wanita itu seperti
sedang perang dingin, melirik ke atas naskahnya dan mengerti apa yang
dimaksudkan dengan ‘membantu diri’ yang tadi dikatakan oleh Anti.
“Kau tahu berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk mengerjakan naskah
ini. Aku tidak mungkin bisa merobeknya.” Ujar Josh dengan wajah muram. “Kau
sudah pernah membacanya berkali-kali kan? Kau sendiri yang bilang kalau naskah
ini adalah naskah terbaik yang pernah ku tulis. Aku tidak tahu di mana letak
kesalahannya sehingga aku harus menghancurkan karya ini.”
“Dua tahun.” Ujar Anti. “Selama dua tahun ini kau tidak menulis yang
lain, selain karya ini. Kau juga tahu berapa lama aku sudah mengusahakannya
untuk naik cetak.” Ujar Anti. “Aku memang mengatakannya, dan pendapat ku belum
berubah sedikit pun. Aku paham kau tidak akan mau dianggap sebagai penulis yang
hanya bergantung pada temannya, dan aku lebih paham lagi pada perasaan mu yang
tidak mau merubah sedikit pun naskah yang sudah ditolak berulang kali ini.
“Lalu?” Josh mencoba mencari jawaban yang ingin didengarnya. Tapi Anti
tidak menjawabnya dengan kata-kata. Hanya sebuah senyuman kecil yang terlihat
di wajah Anti.
“Jika saja asisten ku tidak salah menaruh naskah nona ini di antara
naskah yag terpilih untuk naik cetak, aku tidak merasa perlu lagi untuk menemui
kalian. Pimpinan ku meminta ku untuk memberikan support ku untuk membantu
kalian menyelesaikan cerita yang layak naik cetak. Jadi, aku rasa tidak ada
salahnya jika aku meminta kalian membantu diri kalian sendiri untuk memulai
babak baru, bekerja dari awal lagi untuk menghasilkan karya yang layak. Aku
beri kalian waktu untuk memikirkannya.” Ujar Anti sambil merapihkan tas
kerjanya dan menghabiskan teh yang ada di depannya. “Aku tunggu kabar kalian
hingga dua hari ke depan.” Ujar Anti lagi sambil beranjak dari duduknya,
membayarkan tagihan, dan keluar dari restauran itu tanpa mempedulikan kedua
tamunya lagi.
Josh terdiam menatap kembali pada naskah yang diberikannya sejak
delapan bulan lalu pada Anti. Editornya memang memahami perasaannya yang tidak
mau dianggap menggantungkan nasib pada orang lain, atau meminta dikasihani oleh
orang lain. Tapi untuk kali ini, Josh tidak memiliki opsi apapun selain
mengikuti permintaan pasar. Hanya saja Josh tidak tahu bagaimana caranya untuk
menulis cerita cinta.
“Cinta tidak bisa ditulis di atas kertas dan tidak bisa dijadikan
sebagai alat pencari uang. Kenapa juga aku harus menulis cerita cinta.” Desis
Josh dengan sendirinya.
Cleo menatap pria yang duduk di sisi lain dari meja restauran itu.
“Kata siapa cinta tidak bisa ditulis, atau dijadikan alat pencari uang?” Tanya
Cleo.
Kata-kata yang terdengar seperti sebuah ledekan di telinga Josh
membuat pria itu mendelik dan menatap tajam ke arah asal suara. Cleo yang
tampak murung, sama seperti dirinya membuat mulut Josh mengatup saat akan
mengatakan kata-kata dingin yang biasanya dikeluarkan Josh pada orang yang
tidak disukainya.
“Ini kedua kalinya dia menyuruh ku untuk merobek hasil tulisan ku.”
Ujar Cleo dengan wajah sendu. “Tidak punya perasaan sama sekali.” Desisnya
mengeluhkan permintaan Anti.
Mereka saling terdiam untuk waktu yang lama. “Apa yang membuat naskah
mu ditolak?” Akhirnya Josh mengeluarkan pertanyaan itu. Josh sendiri tidak tahu
apa masalah yang terjadi antara wanita ini dengan Anti. Hanya saja sejak awal
melihat Anti, wanita ini terlihat kesal dan seolah siap menyerang Anti dengan
segenap tenaga yang dimilikinya.
“Cerita yang tidak sesuai dengan kenyataan.” Ujar Cleo sambil menatap
naskah yang ada di depan Josh. “Lalu, bagaimana dengan mu?” Tanya Cleo.
“Tidak ada cerita cinta dalam naskah ku.” Desis Josh sambil
menggaruk-garuk bagian belakang lehernya. “Aku tidak mau membuat cerita cinta,
karena hal seperti cinta, bagi ku tidak untuk ditulis atau dijadikan sumber
nafkah.” Terang Josh.
“Aku tidak mengerti maksud perkataan mu.” Ujar Cleo. “Bukankah ada
surat cinta? Itu adalah cinta yang ada dalam bentuk tulisan, kan?” Tanya Cleo.
“Walaupun terlihat konyol, tapi kau lihat para pekerja di restauran ini
melayani kita dengan penuh cinta.” Ujar Cleo lagi.
Josh melihat ke sekelilingnya dan mendapati beberapa pelayan tersenyum
padanya. Josh tertawa kecil dan merasa kata-kata Cleo sangat konyol.
“Apa kau sedang mengiklankan tempat ini?” tanya Josh.
Cleo tertawa kecil. “Tidak.” Jawabnya segera. “Kalau mereka tersenyum,
terlihat peduli pada pelanggan restauran ini, dan mencoba memberikan pelayanan
terbaik mereka setiap harinya. Bukankah itu cinta?” Tanya Cleo.
“Itu karena mereka mengincar tip yang besar. Lagipula, bos mereka akan
marah kalau mereka tidak melakukan yang kau bilang tadi. Jadi, mereka
melakukannya karena uang.” Ujar Josh yang dengan sendirinya menyadari maksud
perkataan Cleo sebelumnya.
Cleo tersenyum memandangi pria yang hari ini telah menyelamatkannya
dan merasa senang karena bisa memberikan opininya yang berbeda pada pria itu.
Ada sedikit perasaan kalau dirinya merasa lebih pintar dari biasanya karena
baru saja membalikan pemikiran seseorang yang mempertanyakan pendapatnya di
depan Cleo. Mungkin kenyataan di sekitar memang bisa membuatnya untuk lebih
baik lagi membantu orang lain melihat dunia ini dari sisi lain yang ada pada pandangannya.
Cleo tertunduk meresapi perasaannya dan merasa tidak ada satu kesalahan pun
yang ada pada kata-kata Dosennya dulu mengenai tugas penulis untuk bisa merubah
cara pandang dunia seseorang.
“Benar juga.” Desis Josh saat itu. “Terima kasih.” Ujar Josh yang
segera berdiri dari tempat duduknya, meraih naskahnya, dan meninggalkan Cleo di
meja itu sendirian.
“Apa yang ku lakukan sampai harus berterima kasih seperti itu?” Pikir
Cleo dalam hatinya sambil memandangi punggung pria itu menjauh dari tempatnya
duduk.
***
Anti memandangi dua sample novel lama yang tergantung di salah satu
dinding ruang kerjanya. Dua novel ber-genre misteri yang ditulis Joshia
Alexander, teman sekaligus penulis favoritnya. Wanita itu menegak sekaleng
minuman yang berisi ion menurut iklannya itu, sambil melangkahkan kakinya
menelusuri sisi dinding yang digantungi banyak sample novel yang sudah naik
cetak dengan namanya sebagai editor. Lima belas tahun lalu, pimpinan perusahaan
ini mengubah pola pikirnya secara drastis dengan menjadikannya sebagai editor.
Sebelumnya, Anti adalah penulis yang sudah menjual beberapa novel karyanya
hingga ribuan eksemplar.
“Kau mau menulis belasan novel yang bisa merubah pandangan orang yang
membacanya hingga saat ini. Aku tidak pernah meragukan kemampuan menulis mu.
Kau bisa menghitungnya sendiri, duapuluh dikalikan dengan rata-rata penjualan
eksemplar dua ribu delapan ratus, artinya sekitar limapuluh enam ribu orang
sudah membaca karya mu dan mendapatkan cara pandang baru dalam hidup mereka.
Itu belum dihitung dengan banyaknya novel bajakan yang ada di luar perhitungan
perusahaan. Apa kau mau hanya bisa menuliskan novel mu dan tidak berbagi dengan
penulis lain? Jadilah seseorang yang lebih besar untuk bisa lebih banyak
membantu orang lain. Daripada sekedar merubah pola pikir orang dan berbagi
sudut pandang mu, bukankah akan lebih baik kalau kau membantu penulis lain
untuk bisa mewujudkan impian yang sama dengan mu. Dengan begitu, kau tidak
hanya merubah dunia orang yang membaca karya tulis, kau juga membantu penulis
lain untuk merubah dunia mereka.” Sepanjang hari itu, di saat dirinya basah
kuyup karena keringatnya yang keluar dari pori-pori tubuhnya dengan deras, Anti
hanya menunduk mendengar kata-kata pimpinan perusahaan publishing tempat di
mana dirinya dianggap sebagai penulis berbakat.
Itu adalah pertama kalinya Anti bertemu langsung dengan pimpinan
perusahaan yang menyebut dirinya sebagai salah satu fans berat Anti. Anti tidak
bisa menghapuskan rasa grogi yang menyelimuti hatinya. Walaupun sebelumnya
pernah bekerja sebagai asisten editor majalah remaja yang berada di bawah
perusahaan itu, ini pertama kalinya Anti berada di ruang rapat yang dingin
berhadapan langsung dengan dua orang penting di perusahaan itu. Anti sendiri
menyanggupi permintaan pimpinan perusahaan itu karena merasa tidak memiliki
alasan yang cukup kuat untuk menolaknya.
Sejak hari itu, Anti tidak hanya menulis karyanya, tapi juga membantu
penulis lain dalam mengurus keperluan mereka sebelum karya mereka naik cetak di
bawah nama perusahaan itu. Bagi Anti, menjadi editor adalah kesempatan besar
baginya untuk bisa merasakan dunia baru dan selain itu dengan posisinya itu,
Anti dapat membantu penulis lain. Rasanya sebuah pintu besar di depan Anti
terbuka dengan lebar. Pintu tersebut memungkinkannya untuk lebih banyak lagi
berbagi cara pandang, perasaan, dan banyak hal lain yang dapat disebarkan
melalui karya tulis yang dicetak setiap bulannya.
“Sudah lebih dari lima ratus novel.” Ujar Dennis yang baru saja masuk
ke ruangan itu dan memilih untuk berdiri di belakang Anti.
Anti berbalik dan tersenyum menatap Dennis. “Ya, itu benar.” Ujar Anti
sambil mengarahkan langkahnya ke sofa yang ada di tengah ruagannya.
Dennis memandangi wanita yag dikaguminya ini dengan senyum lebar. Pria
berusia sekitar empatpuluh lima tahun itu duduk di sofa yang berhadapan dengan
tempat Anti duduk.
“Kalau diingat sepertinya sudah ribuan kali kita bertengkar dalam
meeting sebelum karya naik cetak.” Ujar Dennis seolah mengingatkan perbedaan
cara pandang mereka.
Anti tertawa kecil. “Bukan bertengkar. Itu hanya perbedaan pendapat
saja. Aku tidak bisa mencetak tanpa persetujuan dari mu atau pun dari bos
besar, ini kan bukan perusahaan pribadi ku.” Ujar Anti.
Dennis menganggukan kepalanya sambil menahan tawa. “Karena kau digaji
ditempat ini.” Desis Dennis lagi sambil menatap lawan bicaranya itu.
Mereka berdua akhirnya tertawa lepas. “Aku tidak menyangka kalau pada
tanggal ini, lima belas tahun lalu, aku berdiri di ruang rapat seorang diri dan
untuk pertama kalinya bertemu dengan pimpinan perusahaan ini. Sudah lama
sekali, ya?” Desis Anti.
“Kalau begitu, kau harus merayakannya dengan ku, bukan? Lima belas
tahun untuk seorang wanita yag masih terlihat muda seperti mu. Itu angka yang
fantastik yang menunjukan kalau sebenarnya kau sudah tidak semuda itu.” Canda
Dennis.
“Kenapa harus merayakannya dengan mu?” Tanya Anti. “Seharusnya aku
merayakannya dengan mantan asisten ku dan Viena.” Ujar Anti.
“Kau masih menghindar juga.” Keluh Dennis.
“Carilah wanita yang lebih muda, cantik, dan belum punya anak.” Ujar
Anti pada pria yang masih saja mengejar cintanya hingga kini.
“Kalau kau melakukan kloning, beritahu aku ya. Aku akan berharap hasil
kloning-an mu tidak menolak ku berulang kali seperti pemilik DNA aslinya.” Ujar
Dennis.
“Tapi, kalau tadi pagi kau tidak mengingatkan ku. Aku pasti tidak
ingat kalau hari ini sudah 13 April, harusnya aku tidak melupakan ulangtahun
asisten ku, kan?” Ujar Anti mengganti topik pembicaraan begitu saja.
Dennis hanya bisa menunduk sambil tertawa sinis pada dirinya sendiri.
Wanita di depannya ini memang bukan wanita biasa yang bisa ditaklukannya dengan
mudah.
“Bagaimana mungkin menyetarakannya dengan wanita biasa, di saat wanita
ini memiliki beberapa yang tidak dimiliki wanita lain?” Pikir Dennis.
Anti memang memiliki banyak hal yang tidak dimiliki wanita lain.
Cantik, menarik, memiliki pola pikir yang luas, cumlaude strata dua universitas
ternama dengan gelar Master of Humaniora. Selain itu tubuh Anti, jika
diperhatikan lebih saksama, juga tidak kalah dengan seksi dari artis AV. Anti
terkenal pintar menempatkan diri, disegani banyak orang, dan memiliki harga
diri tinggi. Umur yang sudah empatpuluh dua tidak terlihat dari gaya
berpakaiannya yang sederhana dan santai. Seingat Dennis, Anti memiliki selera
yang baik pada makanan selain dapat memasak cukup banyak jenis masakan, karena
selama ini Dennis sering berkunjung ke rumah Anti dengan berbagai alasan yang
bahkan terkesan dibuat-buat.
Tapi, wanita keras kepala yang duduk di hadapan Dennis ini tidak
sesempurna itu. Dennis menyadari wanita ini terkadang terlihat sinis memandang
sesuatu yang menurutnya membuang waktunya, seperti cinta. Anti juga ditakuti
banyak orang di perusahaan ini karena terkenal sebagai pemarah dan pendendam.
Membuat Anti kesal, artinya menyiapkan ‘neraka’ untuk diri sendiri di kantor
itu. Dennis bahkan masih ingat saat tingkat ke’cuek’kan Anti sedang naik,
wanita itu tidak mau menyapanya meski berpapasan secara langsung di ruang
meeting. Sepertinya, selain pekerjaan dan anak semata wayangnya, tidak ada hal
lain yang lebih penting untuk Anti pikirkan.
Di mata Dennis, Anti adalah perpaduan antara edelweis, si-bunga abadi
dan es abadi yang ada di Mount Everst. Sejauh yang Dennis tahu, satu-satunya
saingan terbesar dirinya dalam meraih cinta Anti adalah Joshia Alexander,
penulis kesayangan dan teman dekat Anti. Tapi, melihat sosok dingin Josh yang
seperti versi pria dari Anti, Dennis yakin dirinya tidak akan kalah dari pria
itu. Toh, selama ini mereka tetap memasang status sebagai teman, tidak lebih dari
itu.
"Permisi." Ujar seorang Office boy yang membuka pintu ruang
kerja Anti.
"Sudah datang rupanya." Anti bergumam. "Tolong letakan
di sini saja. Bagaimana dengan makanannya?" Tanya Anti.
"Sudah sampai di lantai bawah." Ujar Office boy tadi.
Dua Office girl datang membawa beberapa camilan dan meletakannya di
meja lain. Ofice boy itu meletakan Cake yang dibawanya di atas meja dan
bersisian dengan beberapa gelas wine kosong dan sebotol redwine. Anti ikut
menyusun beberapa kaleng minuman kaleng di meja lainnya.
"Di mana asisten mu yang berulang tahun itu?" Tanya Dennis.
"Sebentar lagi dia akan sampai. Tadi ada sedikit masalah di jalan
tapi, dia bisa mengatasinya. Kau ikut merayakannya, kan? Dia sangat mengagumi
mu." Ujar Anti.
Dennis menganggukan kepala sambil mencoba untuk tetap tersenyum.
Sepertinya Anti tidak akan berhenti menyodorkan sejumlah nama wanita lain, agar
Dennis bisa memulai hubungan dengan wanita lain dan meninggalkan pikirannya
yang terus berharap pada Anti yang dingin pada pria itu.
“Sebentar lagi Viena datang, sebaiknya aku menghubungi beberapa rekan
lainnya.” Ujar Anti lagi. Wanita itu segera menghubungi beberapa rekan kerja
mereka.
***
Steve beberapa kali melirik Viena yang duduk di sebelahnya dan sibuk
mencatat memo di buku agendanya. Viena melirik Steve sesaat sambil mulai
menulis lagi. Steve tertawa kecil melihat wanita di sebelahnya itu hanya
melirik ke arahnya sesaat seperti sedang mencoba mengingat sesuatu saja.
Awalnya, Steve mengira Viena akan bicara. Tapi, wanita itu tidak mengatakan sepath
kata pun setiap kali melirik ke arahnya.
“Apa yang sedang kau tulis?” Steve mencoba mencaritahu apa yang sedang
dikerjakan wanita itu sampai sebegitu seriusnya.
“Jadwal untuk Anti besok.” Ujar Viena yang masih serius menulis tanpa
melirik ke arah Steve. “Kau tahu kan, belakangan ini Anti sangat sibuk. Selain
akan menghadiri beberapa peluncuran buku, dia masih harus mengedit beberapa
pekerjaan penterjemah baru. Banyak dari penterjemah buku baru yang nakal.
Mereka tidak mengatakan kesulitan mereka saat menerjemahkan buku, tapi kemudian
di akhir mereka akan menimpakan semua masalah mereka pada editor.” Ujar Viena
lagi.
Steve hanya menganggukan kepalanya. “Sepertinya bukan hanya Anti yang
sibuk, Kau asistennya pasti jauh lebih sibuk.” Ujar Steve.
Viena terlihat berpikir sejenak. “Kau bisa bilang begitu.” Ujarnya.
“Seharusnya, Anti juga berpikir seperti itu.” Ujarnya lagi.
Steve dan Viena terdiam untuk waktu yang lama. Viena sepertinya sadar
sudah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakannya pada Steve yang
memiliki hubungan cukup dekat dengan Anti.
“Yang itu, jangan kau bilang pada Anti.” Desis Viena. “Anggap saja aku
tidak pernah mengatakannya.”
Steve tertawa mendengar Viena yang sepertinya malu sudah berterus
terang padanya tentang keinginannya agar Anti lebih peduli padanya.
“Kau tidak pernah berencana untuk berhenti bekerja untuk Anti, ya?”
Tanya Steve tiba-tiba.
Viena segera melirik ke arah Steve yang sejak tadi mengendarai mobil
di sebelahnya.
“Aku, ....” Viena berusaha menggigit lidahnya sendiri agar tidak lagi
mengatakn hal yang seharusnya tidak dikatakan olehnya.
“Aku rasa kau tahu kalau aku tidak sedekat itu dengan Anti sampai kau
takut mengatakan sesuatu tentangnya.” Ujar Steve. “Aku hanya bertanya sebagai
seorang teman masa kuliah. Anti sangat prefeksionis. Dia juga terkadang
memarahi mu di depan orang lain tanpa melihat situasi. Apa kau tidak bosan
bekerja dengan orang seperti itu?” Tanya Steve.
Dalam hatinya Viena merasa perkataan Steve memang benar. Seperti pagi
ini, Anti menegurnya di depan Dennis dan membuatnya merasa malu. Setiap hari
pun Anti selalu memarahinya seolah setiap pagi datang ke kantor, Anti sudah
memikirkan kesalahan apa yang akan dicarinya untuk memarahi Viena. Awal bekerja
untuk Anti, Viena memang sempat merasa tertekan. Beberapa kali setelah dimarahi
Anti, dia akan pergi ke toilet dan menghabiskan waktu makan siangnya untuk
menangis di dalam toilet sendirian. Tapi, sudah tujuh tahun berlalu, Viena
tidak merasa kemarahan Anti sebagai sesuatu yang mengganggunya. Mungkin karena
Viena sudah terbiasa dengan kemarahan Anti.
“Kandang memang bosan.” Desis Viena. “Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
saat aku cuti terkadang justru merindukan suara Anti saat sedang marah.” Ujar
Viena sambil tertawa kecil.
“Begitukah?” Tanya Steve lagi.
“Hmm, kalau dilihat Anti itu memang menakutkan. Tapi, Anti tidak marah
begitu saja. Aku sendiri memang masih sering melakukan kesalahan. Lebih baik
kalau dia memarahi ku daripada mendiamkan ku seolah aku tidak ada.” Ujar Viena
lagi.
Steve mengangguk-angguk kecil seolah mengerti pada perkataan lawan
bicaranya itu. “Shh, kau terlihat seperti orang yang terbiasa di-bully. Pasti
sangat tertekan untuk bekerja dengan bos yang begitu galak.” Gumam Steve.
Viena segera tersadar Steve tengah meledeknya. “Bukan begitu. Anti
memang galak, tapi kalau ku ingat selama ini dia selalu membantu ku
menyelesaikan masalah yag selalu ku buat. Aku hanya merasa dia tidak seburuk
itu.” Ujar Viena yang mencoba menerangkan maksud perkataannya.
Steve tertawa lagi. “Aku hanya bercanda.” Ujar Steve sambil
menghentikan mobilnya di depan lobby kantor tempat Viena bekerja. “Aku akan
turunkan kau di lobby. Bagaimana kalau malam ini kau membayar gaji ku setelah
bekerja seharian menjadi supir pribadi mu?” Tanya Steve.
“Gaji apa?” Desis Viena. “Memangnya berapa yang harus ku bayar?” Tanya
Viena.
“Kau harus membayar ku dengan tubuh mu. Karena aku sudah bilang kan,
kalau aku tidak menerima bayaran berupa uang.” Ujar Steve tanpa memperhatikan
perubahan wajah Viena saat pria itu mengatakannya.
Viena terkejut dengan kata-kata Steve dan menangkap perkataan itu
sebagai hal yang tidak seharusnya dikatakan Steve. Viena segera tertawa kecil
seolah menganggap kata-kata Steve sebagai sebuah lelucon.
“Aku tidak sedang bercanda.” Ujar Steve sambil menatap Viena.
Viena segera menahan nafasnya dan melirik Steve yang sedang
memandanginya dengan lekat. Entah kenapa suasananya menjadi canggung dan
membuat Viena salah tingkah. Steve segera tertawa kencang sambil menepuk pundak
Viena yang kaku dengan keras.
“Aduh, sakit.” Keluh Viena.
“Kau seharusnya melihat ekspresi wajah mu itu tadi.” Tawa Steve
semakin keras. “Aku akan tunggu sampai kau selesai kerja. Malam ini aku tidak
ada pekerjaan, jadi temani aku nonton film. Pacar mu tidak akan marah, kan?”
Tanya Steve sambil melepaskan seat beltnya.
Viena merasa kesal karena sepertinya Steve tidak pernah bisa berhenti
bercanda seperti dulu saat mereka masih berkuliah. Menurut Viena, pria ini
tidak pernah berubah sedikitpun. Steve masih kekanak-kanakan dan suka bercanda
yang tidak senonoh menurut Viena. Viena memajukan bibirnya mengejek Steve.
“Tidak mau.” Tolak Viena dengan segera. “Hari ini adalah hari ulang
tahun ku. Kenapa aku harus menonton film dengan pria menyebalkan seperti mu.”
Ujar Viena lagi.
Steve mengangguk-angguk lagi. “Baiklah, kalau begitu aku akan tagih
bayarannya pada Anti, dan melaporkan kalau kau sudah menabrak mobil ku.” Ujar
Steve.
Viena terdiam sesaat menunjukan ekspresi protes yang tidak bisa
dikeluarkannya melalui kata-kata. Steve segera tersenyum dengan lebar dan
membantu Viena melepaskan Seat beltnya. Hal ini membuat Viena kembali teringat
pada masa kuliah mereka, saat dirinya menyukai Steve. Sejenak Viena menunduk
malu, tapi tetap memajukan bibirnya.
“Aku tunggu ya. Kau tidak boleh melupakan kebaikan pria tampan seperti
ku begitu saja.” Ujar Steve dengan penuh percaya diri.
Viena segera melirik ke arah Steve dengan pandangan kesal. “Baiklah,
pria tampan. Aku akan merelakan malam ulang tahun ku ditemani oleh pria playboy
seperti mu.” Ujar Viena yang dengan segera membuka pintu mobil dan berjalan ke
arah pintu lobby.
Steve tertawa senang karena sudah bisa menggoda wanita yang dulu
gosipnya sempat menyukainya saat mereka masih berkuliah di kampus yang sama.
Steve segera menjalankan mobil untuk
mencari tempat parkir. Steve sendiri tidak mengerti mengapa dirinya
justru tertarik pada wanita biasa-biasa saja seperti Viena. Dalam hatinya Steve
hanya bisa membandingkan Viena dengan makhluk paling aneh yang pernah
dilihatnya, yang memang tinggal di sebelah rumahnya. Bagi Steve, Viena jauh
lebih normal daipada wanita yang sudah menjadi tetangganya sejak sepuluh tahun
lalu itu.
Viena segera memasuki ruangan atasannya untuk melaporkan hasil sample
pertama dari percetakan untuk empat novel yang terlambat untuk dikirim orang
percetakan. Ruangan itu terlihat gelap, lalu Viena mendapati sebagian besar
rekannya tengah mengerubunginya sambil menyanyikan lagu wajib bagi orang-orang
untuk menyanyikannya untuk yang sedang berulang tahun. Viena tidak menyangka
atasannya ini tidak pernah melupakan hari ulang tahunnya, dan mengadakan pesta
kejutan seperti tahun sebelumnya. Anti membawakan kue ulang tahun yang di
atasnya terpasang lilin berbentuk angka tigapuluh satu. Viena segera tersenyum
setelah meniup lilin itu sebelum sempat mencair mengenai toping Cake yang
bertuliskan namanya.
“Ah, sudah tua sekali dia.” Canda Dennis. “Sebaiknya, kau mencari
pasangan sebelum menjadi perawan tua seperti bos mu.” Lanjut Dennis pada Viena
yang segera menunduk mengucapkan terima kasih karena Dennis mau ikut merayakan
ulang tahun ini.
“Terima kasih.” Ujar Viena.
Anti yang tidak merasa sama sekali menjadi terget ledekan tidak
mempedulikan Dennis, dan segera membawakan pisau untuk Viena. Wanita yang sudah
berusia tigapuluh satu tahun itu segera memotong cake dan memberikan cake
pertamanya untuk Dennis. Tidak ada yang begitu menyadari kalau sebenarnya Viena
menyukai pria itu. Hanya Anti yang sepertinya mengerti perasaan Viena dan
segera membantu Viena untuk memotong sisa cake untuk dibagikan pada rekan lain.
Setidaknya untuk hari ini, Viena bisa duduk di depan Dennis dalam situasi
nonformal.
“Apa wish mu?” Tanya beberapa rekan kerja Viena.
Viena hanya membalas mereka dengan senyuman saja. Anti segera
bergabung di antara mereka dan mulai berbincang-bincang dengan Dennis, agar
Viena tidak merasa terlalu canggung untuk berhadapan langsung dengan anak dari
pemilik perusahaan ini.
***
Cleo berdiri di tengah kamarnya, sendirian menatap ke arah cermin dan
mulai pembicaraan dengan hatinya.
“Sial!” Pekik Cleo. “Apa hasil tulisan ku begitu buruknya sampai dia
menyuruh ku untuk merobeknya?” Tanya Cleo. “Tidak. Dia pasti merasa kesal saja
karena harus berhadapan dengan mantan mahasiswanya yang akhirnya lulus dengan
gelar cumlaude.” Ujar Cleo pada dirinya sendiri yang berada dalam bayangan
cermin.
Wanita itu tertawa keras dan menarik naskah yang diberikannya pada
temannya untuk diberikan pada editor yang ternyata adalah mantan dosen
pembimbingnya. Cleo membuka amplop cokelat itu dan mengeluarkan naskah itu
tanpa melihat dengan jelas kertas yang sedang dipegangnya.
“Apa dia tidak tahu aku ini penulis yang punya banyak fans.” Ujar Cleo
sambil mengangkat smartphone yang layarnya membuka halaman blognya. “Lihat ini!
Sudah 180.230 kali diakses oleh para fans ku.” Ujar Cleo lagi pada bayangan
yang ada pada cermin sambil mengarahkan layar smartphone itu ke cermin.
“Ada lima belas komentar untuk update yang kemarin aku lakukan.” Ujar
Cleo sambil melihat ke layar itu lagi.
Cleo baru menyadari salah satu nama dari pemberi komentar adalah
chipo_anzai yang selalu menuliskan komentar sama tiap kali dirinya meng-update
blog dengan cerita baru.
"Tulislah yang sesuai dengan kenyataan. Jangan hanya
berkhayal."
Tulisan itu membuat Cleo kesal dan wanita itu langsung menghapus
komentar yang membuatnya bertambah kesal. Cleo melempar smartphonenya ke atas
ranjang dengan perasaan kesal. Tidak ada yang lebih mengesalkan baginya selain
komentar negatif dari orang yang bahkan tidak terlihat batang hidungnya atau
hasil karyanya.
“Sial.” Pekik Cleo pada cermin sekali lagi. “Aku setengah mati menulis
tapi tidak dihargai sedikitpun. Tidak bisakah orang memberi komentar negatif
dengan lebih manis? Tidak lebih tepatnya, mereka harusnya memberikan komentar
yang beradab sedikit. Aku tidak menulis untuk dicela seperti ini!” Pekik Cleo
lagi.
Tidak ada suara lain di rumah besar itu kecuali suara Cleo. Suara yang
menggema bahkan terdengar hingga keluar rumah membuat Josh terkejut dari
lamunannya dan mengarahkan pandangan ke rumah sebelah tempat wanita yang tadi
pagi bertemu dengannya itu. Josh tidak bisa tertawa seperti biasanya saat
melihat Cleo berbicara keras di depan cermin seorang diri. Mungkin karena
mereka senasib. Naskah yang dikerjakan mereka di anggap tidak jadi naik cetak
di saat mereka sangat membutuhkan naskah itu naik cetak. Josh menarik amplop
cokelat yang diletakannya di atas ranjang.
“Ya, marahlah selagi kau bisa.” Desis Josh. “Aku bahkan tidak bisa
marah lagi. Tidak ada alasan bagi ku untuk marah. Sudah enam bulan Anti
mengingatkan ku berkali-kali untuk menambahkan cerita cinta pada novel ku.
Tapi, tidak ada yang bisa ku lakukan. Mungkin karena sudah terlalu lama aku
tidak merasakan perasaan itu.” Josh ikut bicara pada dirinya sendiri sabil
melihat ke arah jendela kamar wanita bernama Ratu Cleopatra itu.
“Hah!” Pekik Cleo lagi sambil berusaha merobek lembaran kertas yang
ada di tangannya.
Cleo tidak jadi merobek kertas itu karena tidak mampu melihat hasil
karyanya berbulan-bulan hancur begitu saja. Cleo segera menyadari ada yang
berbeda dari kertas itu. Ada tulisan Mr. E dan nama Joshia Alexander di bagian
depan lembaran kertas-kertas itu. Cleo segera membuka lembar demi lembar kertas
yang ada di tangannya. Cleo bahkan menarik amplop cokelat tadi dan menemukan
sebuah post itu yang terjatuh di kakinya saat mencoba menggerakan amplop itu ke
bawah seolah ingin megosongkan isi amplop.
Di rumah sebelah, Josh berjalan ke arah beranda dan siap untuk
menyalakan api di salah satu sudut beranda itu, di atas tong sampah. Josh
sendiri siap membakar naskah yang ada ditangannya. Namun Josh tidak melihat
nama ataupun judul di bagian depan naskah itu. Josh segera mencaritahu apa yang
terjadi pada naskahnya. Sebuah note kecil yang ada di bagian tengah kertas itu
segera ditarik tangannya. Josh menyadari bahwa itu bukanlah naskahnya. Anti
sengaja menukar naskahnya dengan naskah orang lain yang tidak diketahui judul
dan nama penulisnya itu.
“Bacalah dulu dan kau mungkin baru menyadari bagian yang hilang dari
cerita mu.” Desis Cleo sambil membaca post it yang ada di dalam amplop bersama
dengan naskah itu.
“Apa ini?” Pikir Josh. “Kenapa Anti meminta ku untuk membaca naskah
milik orang lain. Apa dia ingin aku membandingkannya dengan naskah ku?” Pikir
Josh.
Cleo berjalan ke arah jendela dan meremas note itu dengan tangannya
sekeras mungkin. Cleo ingin mengembalikan naskah itu pada pemiliknya, tapi dia
bahkan tidak pernah merasa pernah bertemu dengan Joshia Alexander yang terkenal
sebagai penulis novel detektif dan misteri. Cleo membuang pandangannya ke arah
rumah tetangganya dan mencoba melihat lebih jelas pria yang berdiri di beranda
itu.
“Hah? Bukankah dia itu orang yang tadi pagi menyelamatkan ku? Kenapa
bisa ada di sana?” Pikir Cleo sambil mengingat wajah dua pria yang sebelumnya
pernah dilihatnya di kamar tetangganya itu.
Cleo membuka mulutnya begitu lebar dan menyadari bahwa pria itu adalah
pria yang sama yang dipikirnya adalah pasangan gay tetangganya. Cleo menggigit
kuku jempol tangannya sendiri sambil berpikir, haruskah dia menyapa pria itu.
“Jadi, dia gay. Pantas saja tadi pagi dia tidak merasa terganggu saat
kancing kemeja ku terlepas.” Bisik Cleo pada dirinya sendiri. “Cleo, itu bukan
urusan mu. Dia gay atau straight, itu kan bukan hal yang harus kau pikirkan.
Dia sudah membantu mu tadi pagi, menyelamatkan tas pinggang mu, dan meminjamkan
mu peniti. Seharusnya, kau tidak diam saja saat bertemu kembali dengan
penyelamat mu itu.” Cleo terus komat-kamit bicara pada dirinya sendiri.
Josh mencoba membaca awal cerita yang ditulis dalam naskah yang ada di
tangannya dengan sungguh-sungguh, berharap menemukan cara agar naskahnya
benar-benar bisa naik cetak. Josh benar-benar membutuhkan uang untuk beberapa
tahun ke depan ini. Tidak masuk akal rasanya untuk membiarkan kedua orang yang
sudah merawat dan membesarkannya sejak kecil tinggal di rumah orang lain. Josh
berharap setidaknya dia bisa membelikan kedua Orangtua angkatnya itu rumah yang
cukup nyaman untuk ditempati mereka kelak.
“Apa ini?” Pikir Josh. “Menggelikan sekali. Cerita konyol.” Ujar Josh
dengan sendiri saat membaca awal cerita bertemakan cinta segitiga itu.
Josh segera melirik ke arah jendela tetangganya yang sudah berhenti
berteriak itu, karena merasa tetangganya itu sedang mengamatinya dari jauh.
Josh terkejut melihat Cleo yang tengah memandanginya sambil sesekali menggigit
kuku jempolnya sendiri. Cleo menyapa Josh dengan melambaikan tangannya. Josh
mencoba untuk tersenyum, walaupun sebenarnya tidak ingin tersenyum sama sekali.
“Apa kita bisa bicara?” Tanya Cleo dari kamar jendelanya.
Josh menghela nafasnya, lalu mengangguk dan menunjuk ke arah taman
kecil yang berada di antar kedua rumah itu. Cleo segera menganggukan kepalanya
dan berlari ke arah tangga, setelah menarik peniti yang tergeletak di atas meja
komputer di kamarnya. Josh meletakan naskah yang dipegangnya sejak tadi di atas
ranjang extension tempatnya biasa tidur sebelum keluar dari kamar Steve, dan
melangkahkan kakinya ke arah taman kecil yang ada di antara rumah Steve dan
wanita yang bertemu dengannya tadi pagi.
Keduanya kini berdiri di taman itu, hanya dipisahkan pagar tanaman
setinggi satu meter yang tumbuh di sana sebagai pembatas antar rumah. Josh
hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu,
dan Cleo segera mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Ini.” Ujar Cleo sambil mengarahkan peniti yang tadi diberikan Josh
padanya saat menyadari kancing atas kemeja Cleo terlepas. “Terima kasih, ya.”
Ujar Cleo lagi.
Josh bingung harus menerima peniti yang sebenarnya tidak dibutuhkannya
lagi atau tidak. Akhirnya Josh berhenti menggaruk belakang kepalanya, lalu
tersenyum, dan menggelengkan kepalanya di depan Cleo.
“Tidak usah. Itu hanya peniti.” Ujar Josh.
“Tapi peniti ini sudah sangat membantu ku hari ini.” Ujar Cleo.
Josh tertawa kecil karena teringat kejadian di ruang kepala stasiun
pagi tadi. “Baguslah kalau begitu. Kau simpan saja. Aku memang selalu membawa
peniti setiap hari di loop celana ku. Jadi, aku masih punya peniti lain.” Ujar
Josh.
Cleo akhirnya menyimpan peniti itu dan kembali tersenyum lebar di
hadapan pria yang sudah menolongnya di stasiun tadi. Mereka terdiam untuk waktu
yang lama dan tidak tahu harus memulai pembicaraan dengan kata-kata apa. Cleo
yang tidak tahan pada situasi cangung itu memutuskan untuk mulai menanyakan
perasaan Josh setelah tadi siang terlihat begitu putus asa.
“Bagaimana perasaan mu sekarang?” Tanya Cleo.
Josh merasa bingung harus mengatakan apa. Lagipula, pertanyaan itu
menurutnya tidak seharusnya ditanyakan Cleo padanya.
“Baik.” Ujar Josh dengan terpaksa berbasa-basi pada Cleo. “Bagaimana
dengan mu?”
Cleo tertawa kecil. “Baik ya?” Desis Cleo mengulang perkataan Josh.
“Aku tidak bisa bilang baik. Hari ini benar-benar mengesalkan. Kecuali saat kau
membantu ku di stasiun tadi pagi. Maaf sudah merepotkan mu.” Ujar Cleo.
Josh tidak bisa membalas kata-kata Cleo. Sebenarnya, Josh merasa malu
menerima ucapan terima kasih dari wanita yang berdiri di depannya ini. Karena
sepanjang dua jam saat petugas membuat berita acara, Josh sempat merasa
menyesal sudah menolong wanita ini. Cleo menunduk untuk beberapa saat dan
kembali tersenyum menatap Josh lagi.
“Kau tahu, Bu Dean meminta ku membaca naskah orang lain. Ternyata
naskah yang diberikannya itu bukan naskah ku.” Ujar Cleo.
Josh terkejut mendengar perkataan Cleo. “Benarkah?” Tanya Josh.
Awalnya Josh ingin menanyakan tentang hal yang membuatnya bingung itu,
tapi Josh memilih untuk berdiam dan tidak mengatakan apa-apa. Toh, wanita ini
tidak begitu dikenalnya. “Untuk apa berbicara mengenai hal itu dengan orang
asing.” Pikir Josh.
“Bu Dean itu, tidak pernah berubah sejak dulu. Dia benar-benar senang
membuat orang lain susah.” Keluh Cleo yang memang tidak mengetahui hubungan
Josh dengan wanita yang tengah dibicarakan Cleo itu.
“Kau sudah mengenalnya sebelum hari ini?” Tanya Josh penasaran.
Cleo menganggukan kepalanya. “Dia dosen pembimbing ku saat aku masih
mengambil strata dua. Dia meminta ku merobek disertasi ku sebulan sebelum
sidang akhir. Untungnya, aku bisa mengerjakan disertasi baru sebelum sidang
akhir. Dia menyebalkan sekali kan?” Ujar Cleo seolah ingin mencari jwaban yang
sama dari Josh.
“Apa saat itu, dia tidak membantu mu sama sekali sampai kau merasa
benar-benar kesal?” Tanya Josh lagi.
Cleo menunduk dan mengingat bagaimana dosen pembimbingnya itu
memberikannya setumpuk buku untuk dipelajari kembali sebelum membuat ulang
disertasinya. Jika saat itu Bu Dean yang terkenal kejam itu bukanlah dosen
pembimbingnya, mungkin Cleo tidak mampu juga menyelesaikan disertasinya dalam
waktu kurang dari sebulan. Hasil terbaik juga di dapatkan Cleo setelah sidang
akhir yang membuatnya mendapatkan penghargaan suma cumlaude. Cleo akhirnya
teringat pada kebaikan dosen pembimbingnya itu.
“Mungkin karena manusia cenderung lebih mudah untuk mengingat yang
buruk. Aku juga baru ingat kalau dia tidak seburuk itu.” Ujar Cleo dengan polosnya
mengakui bahwa dirinya telah salah menilai orang. “Dia memang membantu ku. Dia
juga selalu bawel mengingatkan ku untuk membaca referensi yang diberikannya.
Dosen pembimbing lain biasanya tidak akan peduli sampai seperti itu pada
mahasiswanya. Dia bahkan satu-satunya orang yang mengucapkan selamat pada ku
saat mendapatkan penghargaan suma cumlaude. Dia bilang, tidak ada yang tidak
mungkin jika kita mau sedikit saja membuka diri dan menambah wawasan kita. Itu
katanya. Ya, aku rasa dia pasti punya sesuatu di balik ke’sinis’an dan tampang
dinginnya itu. Setiap orang pasti punya kelemahan dan kelebihan, kan?” Ujar
Cleo lagi. “Walaupun nenek sihir itu menyebalkan.” Cleo terus bercerita tanpa
benar-benar memperhatikan ekspresi lawan bicaranya.
Josh menahan tawanya dan mengerti betul perasaan Cleo yang pernah
dirasakan olehnya juga, dulu ketika masih berkuliah dengan Anti. Anti yang
keras kepala, tidak akan mau mengalah padanya. Anti yang menyebalkan karena
suka sekali mengatakan apa saja yang ingin dikatakannya, meskipun tidak ada
orang yang ingin mendengarnya. Anti yang sering membantu orang dengan caranya
sendiri, yang menurut orang lain membuat diri mereka merasa direndahkan.
“Oh iya, apa kau sudah sering bekerja sama sebelumnya dengan bu Dean?”
Tanya Cleo.
“Beberapa novel.” Ujar Josh merendahkan dirinya.
Cleo terlihat terkagum dan membuka mulutnya selebar mungkin. “Hebat.”
Ujar Cleo.
Josh yang merasa tidak nyaman jika dipuji oleh orang lain seperti saat
ini, hanya bisa kembali menggaruk bagian belakang kepalanya yang ditumbuhi
rambut tipis.
“Tidak perlu memuji ku.” Desis Josh.
Cleo terdiam untuk beberapa saat karena melihat pipi Josh yang
memerah, tapi kata-katanya sama persis dengan Bu Dean yang sewaktu itu mengajar
untuk kuliah umum. Cleo tertawa kecil lagi.
“Tidak, tidak. Aku sungguh-sungguh.” Ujar Cleo. “Aku bahkan tidak
pernah punya keberanian untuk mengirimkan naskah ku ke penerbit. Jika bukan
karena teman ku yang membawakannya, mungkin aku tidak akan pernah menginjak
perusahaan penerbit seperti itu.” Ujar Cleo lagi. “Apa kau kenal penulis lain
yang pernah bekerja sama dengan bu Dean? Ku dengar dari teman ku yang jadi
asistennya, dia sudah menjadi editor untuk lebih dari lima ratus buku tahun ini
untuk novel lokal dan terjemahan dari novel luar negeri. Pastinya dia sudah
pernah bekerja sama dengan penulis-penulis besar.”
“Begitulah.” Ujar Josh menanggapi wanita yang awalnya terkesan
menjelek-jelekan Anti, tapi kini seperti kagum pada editornya itu.
“Apa kau tahu, dia memberikan naskah siapa untuk ku baca kali ini?”
Tanya Cleo.
Josh membalas pertanyaan Cleo dengan menggelengkan kepalanya.
“Joshia Alexander.” Ujar Cleo segera menjawab pertanyaannya sendiri.
“Dia pasti tahu, aku tidak suka membaca novel detektif atau misteri, jadi
membarikan naskah itu pada ku. Padahal setahu ku, editor tidak boleh memberikan
karya orang lain begitu saja pada orang lain.” Desis Cleo lagi.
Mendengar namanya di sebut, Josh berusaha segera menutupi ekspresi
wajahnya yang mungkin akan berubah menjadi aneh di depan lawan bicaranya. Cleo
tampak tidak mempedulikan tatapan Josh yang seolah tidak terima saat naskahnya
diberikan pada orang lain. Bahkan yang menerima naskah itu adalah tetangga
Steve yang dianggapnya aneh.
Cleo yang tidak menyadari perubahan wajah Josh yang berpura-pura untuk
tersenyum, menahan kekesalannya, justru tersenyum dengan santainya. Cleo
melirik jam tangannya dan segera mengangkat tangan kanannya seolah ingin
mengucapkan selamat tinggal.
“Sudah malam, aku rasa tidak ada salahnya membaca naskah itu dan
memikirkan permintaan bu Dean sekali lagi sebelum mengambil keputusan untuk
menulis karya baru.” Ujar Cleo. “Kalau begitu, terima kasih sekali lagi karena
sudah membantu ku tadi pagi. Selamat malam.” Ujar Cleo mengakhiri sesi
pembicaraan mereka itu.
Josh menganggukan kepalanya sekali. “Baiklah. Selamat malam.” Balas
Josh.
Josh dan Cleo berbalik ke arah berlawanan dan meninggalkan taman itu.
Josh melangkah masuk ke kamar Steve dan memandangi jendela kamar tetangga Steve
yang baru saja berbincang-bincang dengannya dengan tatapan kesal. Josh segera
menarik ponselnya yang berada di saku celananya dan menekan nama Anti yang
muncul pada layar ponselnya.
“Ayo cepat angkat.” Keluh Josh berbicara sendiri.
Tidak lama kemudian Anti menerima panggilannya dengan santai
menyapanya.
“Hai, moshi-moshi.” Ujar Anti.
“Apa kau tidak salah? Kenapa kau memberikan naskah ku pada orang
lain?” Protes Josh begitu mendengar suara Anti.
“Bukankah aku sudah menyuruh Viena menuliskan note untuk kalian di
dalam amplop itu. Lagipula, tidak biasanya kau berbicara dengan orang asing.
Atau, kalian saling mengenal ya?” Tanya Anti dengan santainya.
Josh menghela nafasnya dan mencoba mengatur nafas sebelum emosinya
meledak. “Bukan begitu. Aku tidak mengenal wanita itu, hanya saja tidak sengaja
kami pernah bertemu sebelumnya, dia juga tetangga Steve, jadi aku berbincang
dengannya sebentar. Dia yang menyebutkan nama lebih dulu mengenai naskah yang
diterimanya ternyata milik orang lain. Aku tidak mengatakan apapun padanya.”
Ujar Josh dengan segera. “Apa yang sebenarnya kau inginkan? Untuk apa kau
menukar naskah ku dan memberikan naskah ku pada orang lain. Bagaimana kalau dia
meniru naskah itu?” Tanya Josh. “Dia bilang akan membaca naskah itu sebelum
memutuskan harus menulis naskah lagi.”
“Jadi kau di rumah Steve.” Desis Anti.
“Itu tidak penting.” Protes Josh lagi.
“Aku sudah memikirkannya. Anak itu bukan orang yang suka meniru gaya
tulisan orang lain, atau menjiplak karya orang lain. Tapi, kau seharusnya
membaca naskah yang ku berikan pada mu juga. Kau pasti bisa menebak siapa
pengarangnya.” Ujar Anti.
“Aku tidak peduli ini naskah siapa. Yang pasti, ini bukan gaya bahasa
mu, dan bagian awalnya saja sudah memuakan. Selain itu, penulis ini begitu acak
menceritakan bagian ceritanya. Bagaimana aku bisa membaca naskah konyol yang
sepertinya ditulis anak Sekolah Dasar ini?” Ujar Josh.
“Sudah ku duga kau akan mengeluh juga. Tapi, katakan keluhan mu itu
pada tetangga Steve. Karena dia yang menulisnya. Judulnya kalau tidak salah
Cinta ku Terbelah Dua, dan karya itu tidak seburuk yang kau pikirkan. Cobalah
meniru cara wanita itu berkhayal mengenai cinta. Walaupun kau tidak mau menulis
tentang cinta, setidaknya kau bisa menggambarkan hubungan tokoh utamanya dengan
seseorang yang dicintainya kan? Kembalilah ke masa lalu untuk beberapa saat,
dan coba untuk mengingat cinta pertama mu. Menurut penelitian di Barat, pria
tidak pernah melupakan cinta pertamanya walaupun sudah sering bercinta dengan
banyak wanita. Bahkan setahu ku, setelah memiliki cucu sekali pun, pria lebih
ingat nama wanita pertama yang dikencaninya daripada nama semua cucunya.”
Celoteh Anti panjang.
Josh menghela nafasnya lagi. “Aku tidak peduli siapa penulisnya. Kau
tahu kan kalau aku tidak bisa menuliskan mengenai cinta.” Ujar Josh seolah
memohon agar Anti berhenti memintanya menuliskan cerita yang ada unsur
cintanya.
“Cobalah dulu. Sekali ini saja.” Ujar Anti. “Mungkin setelah sekali,
kau akan terbiasa kelak.” Desis Anti lagi.
Josh merasa kesal, tapi tidak mau membiarkan wanita yang sedang
berbicara dengannya itu mendengar makiannya. Josh menutupi ponselnya dengan
tangan dan berteriak.
“Sial! Brengsek!” Pekiknya sebelum kembali mendekatkan ponselnya pada
telinganya.
Anti terkikih sambil menahan suara tawanya saat mendengar Josh masih
melakukan kebiasaanya. Meskipun ditutupi tangan, suara Josh terdengar dengan
jelas oleh Anti.
“Josh.” Panggil Anti akhirnya. “Kau tahu pembaca media cetak semakin
menurun karena mereka lebih suka membaca e-book atau posting copy-paste di blog
orang yang lebih murah dan mudah. Kalau penerbit tidak bisa memuaskan pelanggan
yang masih berusaha menghargai karya tulis orang, mereka akan beralih ke media
elektronik seperti kebanyakan orang lain. Menurut mu mungkin aku terlalu
menuntut banyak hal, tapi pada kenyataanya kita tidak bisa terlalu egois untuk
menjadi penulis idealis. Kita tidak bisa memaksakan kenyataan yang ada, kan?
Karena melihat dari survai pelanggan, dan jumlah novel yang laris dipasaran dan
jadi permintaan pasar belakangan ini adalah novel bertemakan cinta atau komedi.
Kau juga lihat sendiri hasil penjualan yang menurun untuk karya terakhir mu.”
Ujar Anti mencoba menerangkan maksudnya pada Josh.
Josh menghela nafas lagi. “Aku hanya bisa bilang, aku akan mencobanya.
Tapi, aku juga tidak tahu apakah bisa atau tidak.” Ujar Josh akhirnya.
“Bagaimana keadaan Papa dan Mama ku?” Tanya Josh.
“Baik. Akhir pekan ini kami akan jalan-jalan ke mall dan menonton film
bersama. Kau tahu kan, Jun ingin mengajak mereka untuk merasakan honor
pertamanya saat manggung di cafe bersama teman se-bandnya.” Cerita Anti.
“Begitukah?” Desis Josh.
“Jangan khawatirkan mereka.” Ujar Anti. “Kau bisa tidur dengan
santai.” Ujar Anti lagi.
Josh menghela nafasnya sambil tertawa kecil. “Bagaimana mungkin editor
ku meminta ku untuk tidur santai saat naskah ku masih belum naik cetak?” Tanya
Josh. “Aku akan mencobanya. Tolong aku untuk sementara ini menjaga mereka.”
Ujar Josh.
“Aku pasti menjaga mereka.” Ujar Anti berjanji pada Josh akan menjaga
kedua Orangtua Josh.
“Terima kasih.” Ujar Josh.
“Tidak perlu.” Ujar Anti. “Selama ini kau sering membantu ku juga,
tapi tidak mau menerima terima kasih dari ku.” Keluh Anti.
Josh hanya bisa tertawa kecil. “Baiklah. Selamat malam.” Ujar Josh.
“Hmm, Selamat malam juga.” Balas Anti untuk mengakhiri pembicaraan
mereka.
Josh melirik jam dinding sambil mengembalikan ponselnya ke posisi
semula dan kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya.
“Kemana playboy itu pergi?” Pikir Josh sambil menarik naskah yang tadi
sempat dibacanya.
Josh akhirnya kembali larut dalam cerita yang dibacanya pada naskah
yang sengaja ditukar Anti. Naskah yang ditulis wanita yang merupakan tetangga
Steve itu terlihat seperti naskah penulis amatiran. Josh teringat cerita wanita
itu tadi mengenai pertama kalinya menginjakkan kaki di kantor penerbit, dan
mengerti mengapa naskah itu ditolak oleh Anti untuk naik cetak.
***
Viena dan Steve melangkah
memasuki pintu cinema tempat mereka menonton film komedi yang dipilih mereka.
Pop corn dan minuman soda sudah di tangan mereka. Viena tertawa terbahak-bahak
sepanjang film diputar. Steve diam-diam memperhatikan wanita yang duduk di
sebelahnya itu. Bahkan, nyaris setiap kali wanita itu tertawa, Steve melirik ke
arahnya hanya untuk melihat betapa serunya wanita yang berbeda lima tahun
darinya ini, tertawa lepas. Hal itu menyebabkan konsentrasi Steve sedikit
terganggu. Tapi, Steve tidak mempermasalahkan hal itu. Menurut Steve, Viena
adalah sosok wanita unik yang manis. Mungkin, wanita seperti Viena hanya
sedikit sekali populasinya di dunia ini.
"Kau senang?" Tanya
Steve saat mereka keluar dari koridor panjang setelah melewati pintu keluar
cinema.
"Lucu sekali. Kau tahu,
adegan saat pria cebol itu dimasukan ke dalam peti, dan orang yang berjaga di
luar ruangan mulai menyebutkan dosa-dosanya pada pendeta untuk menarik
perhatiannya agar tidak masuk ke ruangan itu sebelum si-cebol berhasil
dimasukkan ke dalam peti. Adegan itu sangat lucu." Terang Viena yang
kembali tertawa mengingat adegan dalam film yang mereka tonton.
"Baguslah. Itu artinya
kita tidak salah memilih film." Ujar Steve. "Tapi, baru kali ini aku
menonton film komedi bersama seorang wanita. Aku baru tahu wanita yang pendiam
seperti mu juga bisa tertawa lepas seperti tadi." Ujar Steve lagi sambil
tersenyum mengingat Viena yang tertawa keras saat menonton tadi.
"Kau harus sering-sering
menonton film komedi. Itu bisa membuat mu awet muda." Ujar Viena.
"Ya, aku rasa
begitu." Desis Steve.
Mereka terus berjalan menuju
elevator. Toko-toko di dalam mall tempat bioskop itu berdiri sudah tutup. Steve
segera mengajak Viena untuk turun ke lantai basement bersama. Setelah mereka
masuk ke dalam mobil, Steve menjalankan mesin mobil dan mengantarkan Viena
pulang.
Viena tinggal bersama Ibunya di
kota ini. Tidak memiliki saudara perempuan dan merupakan anak tertua dari dua
bersaudara. Adik laki-lakinya masih berusia limabelas tahun. Steve mengenal
keluarga Viena dengan baik, karena dulu almarhum Ayah Viena sempat bekerja
sebagai sekertaris pribadi Ayah Steve yang merupakan pemilik perusahaan
perfilman.
Steve menurunkan kaca jendela
mobilnya setelah berbalik arah. "Selamat malam." Ujar Steve pada
Viena.
"Hati-hati di jalan.
Terima kasih." Ujar Viena pada Steve.
Steve segera menjalankan
mobilnya dan memandangi Viena yang melambaikan tangan tinggi-tinggi padanya.
Steve tertawa kecil lagi saat melihat Viena berbalik dan masuk ke rumahnya
tanpa menyadari kemeja bagian belakang Viena terangkat naik.
"Awas masuk angin. Kau
harusnya tidak mengangkat ujung kemeja bagian belakang mu terlalu tinggi."
Ledek Steve dalam SMS yang dikirimkannya pada Viena setelah memarkir mobilnya
di garasi rumahnya.
"Lain kali aku akan
memakai gaun backless saja." Balas Viena pada Steve.
Steve tertawa membayangkan
gadis bertubuh mungil itu memakai gaun backless. Steve yakin orang-orang akan
mengira Viena sebagai anak kecil yang salah kostum.
"Jangan memakai backless
saat ada tattoo duri ikan di punggung mu." Balas Steve sambil membuka
kemeja merah yang dikenakannya sesaat setelah menutup pintu kamarnya.
Josh yang masih terjaga karena
harus membaca naskah milik Cleo yang dianggapnya konyol itu mengarahkan
pandangan pada Steve yang tersenyum-senyum sendiri. Jam dinding menunjukan
pukul 01.00 malam, Steve tidak pernah pulang kencan selarut itu tanpa membawa
wanita. Sejak Steve masuk ke dalam kamar, Josh menangkap aura berbeda dari sahabatnya
itu.
"Apa yang kau
lakukan?" Tanya Josh pada Steve yang sibuk mengetik SMS sambil
senyum-senyum.
Steve tidak menjawab pertanyaan
Josh. Pria itu seperti sedang fokus pada SMS yang diketiknya. Josh
menggelengkan kepalanya melihat tingkah aneh Steve. Entah mengapa, Josh merasa
Steve sedang jatuh cinta pada seseorang, yang kemungkinan besar sedang
ber-SMS-an dengan Steve.
"Apa kencan mu hari ini
baik-baik saja?" Tanya Josh yang lagi-lagi tidak ditanggapi oleh Steve.
"Dasar!" Keluh Josh
sambil terkikih sendiri.
Sudah lama setelah selesai
mengirimkan SMS terakhirnya, Steve baru menyadari keberadaan Josh di tempat
itu. Steve masih cengengesan sendiri saat masuk ke kamar mandi dan mengganti
bajunya di sana sambil bersiul seperti sedang ada hal spesial yang baru saja
terjadi. Josh yakin perasaan Steve sedang berbunga-bunga karena terlihat begitu
senang seperti anak kecil yang mendapatkan mainan impiannya di hari natal.
Steve keluar dan melompat ke ranjangnya dengan gembira dan tersenyum lebar.
"Apa kau tahu kenapa aku
begitu senang?" Tanya Steve pada Josh.
"Menang lotre pun kau
tidak se-senang sekarang ini." Desis Josh. "Jatuh cinta?" Tanya
Josh.
Steve segera bangkit dari
tidurnya dan melemparkan bantal ke arah Josh yang masih sibuk membaca naskah.
Josh melirik ke arah Steve, menanti pria itu mengatakan sesuatu yang membuatnya
tampak begitu senang.
"Aku hanya senang saja,
karena hari ini bisa mengerjai satu orang wanita lagi. Wanita itu benar-benar
masih polos dan seperti anak kecil." Ujar Steve.
"Hmm..." Gumam Josh
sambil mengangguk-angguk.
"Kau tahu kan, mana
mungkin aku jatuh cinta pada wanita yang masih polos." Ujar Steve.
"Aku harap kau tidak
termakan ucapan mu sendiri." Desis Josh.
"Apa maksud mu?"
Protes Steve. "Aku mana mungkin jatuh cinta pada wanita pendiam yang tidak
terlihat seksi." Ujar Steve lagi.
"Baiklah, baiklah."
Ujar Josh akhirnya. "Aku akan tutup mulut dan kembali membaca. Abaikan
saja aku." Ujar Josh lagi.
Steve kembali memandangi layar
ponselnya seperti tengah asik dengan dunianya sendiri. Josh yakin sahabatnya
sejak masih kecil itu sedang memperhatikan foto wanita yang baru dikencaninya.
Itu sudah menjadi kebiasaan Steve sejak dulu. Josh tidak begitu tertarik pada
hal seperti itu. Menurut Josh, Steve memang tidak akan pernah dewasa. Toh dengan
ketampanan Steve dan kekayaan keluarganya, pria itu sudah seperti magnet bagi
lawan jenisnya untuk kencan meskipun hanya untuk One Night Stand.
***
=to be continued=
An a.k.a ^Inriani Sianipar^
An a.k.a ^Inriani Sianipar^
Komentar
Posting Komentar