Cuap-cuap
“Lift ini kusebut ‘elevator cinta’. Disinilah pertemuan perdana untuk aku dan dia berpapasan, bertemu dan berkenalan. Tempat bersejarah dalam kehidupan cinta kami, cinta yang membuatku sadar, cinta inilah yang harus ku miliki.
The begining
“Leganya hati ku hari ini. Perasaan campur aduk seperti layaknya adonan kue, sudah dipisah-pisah lagi. Sepertinya, dalam hati ku ada proses kimia-Destilisasi-Pemisahan ‘campuran-perasaan’. Awalnya, aku merasa tertekan dengan keputusan orangtua ku yang tiba-tiba.
***
Mereka tiba-tiba saja memesan kebaya, gedung, undangan hingga souvenir. Kupikir kakak ku akan segera menjelang hari bahagianya. Tapi, malam itu akhirnya ada juga yang mau buka mulut. Aku dijodohkan. Apa???
Heran. Bingung. Pusing. Aku heboh sendiri. Aku baru saja diam-diam menjalin cinta dengan ‘Mr. Backstreet’, pria yang sudah lama kucintai. Mungkin dulu ‘cinta monyet’ yang terkesan bertepuk sebelah tangan. Tapi, kali ini ketua OSIS ku semasa SMP yang hanya jadi objek ‘mimpi siang bolong’ ku itu adalah pria yang kini mengencani ku dengan serius. Tentunya ada alasan mengapa aku ‘Backstreet’ denganya. Alasan sensitif, Agama. Tepatnya dia berbeda keyakinan dengan ku. Orangtua ku pasti langsung menolak jika tau kami berpacaran.
Seperti apa pun aku menolak perjodohan yang diatur kedua orangtua ku, sekuat apa pun aku dan ‘kekasih gelap’ku itu bertahan, aku tetap seorang anak dari kedua orangtua ku. Mana mungkin aku tiba-tiba melawan orangtua ku. Apalagi, melawan papa ku. Sejak kecil tak ada yang memperhatikan, kecuali papa ku. Aku tidak berniat mengecewakannya lagi setelah aku mengecewakannya dengan masalah nilai di sekolah ku yang payah diantara ketiga saudara perempuan ku yang lain, bahkan kalah dengan kakak laki-laki ku. Aku putuskan untuk tidak lagi membuat dia kecewa. Sekarang ia meminta ku untuk menikah dengan orang terbaik ‘versi’nya. Pria yang 11 tahun lebih tua dari ku, berpendidikan tinggi, derajat keluarganya pun lebih tinggi dari keluarga ku, jelasnya orangtuanya adalah salah satu pemilik perusahaan tempat kakak ku bekerja dan yang pasti dia se-iman dengan ku. Aku juga tak mengerti, kenapa bukan kakak ku saja yang dijodohkan. Tapi, apa daya? Papa bilang aku yang masa depannya paling tidak jelas. Aku hanya mahasiswa yang sibuk berharap menjadi penulis yang kebetulan ikut-ikutan trend ingin jadi penulis Blog. Bibir ku tersenyum saat bertemu calon suami ku itu. Tapi, dalam hati aku bahkan tak sanggup untuk menangis. Keluhan bertumpuk dengan segera diantara tiap lembar buku-buku hati kecil ku. Tak ada yang sudi dengar, kecuali, batin ku, aku sendiri yang terus mengeluh dalam hati.
Malam minggu, malam dimana seharusnya aku dan Mr.Backstreet kencan jadi batal. Orangtua ku membawa foto ‘Mr.Will be’ dan meminta ku untuk kencan dengan pria dingin itu karena mereka sudah membuat janji dengan orangtua Mr. Will be. Walaupun Mr.Backstreet tau hal itu, dia tidak bisa apa-apa. Yang aku takutkan adalah dia marah dan itu membuat kami bertengkar. Tapi, emosi negatif itu tak ditunjukan olehnya. Dia memang sangat pengertian. Syukurlah...
Akhirnya aku pun pergi untuk menemui pria itu di tempat yang disebutkan orangtua ku. Dan, hal yang kuharapkan muncul. Pria yang dijodohkan dengan ku itu bahkan tak tertarik sedikit pun pada ku. Walaupun, itu artinya pria ini cukup menyadarkan aku, kalau aku tak cantik apalagi menarik di mata pria. Namun, orangtua ku dan orangtua pria itu tak peduli pada reaksinya. Tapi, dalam pojokan hati ku aku tertawa. Untunglah.... kira-kira itulah yang aku ucapkan dalam hati.
Di Cafe yang terletak di salah satu Mall termewah di daerah Jakarta Selatan yang terkenal lengkap dengan koleksi tenant terkenal di dunia, Mr.Will be dan aku rencananya akan dipertemukan. Dan sore itu baik Mall maupun Cafe terlihat ramai. Aku menunggu Mr. Will be hampir setengah jam lebih dari waktu seharusnya kami bertemu. Aku sudah kesal walau belum pernah bertemu dengan Mr. Will be. Tapi, mana boleh pria datang terlambat dan membuat wanita menunggu. Aku semakin kesal terutama karena Mr. Will be adalah boss kecil di perusahaan properti milik keluarganya. Apa susahnya pulang lebih awal dari kantornya jika memang sudah buat janji untuk bertemu dengan seseorang.
Setelah satu jam menunggu akhirnya Mr Will be datang dan segera duduk di depan ku. Dia hanya saling menatap kesal. Padahal seharusnya aku yang kesal padanya. Karena selain terlambat datang, Mr. Will be juga tidak minta maaf atas keterlambatannya. Setelah memesan minuman dan makanan kecil Mr. Will be tetap memasang wajah seramnya. Dia pun memulai pembicaraan.
“Apa kamu mau dijodohkan?” tanya Mr.Will be.
Tak sempat ku jawab pertanyaannya, dia memasang senyum sinis pada ku.
“Kamu ngak laku yaa?” tanya pria itu lagi.
Aku benar-benar geram dibuatnya....
“Memang dia pikir aku barang apa?” desis ku geram dalam hati.
“Aku sudah punya tunangan ku sendiri. Dan itu bukan kamu.” Tiba-tiba saja Mr.Will be buka suara lagi, seolah dia ingin membuat pengumuman resmi. “Dan yang pasti dia sedang mengandung anak ku...” lanjutnya.
Tentu saja pernyataannya membuat ku kaget. Apalagi aku memang sudah lahir dan besar di tempat yang bisa dibilang kolot. Orang tua kolot, teman-teman yang kolot juga. Seperti apa pun, aku tak sudi menikahi pria yang sudah menghamili anak gadis orang. Apa kata teman-teman ku kalau aku menikahi pria yang sudah punya anak di luar nikah. Lagi pula aku juga berpikir, bagaimana seandainya aku berada di posisi gadis itu.
“Lalu?” tanya ku seolah-olah tak peduli.
Mr.Will be tertwa sinis. “Aku akan cari cara apapun untuk membatalkan rencana ini.” Ujarnya.
“Horayyyy.....!!” pekiki hati kecil ku dengan keras.
Tapi, tetap saja aku sedikit kesal, karena sejak awal pembicaraan dia menginjak-injak harga diri ku, dan aku tak sudi.
“Baguslah.” Ujar ku singkat dan berusaha tanpa merubah mimik wajah ku.
Tapi, tetap saja setelah tau dia pun berpikiran yang sama dengan ku, aku jadi girang. Hati ku bersorak-sorai. Aku ingin sekali meloncat dan berjingkrak, ini ‘tarian kegembiraan’.
Dia sedikit membaca reaksi tak wajar ku. Lalu, menatap tajam sudut bibir ku yang sedikit naik. Aku tersenyum senang. Dia sepertinya tau aku sedang melonjak kegirangan.
“Sepertinya aku salah menduga.” Ujar Mr.Will be. “Kau sepertinya gembira.” Lanjutnya.
“Tentu saja.” Ujar ku cuek.
“Wah, gadis seperti mu ada juga yang mau..” ujarnya.
“Huh, tak lucu...” desis hati ku. “Memangnya gadis seperti apa aku ini?” protes hati ku.
“Maksudmu, apa ada yang mau menjalin hubungan dengan gadis aneh yang bodoh dan tak berpendidikan?” tanya ku padanya.
Dia tersenyum seolah membenarkan kata-kata ku.
“Kalau itu, kau yang bilang yaa..” ujar Mr.Will be seolah menang.
Aku benar-benar kesal. “Dasar brengsek...!” desis ku lagi dalam hati.
“Kalau begitu baguslah, aku jadi cukup tenang.” Ujar Mr.Will be. “Jadi aku tak pelu takut dikejar-kejar gadis yang tak laku.” Ujarnya seolah ingin mengejek ku lebih jauh lagi.
“Baguslah kalau kau tenang sekarang. Kalau begitu apa rencana mu sekarang?” tanya ku
“Tak ada.” Ujarnya.
Mr.Will be menarik cangkir dan menyeruput kopinya. Dia pun menarik nafas lalu, menghembuskannya dengan perlahan.
“Sial.” Aku mengumpat dalam hati.
“Kau sendiri?” Mr.Will be balik bertanya pada ku.
“Entahlah.” Ujar ku cuek.
“Apa dengan ‘entahlah’ mu, semua masalah ini bisa terjawab?”keluh Mr.Will be.
“Apa dengan kata ‘tidak ada’ mu itu, semua bisa diselesaikan?” balas kudengan tampang ‘rebelious’ girl.
Mr.Will be terkikih. “Kau akan segera tau apa rencana ku nanti. Tepat di hari rencana pernikahan yang tak akan pernah terjadi.” Ujarnya dengan gaya sok ‘kelas atas’nya.
Aku cukup kesal dengannya. Dia adalah si-sombong yang juga angkuh. Benar-benar seperti gaya anak eksekutif kelas atas yang kaya raya. Belum pernah ada pria sombong seperti itu yang pernah kencan dengan ku.
Tiba-tiba, handphonenya berbunyi. Mr.Will be segera menerima telphone itu. Taklama kemudian, dia segera menarik Ipad dan agenda yang dibawanya.
“Aku ada janji dengan tunangan ku.” Ujar pria itu sambil mengeluarkan uang dan membayar semua makanan yang telah dipesan, tepat saat makanan itu datang.
“Kau saja yang habiskan. Ini ongkos mu untuk pulang, berhubung aku harus pergi tapi, aku yang membawa mu, jadi kau pulang dengan taksi saja yaa... toh gratis.” Dia meletakan uang itu disamping tangan ku.
Mr.Will be mengedipkan sebelah matanya seolah mengejek ku.
“Tidak butuh...” desis ku kesal.
Tapi, dia tidak mempedulikannya. Dia segera berjalan kearah luar cafe begitu saja.
Hari itu adalah kencan pertama dalam hidup ku yang paling berantakan. Aku meminta teman ku datang dan membantu ku menghabiskan semua makanan yang ada di meja. Toh, di buang juga sayang.
***
After that
Langsung saja undangan disebarkan, gedung pun telah jelas di sewa, gereja pun di hubungi, 4 kali sudah aku mengikuti konseling pra-nikah di gereja ala cowboy karena dikejar-kejar tenggat waktu pernikahan. Memang aneh karena Pendetanya saja bingung dengan permintaan Konseling-Kilat-ala kadarnya yang khusus diminta oleh keluarga Mr. Will be.Tapi, setiap kali pulang Mr.Will be selalu tak lupa mengingatkan aku.
“Jangan menganggap semua ini serius yaa...! Aku sama sekali tidak berniat untuk menikah dengan mu. Jadi, jangan ‘Ge-eR’...” ujar Mr.Will be dengan gaya meledek.
“Dasar pria tak tau diuntung! Kalau kau benar-benar calon suami yang akan menikahi ku, akan ku tinggalkan kau didepan altar.” Pekik hati ku.
***
Hari itu benar-benar aneh. Mr.Will be meminta ku untuk jalan dengannya. Sesampai ku dirumahnya, Bibi dan Paman yang merupakan ayah dan ibu Mr.Will be, alias ‘calon mertua’ ku itu tersenyum menyapa ku. Bahkan ‘calon adik ipar’ ku, Mr.Charming puna ada disana dan dia tersenyum menyapa ku seperti pertama aku bertemu dengannya.
Mr.Charming benar-benar baik, sopan, santun, sama seperti kedua orangtuanya. Setidaknya itu yang ku lihat. Jadi aku juga bingung, entah dari mana Mr.Will be mendapatkan ‘gen’ sombing dan angkuhnya itu.
Mr.Will be mengajak ku ke ruang keluarga di lantai atas.
“Tumben.” Pikir ku.
“Tumben.” ujar Mr.Charming pada ku. “Kalian mau jalan yaa?”
“Begitulah kata kakak mu.” Ujar ku dengan cuek.
“Wah, ngak terasa yaa... 2 minggu lagi kalian akan menikah, sampai-sampai ma dan pa ikut-ikutan sibuk dan nervous.” Ujar Mr.Charming.
Aku jadi sedikit merasa bersalah kalu mengingat kedua orangtua kami sibuk mempersiapkan segala hal, dari baju hingga catering yang akan digunakan untuk pesta pernikahan yang tak pernah akan berlangsung itu.
“Honeymoon kemana nih?” tanya Mr.Charming.
“Entahlah.” Jawab ku singkat. “Ngomong-ngomomg kau kan janji mengenalkan ku pada pacar mu itu, siapa namanya, Angel?” tanya ku.
“Bagaimana kalu kau sudah jadi kakak ipar ku saja?” tanya Mr.Charming.
“Lebih baik tidak usah...” ujar Mr.Will be tiba-tiba. “Toh, kau tidak akan diizinkan untuk membawa ‘Angel’ mu itu kesini, atau pun pesta keluarga kita.” Lanjutnya.
Mr.Charming tak menjawab, hanya bisa membalas dengan senyum kecut.
“Ohh.., kasus ganda para ‘Mr.’ di keluarga ini, ternyata adalah hubungan yang tidak disetujui” Desis hati ku.
“Kalau begitu di luar rumah saja...” ujar ku sambil mengedipkan mata.
Mr.Charming tersenyum. Seolah dia mendapatkan dukungan dari ku.
“Lain kali” ujar Mr.Charming. “Oh iya, kalau kau bosan atau kesal dengan kakak ku yang konservatif ini, kau marahi saja. Dia tak mungkin bisa marah pada menantu pilihan mama...” ujar Mr.Charming.
Mr.Charming segera menuruni anak tangga, menuju ke ruang tamu rumah itu, tempat ‘calon mertua’ku sibuk dengan telephone dan pesanan catering.
“Dasar sok tau!” desis Mr.Will be kesal.
“Ngomong-ngomong kenapa sampai memanggil ku?” tanya ku.
“Hari ini kita ke Cafe. Ada seseorang yang ingin ku pertemukan dengan mu.” Ujarnya sambil mematikan TV di ruangan itu.
“Tapi, aku belum izin.” Ujar ku.
“Izin? Telphone saja orangtua mu. Aku yakin mereka tak akan marah.” Ujar Mr.Will be.
“Dan, satu lagi... ini bukan kencan. Tapi ada sesuatu yang penting yang harus kita bicarakan.”
“Huh dasar... seenaknya saja.” Pekik hati kecil ku. “Siapa yang rela kencan dengan mu?”
Tapi, kata ‘penting’ itu dan wajah seriusnya. Aku jadi yakin ada ‘sesuatu’ yang benar-benar harus dibicarakannya. Kalau tidak, mana mungkin dia punya inisiatif untuk mengajak ku jalan ke cafe.
Dugaannya benar, orangtua ku tak melarang ku untuk pergi dengan Mr.Will be. Bahkan bila terlalu ‘malam’ mereka menyuruh ku untuk menginap dirumah Mr.Will be. Hal senada pun dikatakan kedua orangtua Mr.Will be. Aku Cuma tersenyum kecut.
“Enak saja...! Aku yang rugi...!” ujar ku dalam hati.
Sesampainya kami di Cafe, di bilangan Jakarta Selatan aku segera ‘main tebak-tebakan’ dalam hati. Mata ku mulai bergerak mencari-cari diantara banyaknya orang lalu lalang di perempatan jalan raya di depan Cafe kecil yang terkenal dengan biji kopi segar dari dalam maupun luar negeri itu. Di depan sofa ku, Mr. Will be juga terlihat mencari seseorang sambil sesekali melirik jam di tangannya.
“Siapa yang akan datang? Kira- kira hal ‘penting’ apa yang akan disampaikan oleh Mr.Will be? Apa Mr.Will be ingin aku untuk menemui tunagannya? Apa dia ingin aku yang cari masalah agar perjodohan yang tinggal menghitung mundur menuju pelaminan itu berantakan dan dibatalkan? Atau apa dia ingin meminta ku untuk melakukan sesuatu? Apa? Apa? Dan, apa?” Aku jadi bertanya-tanya.
Tapi, segera saja pertanyaan yang sudah membesar bagai balon di kepala ku terjawab, dan balon itu sudah pecah. Karena jawabannya adalah ‘100%’ semua tebakan ku benar.
Pertama-tama seorang gadis yang memakai kacamata hitam datang dan membuka pintu cafe, membuat ku melihat ke arahnya, lalu mulai melihat sekeliling mencari-cari kira-kira ke mana gadis itu akan melangkah,dan kini gadis itu tiba-tiba saja duduk di hadapan ku tanpa menurunkan kaca mata hitamnya dan hanya melirik ke arah Mr. Will be.
“Peppi.. ini Ai,...” ujar Mr.Will be memperkenalkan gadis itu.
“Peppi?” desis ku.
“Kau,... A...Ai...” Wanita yang duduk di depan ku itu segera tersadar. “Ai, jadi kau yang dijodohkan dengan...” kata-katanya terbata dan akhirnya berhenti.
Aku dan Peppi sejenak terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Mr.Will be segera membaca kekakuan yang ada di wajah kami.
“Kalian saling kenal?” tanya Mr.Will be.
Nafas ku terasa berat. Begitu pula Peppi yang menatap ku dengan aneh karena terlalu terkejut melihat ku lagi.
“Aneh yaa..” desis Peppi. “Entah kenapa kita selalu terkait cowok yang sama sejak dulu....” lanjutnya.
“Apa maksudnya? Kalian benar saling kenal?” tanya Mr.Will be.
“Tentu saja. Dia yang selalu saja mengalah demi teman-temannya. William dia teman dekat ku sejak kami SMP.” Ujar Peppi.
Mr.Will be menatap kami dengan tatapan bingungnya.
“Tapi maaf. Aku tak selalu mengalah yaa....” ujar ku mencoba untuk bicara dengan santai.
Mr.Will be langsung melotot dengan ‘Ge-eR’nya.
“Dasar Mr.Narsis...” desis hati ku. “Maksud ku bukan dia lho...” ralat ku dengan cepat pada Peppi sambil menunjuk Mr.Will be.
“Aku dan ‘bule’ sudah jadian.” Ujar ku
Peppi mengangkat alisnya. Dia terlihat bingung dengan kata-kata ku.
“Si’bule’? yang dulu sama-sama kita suka itu? Yang dulu, pura-pura kamu tolak supaya aku dan Dian ngak cemburu?” tanya Peppi.
“Yaa, kami jadian baru jalan 3 bulan. Sebelumnya, aku jalan sama Mr.Quiet sekitar 2 tahun. Habis dia Cuma keseringan ngajak aku jalan ngak jelas, tanpa status gitu.” ujar ku. “Tapi, kalau dia sih...” aku melirik Mr.Will be.
“Jangankan di obral, di gratisin atau di bayarin aja aku tetap ngak sudi dengan dia. Orang yang menyebalkan, sombong, angkuh. Kok bisa sih kamu suka sama cowok kayak dia? Standart cowok mu turun drastis yaa???” desis ku dalam hati.
Ingin sekali rasanya mengatakan itu semua pada sahabat lama ku itu. Tapi, rasanya tidak sopan.
“He-eh...” aku Cuma nyengir didepan Peppi.
Peppi tersenyum tipis. Dia memang gadis yang manis. Dia adalah salah satu sahabat lama ku. Dulu semasa SMP, aku, Peppi, Mr.Backstreet, Dian, Luca dan Jay adalah teman akrab yang kompak. Dulu dia, aku dan teman kami, Dian sibuk mengejar Mr.Backstreet yang kedua paling pintar setelah Jay. Sayangnya, Mr.Backstreet sangat introvert, dia hanya mau bicara pada kami tentang beberapa privacynya. Aku nyaris jadian dengannya dulu kalau saja tak mengingat perasaan kedua sahabat perempuan ku.
“Kau sudah berapa bulan?” tanya ku.
“Sekitar 2 tahun...” ujar Peppi.
Aku tersenyum tipis, “Maksud ku,...” aku melirik perut Peppi yang mulai membuncit.
“Ahh,...” Peppi baru tersadar dengan pertanyaan ku.
“4 bulan..” ujar Mr.Will be.
“Ohh,.. “ ujar ku. “Maaf yaa bukannya usil.... Tapi, ..” kata-kata ku sedikit terhenti.
“Kenapa?” tanya Mr.Will be.
“Kalian akan menikah dimana? Di sini kan,... Maksud ku, undang-undang pernikahan di sini,...” aku jadi bingung sendiri. Walau sedikit menyesal menanyakannya, aku benar-benar ingin tau. Karena hal sensitif itu juga yang sedang aku dan Mr.Backstreet ku jalani.
“Apa urusan mu?” balas Mr.Will be.
Peppi segera mencubit pinggang Mr.Will be. Lalu, Peppi berusaha untuk tersenyum.
“Kami belum tau, dan lagi pula dia belum merencanakannya....” ujar Peppi sambil melirik Mr. Will be.
Aku menghela nafas. Aku tau mereka sedang berbohong. Mana mungkin mereka belum berencana.
“Dengar yaa, jangan pernah aku mendengar kalau kau mengecewakan teman ku. Kalau sudah ‘terlanjur’, yaa sudah. Tapi, jangan menganggap hubungan kalian selanjutnya adalah karena tanggung jawab atau resiko. Kau harus menjaga dia....” Mr.Will be ingin memotong kata-kata ku, tapi aku segera melanjutkan kata-kata ku. “ Jangan bilang kalau aku tidak punya urusan di sini. Anggap saja aku meminta mu untuk menjaga teman ku dan tidak menyia-nyiakan Peppi.” Ujar ku.
“Kau harus cari cara untuk menggagalkan pernikahan dengan ku.” Ujar ku.
Mr.Will be dan Peppi kali ini sama-sama terkejut dan terdiam.
“Kalau begini rasanya kau harus tau dari sekarang...” ujar Peppi.
Mata Mr.Will be menatap Peppi seolah memintanya untuk tidak melanjutkan kata-katanya dan berhenti bicara.
“Kami sudah tetapkan untuk mendaftarkan pernikahan kami di Singapura, 1 hari setelah hari kalian akan menikah.” Ujar Peppi. “Dia terpaksa harus meninggalkan mu.”
Aku tersenyum kecut.
“Brengsek jadi ternyata kalian sudah berencana untuk mempermalukan aku sejak jauh-jauh hari?” pekik hati ku kesal.
Aku berusaha untuk tetap tersenyum karena hal itu adalah hal yang justru membuat ku lega. Karena jelaslah sudah, Aku tak akan menikah dengan Mr.Will be.
“Aku tau kau mungkin tidak setuju dengan semua ini. Tapi, aku benar-benar tak bisa berjanji di depan Tuhan untuk sehidup semati, lalu pergi. Lebih baik tak ada yang menjadi ‘janda’ atau ‘duda’,kan?” Ujar Mr.Will be dengan tenang dan mimik serius.
Aku masih berusaha tersenyum.
“Gadis mana pula yang mau bermain-main seperti itu lalu jadi ‘janda’? kau benar benar kurang ajar, pemuda sial....! Jika Mr.Backstreet ku sampai dengar soal ini, kau pasti sudah dihajar olehnya.” Ujar ku dalam hati.
“Benar-benar ide yang aneh, yaa?” ujar ku.
“Apa?” tanya Peppi.
“Kau tak seharusnya mengatakan semua ini kan?” ujar ku pada Peppi.
Peppi sedikit khawatir, “Apa kau berubah pikiran?” tanya Peppi.
Aku segera menghela nafas dan tertawa tipis, jadi serba salah.
“Bukan begitu.” Ujar ku.
“Lalu?” tanya Peppi.
“Kau ini orang berpendidikan yang pintar kan nona? Masak, kau tidak tau? Apa kau tidak punya perasaan sedikit pun? Aku ini teman mu bukan sih? Kenapa harus menceritakan kalau aku akan di tinggalkan dan kalian akan menikah sehari setelahnya?” Ocehku dalam hati.
“Aku tau... itu berat...... Tapi,....” kata-kata Mr.Will be terbata-bata.
“Baiklah. Baiklah....” ujar ku akhirnya.
“Maksud mu?” Tanya Mr.Will be.
“Terserah kau saja. Aku tetap harus ke sana, dan aku harap kau menghilang dan menepati janji mu untuk menjaga Peppi.” Ujar ku.
Mr.Will be tersenyum senang, Peppi pun demikian.Aku berusaha tetap tenang dan tidak terlihat kesal. Tapi, dalam hati rasa kesal ku benar-benar sudah menumpuk. Yaa, lagi-lagi aku mengalah untuk Peppi, tapi aku memang menginginkan pernikahan itu batal. Lagi pula, aku tetap akan mengingat pertemanan kami seperti apa pun Mr.Will be. Peppi, aku, Dian dan Mr.Backstreet akan selalu jadi teman walaupun kami ada ditempat yang berjauhan. Namanya juga teman akrab, jauh tidak, dekat yaa, lumayanlah...
Sementara di depan jalan masuk kompleks perumahan ku Mr.Backstreet masih menunggu ku dengan muka tebal, dan tak tau harus bagaimana. Jelasnya, dia tidak akan di pedulikan oleh orangtua ku. Jadi hanya bisa menunggu ku di depan kompleks. Dia masih saja menanti ku dengan setia di situ. Padahal, kalau saja dia mau, banyak gadis cantik yang bisa dijadikannya sebagai pengganti ku. Tapi, dia bukan tipe pria ‘gombal’ seperti Mr.Quiet, mantan ku dan pria lain yang mungkin langsung kabur sekali di bentak orangtua ku.
Mr.Backstreet menyambut mobil Mr.Will be dengan muka masam. Aku segera turun dari mobil Mr.Will be.
“Ai, thanks yaa...” ujar Peppi.
Aku hanya tersenyum tipis.
“Ai, bisa tidak kau tidak pulang malam ini. Aku dan Peppi ingin pergi ke satu tempat, besok pagi baru pulang. Tapi, kau tau kan...?” kata-kata Mr.Will be membuat ku kesal.
Tapi, apa boleh buat. Aku mengalah lagi. Aku hanya menelphone kedua orangtua kami dan mengatakan kalau kami tidak bisa pulang malam ini. Dan kami diizinkan pergi begitu saja. Sekarang aku bingung sendiri harus pergi kemana.
Mr.Backstreet mendekat dan menarik tangan ku. Tapi, sebuah suara dari dalam mobil Mr.Will be menghentikan langkahnya.
“Bule...” panggil Peppi.
Mr.Backstreet segera memutarkan kepalanya, mencari asal suara.
“Peppi?”Mr.Backstreet pun menunjukan reaksi yang sama dengan kami tadi.
“Bene, Peppi adalah tunangan William.” Ujar ku.
Mr.Will be mengangguk menyapa Mr.Backstreet ku.
“Thanks yaa...” ujar Mr.Will be. “ Kami pergi dulu.”
Mr.Backstreet masih tak percaya dengan yang dilihatnya. Aku pun masuk ke mobil CRV Mr.Backstreet dan memulai cerita, sampai keluh kesah. Akhirnya, Mr. Backstreet dan aku hanya terdiam di dalam mobil.
“Peppi akan menikah dengan pria yang kau bilang menyebalkan itu? Yaa ampun, ada apa sebenarnya ini?” Mr.Backstreet hanya geleng-geleng kepala.
“Lalu sekarang kita harus kemana?” desis ku bingung sendiri.
“Kita ke binaria.” Ujar Mr.Backstreet.
“What?” respon ku terhadap kata-katanya membuatnya tertawa kecil.
“Kenapa?” tanya Mr.Backstreet.
“Ngapain kesitu?” tanya ku.
Dari yang hanya terkikih Mr. Backstreet jadi tertawa lepas.
“Kamu mikir apa sih?” tanya Mr.Backstreet.
Aku jadi ikut tertawa. “Okay_okay sorry...” ujarku.
“Tapi, aku serius...” ujarnya tiba-tiba.
“Apa?” tanya ku.
Tiba-tiba dia menatap ku tajam seolah-olah ingin melihat reaksi ku.
“Aku serius, kalau suatu hari pun kita harus kabur, kamu harus ikut aku.” ujar Mr.Backstreet. “Kamu bisa mengerti, kan?”
Aku hanya tersenyum. “Kau itu apa-apaan?”
“Aku serius.” Ujarnya lagi.
Tiba-tiba saja aku jadi gugup. Dia mencumbu kening ku dan menggosokkan hidungnya pada hidungku. Aku segera tersadar ini di depan komplek rumah ku. Aku segera mendorongnya perlahan. Dia segera tersenyum dan menyalakan mesin. Mobilnya melaju perlahan malam itu. Rasanya, aku ingin malam itu 100x lebih lama dari malam apapun.
Kami pun benar-benar ke Binaria. Pantai di utara Jakarta itu memang sering jadi tempat ‘bermalam’ orang-orang, persis seperti apa yang sering digambarkan orang-orang. Tapi, malam itu aku tertidur pulas di samping Mr.Backstreet, karena aku tau dia bukan tipe pria yang bisa bertindak sembarangan.
Pagi-pagi sekali aku terbangun dan menyadari, aku baru membuat masalah untuk Mr.Backstreet. Aku sempat tetap berpura-pura tidur karena tidak tau harus apa. Tapi, Mr.Backstreet justru tak mempermasalahkan jika dia harus di marahi oleh orangtuanya. Dia berpura-pura tak terjadi apa-apa. Dia tersenyum menatap ku dan membiarkan aku merebahkan diri dipundaknya.
“Maaf, gara-gara aku kamu jadi ikut-ikutan dapat masalah.” Ujar ku.
Mr.Backstreet menyibak rambut ku perlahan dan menarik tangan ku lalu, mengecup jari ku. “Apa kau yakin si Willy itu akan pergi dihari pernikahan kalian?” tanya Mr.Backstreet tiba-tiba seolah tidak yakin kalau rencana Mr. Will be yang kuceritakan padanya itu sungguh akan terjadi.
Aku tersenyum tipis menatapnya, “Cemas?” tanya ku.
Dia tak menjawab tapi, dia tersenyum menatap ku.
“Terima kasih, yaa. Aku benar-benar ngak tau harus apa kalau kamu ngak mau nungguin aku.” Ujar ku pada Mr.Backstreet.
Pria itu mengusap rambut kudan mencium kening ku lagi.
“Kita pulang saja sekarang. Aku antar kamu sampai depan kompleks.” Ujar Mr.Backstreet.
Aku mengangguk. “Thanks.” Ujar ku
“Orangtua mu pasti nyariin kalau kamu telat pulang. Kita sarapan di mobil saja. Okay.” Dia menyalakan mesin dan kembali mengantar ku ke komplek setelah membelikan ku sarapan. Dia beberapa kali dia mencuri pandang ke arah ku.Dia benar-benar manis dan lucu. Lucu karena dia sangat polos dan pendiam.
***
Hari pernikahan tiba. Aku duduk manis didepan cermin diruangan maintanance yang disulap jadi ruang rias pengantin. Baju kebaya mewah, sanggul cantik dan sepatu high heels yang pas sekali di kaki ku. Aku sudah siap berjalan ke altar. Mr.Will be masuk ke ruangan. Dia segera berdiri disamping ku.
“Aku minta maaf. Ini adalah waktu ku untuk pergi. Maaf harus merepotkan mu.” Ujar Mr.Will be dengan wajah tertunduk.
Ini kali pertama dia menghargai ku.
“Tapi, aku tak mau berhutang. Aku akan membayar balas jasa mu.” Dengan gaya sombongnya lagi dia meletekan sebuah amplop coklat di meja rias.
Sepertinya dia memang tak bisa lebih lama menghormati ku. Yang tadi itu adalah rasa hormatnya yang pertama dan terakhir untuk ku.
“Apa ini?” tanya ku.
“Aku tak mau berhutang pada mu.” Ujar Mr.Will be.
“Uang?” ujar ku setelah melihat isi amplop coklat itu.
“Aku tau ini tidak pantas. Tapi, aku tau kau juga akan kesulitan untuk pulang ke rumah orangtua mu dan jadi bahan pembicaraan tetangga mu.” Ujar Mr.will be.
“Apa?” balas ku. “Yaa ampun...” aku menghela nafas ku. Dia benar, aku harus pindah dari rumah orangtua ku atau akan jadi pembicaraan tetangga.
“Sudah terlambat. Aku harus pergi sekarang. Terima saja. Anggap saja itu ‘angpao’ dari kami. Okay.” Ujar Mr.Will be.
Mr.Will be membalikan badan.
“Will,..” Panggil ku.
Pria itu berbalik sebentar...
“Jaga Peppi...” ujar ku.
“Tenang saja.” Ujar Mr.Will be alias William Hart (34). Pria itu tersenyum tipis. Dan dia pun meninggalkan ruangan itu, meninggalkan ku di gereja.
Mr. Will be, not will be... Mr.Will not be....
***
Walaupun akhirnya Mr.Will be pergi, orangtuanya merasa malu dan kesal. Mereka mencoba menggantikan Mr.Will be dengan Mr.Charming.
“Memangnya menikah bisa di-‘barter’ apa?”Pikir ku sewot saat itu.
Tapi, biar bagaimana pun tak akan ada yang menikah karena, Mr.Charming pun punya pilihannya sendiri. Ini sudah jaman modern. Ini bukan masa Siti Nurbaya lagi. Mr. Charming pun menikahi ‘Angel’nya 2 minggu setelah itu dengan restu kedua orangtuanya.
Aku? Hanya jadi bahan pergunjingan para tetangga, teman dan kerabat dekat ku. Bahkan, teman-teman di kampus ku juga ikut-ikutan heboh bergossip. Setiap kali aku lewat di depan lobby kampus semua mata memandangi ku dengan tatapan aneh. Mereka seringkali membuat ku kesal. Seolah aku sudah berbuat dosa besar karena ditinggalkan calon suami ku didepan altar dihari pernikahan ku.
an a.k.a inriani sianipar
Komentar
Posting Komentar