Langsung ke konten utama

Actually Love (3)

Jun terdiam di depan pintu di rumahnya yang bertuliskan nama Luca dan mengingat anak kecil bernama Ben yang dilihatnya saat makan siang itu. Jun tersenyum kecut dan mengingat bagaimana seorang wanita yang dicintainya bisa mengkhianatinya dan meninggalkannya dengan anak bocah 5 tahun yang sama sekali tidak pernah tinggal dengannya. Jun mengamati anak bocah yang tidak pernah terlihat oleh media yang sibuk mengejar berita dan membuat gossip tentangnya itu tidur terlelap setelah pagi hingga sore hari marah karena melihat berita di televisi. Luca sibuk merusak semua mainan dan pakaiannya dan tidak bisa dihentikan sedetikpun.

Jun menyesali keputusan Fany, model yang dinikahinya diam-diam itu. Fany memutuskan untuk meninggalkannya dan putra mereka lalu menikah di luar negeri setelah putusan pengadilan terhadap perceraian mereka dan menolak hak asuh atas putra mereka semata wayang itu. Padahal selama ini Luca tidak pernah tinggal satu atap dengannya. Dan tiba-tiba, Difa kekasih baru Jun membuat keadaan bertambah kacau dengan mengatakan kalau paman Jun yang dikenal Luca adalah ayah kandungnya.

“Luca, sudah tidur?” Tanya Sinta.

Jun hanya mengangguk kecil sambil menutup kembali pintu kamar itu.

***

Jay segera menekan tombol lift untuk turun dari lantai 10 gedung kantornya. Kyla yang kebetulan ada disebelahnya sedikit membuat keringat dinginnya keluar. Jay jadi berpikir apa wanita ini memang memiliki semacam atmosphere dingin yang membuatnya jadi keringat dingin setiap melihatnya.

Kyla segera menapakkan kaki di lift yang sama dengan Jay. Roby dan Brenda yang juga rekan sekerja Jay lebih memilih untuk berdiri dibelakang Kyla. Gaby yang lebih senior dari lainnya dengan santai berani mengajak Kyla berbincang kecil. Namun, tetap saja Kyla terlihat menyeramkan di mata mereka.

“Berbeda sekali dengan saat anaknya ada disekitarnya.” Ujar Roby saat Kyla sudah melangkah keluar dari loby utama gedung sendiri.

“Kau tau, hanya Gaby yang bisa berbicara dengan Ms. Cly. Itu pun tetap dengan wajah seriusnya.” Ujar Brenda.

Gaby yang dibicarakan langsung berbalik menatap mereka. “Kau tau kenapa aku bisa bicara dengannya santai?” tanya Gaby.

Brenda dan Roby segera menggelengkan kepalanya dan mendekatkan kepala mereka saat Gaby mengoyangkan telunjuknya memberi isyarat agar mereka mendekatkan kepala mereka.

“Karena aku bukan penjilat!” Pekik Gaby keras lalu pergi.

Roby dan Brenda masih terdiam lalu bertatapan satu dengan yang lainnya. Jay hanya tertawa kecil lalu berlalu melewati keduanya yang memang terkenal jago dalam hal menjilat ketimbang bekerja secara serius.

Jay segera menghentikan langkahnya saat melihat Jun berdiri didepannya. Jay hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat pria itu.

“Jadi kau menghindar dari Difa setiap kalian ‘break’ syuting?” Tanya Jay saat mereka sudah berada di restaurant yang sempat jadi tempat insiden Jun saat mengungkit perbedaan Kyla dan Ben.

“Apa boleh buat, kan? Aku bosan melihat wartawan mencari kesempatan memotret-ku dengan Difa secara sembunyi-sembunyi.” Ujar Jun.

“Kau tau, itu semakin memperjelas kalau kalian masih saling suka karena kalau kalian bertemu seperti masih ada sisa-sisa perasaan yang bisa membuat kalian jadi tidak nyaman satu sama lain, kan?” Ledek Jay.

“Terserah kau saja.” Ujar Jun. “Sebenarnya aku sudah akan pulang tadi. Tapi, setelah dipikir-pikir, aku jadi ingin mengajakmu makan ditempat ini lagi.” Lanjut Jun.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Jay.

“Entahlah.” Ujar Jun singkat sambil melemparkan pandangannya kearah anak-anak kecil yang sibuk berkejaran di children playground dengan pengasuh atau ibunya saat akan disuapi.

“Kenapa? Kau berpikir tentang Luca, atau ulah gila mu menyumbangkan sperma dan sekarang jadi ingin tahu sudah seperti apa anak hasil inseminasi itu?” Tanya Jay. “Salah mu sendiri. Bukannya berpikir jernih malah iseng menaruh sperma di bank sperma dan mendonorkannya. Apa jadinya nanti kalau anak mu dari wanita tidak dikenal itu tiba-tiba memiliki hubungan dengan anak kandung mu dari ibu yang jelas kelak?” tanya Jay.

“Kau bicara apa?” Tanya Jun.

“Bisa saja kan kejadian seperti di drama-drama roman picisan itu terjadi.” Ujar Jay. “Kalau anak itu wanita, maka berbahaya kan?”

Mata Jun melotot seolah nyaris keluar. “Jangan bicara sembarangan.” Ujar Jun kesal.

Jun teringat kejadian itu sudah berlalu sekitar 7 tahun lalu saat dirinya benar-benar masih single. Namun, 3 bulan setelahnya Jun sempat berubah pikiran untuk mengambil kembali spermanya. Sayangnya, pihak rumah sakit sudah menjalankan proses inseminasi buatan itu dan tentunya wanita yang entah siapa itu sudah hamil hampir 3 bulan. Jadi tidak mungkin untuk membatalkan apa yang telah ditanda tanganinya. Dan berdasarkan perjanjian awal, Jun tidak diperbolehkan menemui wanita penerima donornya.

“Jika saja bayi itu hidup hingga sekarang pasti sudah beerumur 6 tahun.” Pikir Jun dalam lamunannya.

“Lalu bagaimana Luca sejak kemarin mengamuk?” Tanya Jay.

Pertanyaan Jay membuat Jun jadi teringat pada anak kandungnya sendiri.

“Dia masih tidak mau bicara dengan ku. Semenjak dia tau aku ayahnya bukan cuma pamannya. Sekarang dia dirawat oleh pengasuh ku. Aku hanya bisa melihatnya saat tidur. Aku takut dia akan mengamuk lagi.” Ujar Jun dengan wajah sedih.

“Jika saja Difa tidak sembarangan bicara pasti Luca tidak akan begitu.” Ujar Jay. “Apa dia masih mencari ibunya?” Tanya Jay.

“Tidak.” Ujar Jun. “Dia tidak sengaja melihat pemberitaan tentang ibunya yang menikah lagi di US dengan pengusaha kaya.” Ujar Jun kesal mengingat mantan istrinya, Fany, seorang model yang tidak pernah tersentuh media selama mereka bersama itu.

“Fany sudah menikah. Lalu kapan kau akan menikah juga? Lebih baik kalau Luca dirawat seorang ibu daripada pengasuh.” Ujar Jay.

“Aku tau. Tapi, kau juga tau kan. Tidak semudah itu menemukan wanita yang siap menjadi ibu dari bocah 5 tahun.” Ujar Jun.

***

Sue dengan setengah berlari kecil mendekati Ben yang masih sibuk menarik tangannya. Ben segera menunjuk kearah ice cream chocolate kesukaannya. Sue akhirnya membeli ice cream itu dan mengajak Ben duduk di meja kecil untuk anak-anak yang sudah disiapkan restaurant itu didalam children playground.

“Hari ini mama kemana?” Tanya Ben.

“Menemui kliennya di daerah Bogor.” Ujar Sue. “Ben, apa kau bosan main dengan bibi?” Tanya Sue.

“Mau apa lagi? Bibi Grace hari ini mengajar kursus memasak. Paman Dennis juga sibuk di bengkel.” Ujar Ben sambil mendengus seperti orang dewasa.

Sue kesal melihat Ben yang pilih-pilih itu. “Sudah untung ada aku. Dasar bocah jelek.” Keluh Sue dalam hati.

“Ben senang jalan-jalan dengan bibi?” Tanya Sue yang sedang sibuk belajar menjadi ibu itu.

Ben tersenyum nakal lalu menggelengkan kepalanya cepat. “ Bibi tidak asik.” Celoteh Ben santai.

Sue mendelik kesal. “Jika dia bukan anak Ky, aku pasti sudah memukulnya. Dasar bocah tengik.” Keluh hati Sue.

“Bi, aku tidak mau di Children Playground. Sejak dulu ibu selalu membawa ku duduk di kursi di bagian depan.” Ujar Ben menunjuk ke arah kursi dewasa di deretan depan restaurant.

“Ini tempat untuk anak kecil. Tentu saja harus duduk disini.” Ujar Sue.

“Tapi, aku sudah besar.” Ujar Ben dengan wajah kesal yang semakin membuat Sue tidak tahan untuk bicara dengan anak dari sahabatnya itu.

“Kau itu...” keluh Sue.

Tiba-tiba saja handphone Sue berdering. Sue segera menjawabnya.

“Halo sayang.” Sapa Sue setelah melihat tulisan pada layar handphonenya. “Hari ini? Memangnya? Astaga, betul juga tanggal 16 februari. Baiklah aku akan segera kesana.” Ujar Sue dengan terburu-buru menutup telephonenya.

Sue segera melirik Ben yang masih asik menikmati Ice creamnya.

“Harus ku apakan bocah ini? Tidak mungkin kalau ku bawa-bawa ke tempat konseling. Apa kata pendeta ku nanti?” Pikir Sue.

Seketika itu juga mata Sue menemukan subjek yang pas menurutnya untuk membantunya. Jay yang duduk di deretan depan di restaurant itu sedang bersiap kembali ke kantornnya. Sue segera berlari sambil mengangkat tubuh Ben yang cukup berat itu. Namun sayangnya Jay sudah berjalan keluar dari restaurant itu.

“Jay.” Panggil Sue.

Namun, sayangnya Jay tidak mendengar Suara Sue. Jay pun menyebrangi jalan dan terus berjalan. Sue yang sudah merasa keberatan segera sadar saat Ben merengek minta diturunkan.

“Bibi, sakit. Aku kan sudah besar. Jangan gendong aku seperti bayi.” Protes Ben yang mulai meronta.

Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundak Sue yang sedang menurunkan Ben sebelum bocah itu protes lebih jauh.

“Sue.” Panggil Jun.

“Jun?” Ujar Sue yang masih terengah-engah karena berat tubuh Ben.

“Sedang apa? Kenapa sepertinya terburu-buru sekali?” Tanya Jun.

“Aku?” Sue segera berpikir cepat. “Jun tolong aku.” Ujar Sue sambil menunjuk Ben. “Anak ini. Kau masih ingat, kan?” Tanya Sue.

“Anak teman mu yang waktu itu, kan?” Ujar Jun.

“Aku lupa hari ini ada konseling pernikahan ku di gereja. Glen sudah menunggu ku disana. Aku tidak mungkin membawa-bawa bocah ini. Tolong aku untuk mengantarkannya ke kantor Kyla yaa? Eh tidak, jangan. Nanti Kyla langsung pulang setelah meeting dengan Klien. Antarkan dia saja ke alamat ini.” Ujar Sue sambil menugeluarkan kartu nama dengan cepat dan memberikan alamat bengkel milik Dennis. “Tolong, yaa. Thanks.” Ujar Sue “Bye Ben.” Ujar Sue lagi sambil melangkah dengan terburu-buru meninggalkan Ben dengan Jun yang masih terkejut.

Sesaat Ben dan Jun terdiam hanya duduk saling berhadapan. Ben tidak terlihat senang tapi juga tidak mengatakan apa-apa. Jun sendiri tidak tau harus berbuat apa. Jika sampai ada wartawan yang melihatnya dengan anak kecil, bisa-bisa langsung jadi headline di tabloid dan majalah gossip nasional. Tapi, sudah tidak mungkin untuk mengembalikan anak ini kepada Sue, karena gadis itu sudah melesat begitu saja.

“Apa-apaan ini? Mana boleh dia meninggalkan anak kecil sendirian begini dengan orang yang masih asing dengannya. Dasar wanita aneh.” Keluh Jun dalam hatinya sambil melirik Ben.

“Kau,.. sudah makan?” Tanya Jun.

Ben tidak menjawabnya dan hanya melihat kearahnya. Ben lalu mengangguk kecil tanpa bicara sepatah kata pun.

“Ibu mu sedang keluar kantor yaa?” Tanya Jun.

Ben ragu-ragu menjawabnya. Namun akhirnya bicara. “Sedang menemui Klien.” Ujar Ben.

Jun hanya mengangguk-angguk.

Suasana ramai disana seperti ‘backsound’ untuk keheningan mereka. Jun tidak tau harus berkata apa.

Ben melirik 2 ekor anjing yang melintas di luar restaurant dan tersenyum. Jun segera menyadarinya.

“Kau suka anjing?” Tanya Jun.

“Hmm.” Angguk Ben pasti. “Tapi Ma tidak mengijinkan ku untuk memelihara anjing di apartemen. Kata Ma tidak boleh. Karena tetangga kami pasti akan terganggu.” Terang Ben dengan gaya dewasa.

Ben segera melangkah mendekati 2 ekor anjing itu dan mulai mengelus anjing penjaga yang biasa mengawasi mall di depan restaurant itu. Tanpa rasa takut sedikitpun, Ben membelai-belai punggung anjing itu. Jun segera mengikuti langkah anak kecil itu dari belakang.

“Kau tidak takut?” Tanya Jun.

Ben menggelengkan kepalanya dan tetap membelai tubuh anjing berwarna coklat yang sedang tidur malas di depan Ben.

“Anak ini benar-benar pemberani.” Ujar Jun dalam hati.

Padahal, kedua anjing itu hampir setinggi tubuh Ben. Tapi, dengan santai anak itu masih mengelus punggung anjing-anjing itu. Dan herannya, kedua anjing itu tidak sedikitpun terganggu pada kehadiran anak kecil yang tiba-tiba menyentuh punggung mereka.

“Hei pergi sana!” Ujar petugas keamanan pada Ben.

Ben menatap wajah petugas itu lalu bersembunyi dibalik tubuh Jun segera.

“Apa ini? Dia berani hanya pada anjing-anjing ini saja. Bukan pada petugasnya?” Tawa Jun dalam hati saat melihat reaksi Ben.

“Maaf.” Ujar Jun segera sambil menundukkan kepalanya di depan penjaga yang segera menarik kalung kedua anjing itu.

Jun segera menggandeng tangan Ben dan berjalan pergi dari jalanan itu. Ben hanya terdiam sambil terus melangkah mengikuti langkah Jun. Jun pun akhirnya memutuskan untuk mengantarkan anak ini ke alamat di kartu nama yang tadi sempat ditinggalkan Sue. Jun melirik Ben yang dengan spontan memakai sabuk pengaman setelah duduk di dalam mobil Jun.

“Baiklah kita lihat alamat yang ditinggalkan Bibi Sue tadi.” Ujar Jun sambil mengeluarkan kartu nama itu dari sakunya.

Jun sudah berada di depan bengkel kecil milik Denis dan menunggu diluar karena tidak ada yang membukakan pintu. Ben akhirnya menghela nafas panjang seperti kakek-kakek yang membawa beban berat. Jun hanya bisa tertawa menatap bocah itu.

“Aku mau pulang.” Ujar Ben. “Paman Dennis hari ini mengantarkan mobil ke tempat langganannya. Bibi Grace sedang mengajar di sekolah.” Ujar Ben lagi. Lalu menatap mata Jun.

“Bibi Grace mengajar?” Ulang Jun. “Kalau begitu aku harus mengantar mu pulang ke rumah mu? Tapi, aku tidak tau rumah mu dimana?” Ujar Jun.

Ben terdiam karena tidak tau alamat apartmennya.

“Kau tinggal dimana?” Tanya Jun. “Apa ada orang disana?”

Ben menggelengkan kepala. Jun hanya bisa terdiam lemas. Entah kemana dia harus mengantarkan bocah ini.

“Kau ingat nama apartemen mu?” Tanya Jun.

“MT Haryono.” Ujar Ben. “Apartemen kami di lantai 5 no 502.” Ujar Ben akhirnya.

“Apa kau ingat nama apartemennya?” Tanya Jun.

Ben akhirnya menyebutkan nama Apartemen tempatnya biasa tinggal. Tapi, Jun berpikir entah siapa yang akan bersama anak ini nanti karena Ben mengatakan kalau tidak ada orang di apartemennya. Tidak mungkin dia meninggalkan anak ini sendirian. Namun akhirnya Jun menjalankan mobilnya juga.

“Begini saja. Apa kau kenal paman Reno?” Tanya Jun.

“Itu sahabat ma sejak kecil. Bagaimana paman mengenalnya?” celoteh Ben.

“Dia? Mmm, Paman Reno itu tetangga paman.” Ujar Jun. “Bagaimana kalau kita kesana? Nanti ibu mu akan menjemputmu disana.” Usul Jun.

Ben mengangguk karena dia tau Reno adalah teman dekat ibunya.

“Aku harap Reno di rumah.” Desis hati Jun.

***

Jun segera menutup pintu mobilnya dan mulai menggaruk kepalanya karena Reno sepertinya tidak berada di rumahnya. Sinta juga tidak menjawab telphonnya. Mereka mungkin masih sibuk di toko perhiasaan Reno. Ben hanya terdiam melihat rumah Reno yang terlihat sepi dan tidak terlihat ada orang disana. Sialnya, pembantu rumah Reno juga tidak terlihat. Entah pembantu rumah Reno itu sedang pergi ‘ngelayap’ kemana.

Jun akhirnya tidak punya pilihan lagi. Toh, Reno akan pulang pikirnya. Jadi, mau tidak mau Jun membawa anak itu masuk ke rumahnya. Jun sedikit takut karena jika Luca akan mengamuk lagi hari ini. Tapi, Ben sepertinya anak yang cukup cerdas. Jadi, Ben tidak mungkin akan menggangu Luca yang disebutkan dokter terkena ‘depresi’ ringan itu.

Ben hanya duduk di bangku depan tanpa banyak bicara. Jun segera membawakan bocah itu segelas minuman dingin yang dia punya di rumahnya. Jun segera mencoba menghubungi Sue, Sinta dan Jay. Tapi, entah mengapa hari ini semua nomor yang dicoba tidak ada yang menjawab panggilannya.

“Tuan muda sudah bangun, pak.” Ujar suara pengasuh anak yang tiba-tiba datang sambil menggandeng tangan bocah yang kira-kira lebih muda 1 tahun dari Ben.

“Baiklah.” Ujar Jun sambil menutup layar handphonenya.

Luca tidak sedikitpun ingin beranjak menuju Jun. Luca hanya menatap wajah Ben yang tersenyum ramah padanya. Luca mengamati bocah lain yang tidak pernah dilihatnya itu.

“Ben, ini... Luca. Dan, Luca ini Ben.” Ujar Jun.

“Selamat Sore.” Ujar Ben menyapa Luca dengan sopan.

Ben hanya memandangi anak kecil didepannya tanpa banyak bicara. Jun mulai sibuk lagi mencoba menghubungi teman Kyla yang dia kenal. Jika sampai Kyla mengira putranya diculik tanpa kabar tentu saja dia bisa mendapat masalah besar. Dan kali ini bukan hanya Jay yang biasa menceramahinya akan sibuk menasehati. Tapi juga manajemennya jika sampai berita ini masuk media.

Sementara Luca dan Ben masih bertatapan, diam tanpa banyak expresi kecuali ekspresi bingung. Ben mulai mendekati Luca karena merasa dia lebih tua dari Luca. Luca yang tidak begitu nyaman mulai menjauh dan menggeser duduknya. Ben akhirnya terdiam lagi untuk sesaat. Luca hanya memperhatikan orang asing yang masih bocah sedikit lebih tinggi darinya itu menatapnya tanpa bicara.

Setengah jam pertama, Luca dan Ben terdiam. Jun beberapa kali mondar-mandir dari ruang tamu ke arah ruang tengah untuk memastikan Luca tidak mengamuk seperti biasanya. Ben akhirnya bosan juga karena bocah cerewet ini tidak mungkin untuk diminta diam sedetikpun. Ben mulai mengitari ruang tamu itu dan Luca mengawasinya dari tempatnya duduk. Ben pun berputar kearah belakang tempat Luca duduk. Luca yang tidak bisa melihat kearah belakang karena terhalang oleh sandaran sofa yang di dudukinya masih berpikir apakah dirinya harus melihat apa yang dilakukan bocah yang tiba-tiba di bawa Jun itu. Luca pun memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dan tiba-tiba Ben muncul dengan tiba-tiba mengagetkan Luca.

“Dorr!” Ujar Ben. “Hi, Luca.” Ujar Ben lagi.

Luca yang masih terkejut terdiam melihat kearah Ben yang berusaha bergantung pada sandaran Sofa.

“Berapa umur mu?” Tanya Ben.

Luca enggan menjawab. Bocah itu membalikkan badannya dan duduk seperti posisi semula. Ben segera berpindah dari belakang sofa dan duduk disamping Luca.

“Kenapa? Kau takut?” Tanya Ben.

Luca menggelengkan kepala tanpa menatap Ben. Ben semakin penasaran pada bocah pendiam itu.

“Kau tidak ingin diganggu?” Tanya Ben.

Luca berpaling menatap kearah ruang tengah tempat Jun masih sibuk menatap langit-langit sambil memegang handphonenya dengan wajah kesal.

“Kenapa tidak sopan sekali. Aku sedang bicara dengan mu.” Ujar Ben yang tiba-tiba berada di depan mata Luca menghalangi pandangannya ke arah Jun. Luca menatap Ben lagi dengan cemberut yang membuat Ben kesal.

“Kalau kau tidak suka pada ku katakan saja. Kau itu kan Pria. Aku juga pria. Kalau ada masalah, kita selesaikan.” Ujar Ben sok dewasa.

“Tidak aku membawanya ke rumah ku karena tidak ada pilihan lain.” Ujar Jun diujung telepon yang membuat kedua anak itu menoleh ke arahnya.

“Baiklah. Tolong aku untuk menyampaikan hal ini pada ibunya. Aku tidak tau kenapa Sue menitipkannya pada ku. Dan lebih bodohnya lagi, aku lupa seharusnya kubawa saja dia ke kantor mu.” Ujar Jun.

Ben segera mendekati Jun. Luca masih diam dan hanya melirik Ben dan Jun yang berdiri dipojokan ruang tamu.

“Paman Jay sudah tau dan akan memberitahukannya pada ibu mu.” Ujar Jun pada Ben.

“Hmm.” Angguk Ben. “Terima kasih Paman.” Ujar Jun.

Tiba-tiba saja Luca mendekat dan menarik kaki Jun agar menjauh dari Ben. Seperti ketakutan, Jun akan dibawa pergi Ben. Jun segera tersadar dan menggendong bocah itu.

“Kau kenapa?” Tanya Jun heran. Sudah hampir 2 minggu Luca tidak ingin melihatnya apalagi mendekat padanya.

“Aku rasa dia tidak suka pada ku.” Ujar Ben sok tau.

Jun tersenyum dan mengangkat Luca dengan kedua tangannya.

“Begitukah?” Tanya Jun pada putranya.

Luca menundukkan wajahnya dan melihat kearah Ben yang berdiri dibawahnya.

“Baiklah. Kita tinggal menunggu kabar dari Paman Jay. Nanti ibu mu akan menjemput mu.” Ujar Jun pada Ben.

Luca turun dari tangan Jun setelah Jun mengatakan kalau Ben akan dijemput dan segera pergi. Luca melirik Ben lagi. Luca kemudian menarik permen dari kantongnya dan menyerahkannya pada Ben.

“Untuk ku?” Tanya Ben. “Terima kasih.”

Luca mengangguk saat Ben mengambilnya dari tangan Luca.

“Aku rasa bukannya dia tidak suka pada mu.” Ujar Jun.

Ben mengangguk lalu menarik tangan Luca yang mulai diam tanpa ekspresi lagi. Luca hanya mengikutinya saat Ben menariknya.

“Bagaimana kalau kita main sesuatu? Sampai mama ku datang, ayo main.” Ujar Ben sambil melirik kearah ruangan tengah.

Luca lagi-lagi hanya mengangguk.

“Kau mau main apa?” Tanya Ben.

Ben akhirnya mengeluarkan PSP-nya yang dibelikan paman Dennis dan bibi Grace untuknya. Luca meliriknya dan tidak tau mainan apa itu.

“Ini PSP. Seperti game di komputer.” Ujar Ben menjelaskan.

Luca tetap tidak mengerti apa yang dikatakan Ben. Jun tersenyum dan mendekati keduanya lalu merangkul keduanya.

“Luca tidak pernah main seperti itu.” Ujar Jun. “Lebih baik kita menonton sesuatu.” Ujar Jun lagi.

Ketiganya pun akhirnya duduk di sofa tengah. Jun menekan remote TV dan Videonya lalu duduk diantara kedua bocah itu. Mereka pun mulai menikmati film animasi yang diputar oleh Jun.

***

“Apa?” Tanya Kyla dengan paniknya. “Jadi Sue meninggalkan anak ku dengan teman mu yang bahkan tidak begitu dikenalnya?” Tanya Kyla lagi pada Jay diujung telpon.

“Maaf bu.” Ujar Jay tidak berdaya. Jay yakin Kyla pasti sangat kesal. Tapi, apa daya. Jay sendiri juga tidak bisa apa-apa.

“Bukan salah mu.” Ujar Kyla. “Dimana Ben sekarang?” Tanya Kyla lagi.

“Bersama dengan teman ku dirumah tempat kami tinggal.” Ujar Jay.

“Tolong kirimkan alamatnya pada ku.” Ujar Kyla. “Tolong katakan pada teman mu kalau aku akan datang menjemput Ben.”

“Baik bu.” Ujar Jay lagi.

“Dan, terima kasih.” Ujar Kyla akhirnya mengakhiri percakapan mereka.

Kyla benar-benar kesal pada Sue yang sengaja mengajak Ben dari rumah Dennis dengan alasan kalau Sue ingin berusaha dekat dengan anak kecil. Tapi, tiba-tiba Sue meninggalkan Ben pada pria yang sangat mengganggu baginya. Entah apa yang dilakukan Ben disana. Tapi, yang jelas Kyla sudah terjebak macet dan harus menjemput Ben yang kini berada di daerah barat Jakarta. Perjalanan dari ujung ke ujung tol dalam kota yang sangat padat dan melelahkannya. Setelah itu pun Kyla harus kembali ke daerah timur Jakarta lagi. Benar-benar membuatnya bertambah kesal saat mengingat Sue yang berjanji akan membantunya menjaga Ben untuk sementara dan akan mengantarkan Ben kembali ke tempatnya malam ini.

“Maaf.” Ujar Sue di telepon. “Aku lupa kalau sore ini aku harus konseling.”

Kyla rasanya ingin meledak. Tapi, ditahannya. “Kau tau. Kau benar-benar menjengkelkan. Seharusnya aku tau kau tidak mungkin bisa menjaga Ben. Kau kan tidak suka pada anak kecil sejak dulu.” Ujar Kyla.

“Maaf ky.” Ujar Sue lagi.

“Sudahlah.” Ujar Kyla lagi. “Aku sedang mengendarai mobil. Sebaiknya aku tutup dulu telponnya sebelum aku meledak bersama mobil ku.” Ujar Kyla sambil menutup ponselnya dan kembali mengendarai mobil.

“Sial!” Pekik Kyla saat disalip dari kiri oleh sebuah mobil kecil.

Kyla terus mengumpat setiap kali ada mobil atau motor yang sengaja menyalipnya setelah keluar dari tol luar kota dan menuju jalan tikus agar bisa lebih cepat. Tapi, sia-sia saja karena semua jalan di Jakarta memang terlalu macet untuk dilewati tiap kali jam pulang karyawan kantor dimulai (sekitar jam 5-9 malam). Kyla benar-benar tidak tau harus melampiaskan kemarahannya pada siapa.

***

Kyla sudah berdiri di depan rumah yang bersebrangan dengan rumah Reno. Tangannya segera mencari bel rumah. Tapi, suara tawa di dalam membuatnya terkejut. Suara tawa Ben terdengar keras sekali. Kyla segera mengintip dari jendela disebelah pintu depan rumah ‘town house’ itu dan mencari wajah anak kesayangannya itu.
Pintu rumah itu terbuka seketika seorang wanita setengah baya dengan pakaian baby sitter membukanya dari dalam.

“Maaf cari siapa?” Tanya wanita itu.

“Jun, teman dari Jay Bakers.” Ujar Kyla.

Pria yang di cari itu segera menyadari kedatangan Kyla. Jun segera melangkah menuju pintu depan dan tersenyum menyapa Kyla.

“Oh, kau sudah datang.” Ujar Jun. “Ben, ibu mu sudah datang.” Ujar Jun lagi sambil menoleh ke arah ruangan tengah.

Ben yang dipanggil segera berlari menuju pintu depan dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menyambut kedatangan Kyla.

“Ma.” Ujar Ben dengan nada manja.

“Oh. Mmm, Ben kau pasti kesal yaa ditinggalkan bibi Sue.” Ujar Kyla sambil memeluk putra kecilnya itu.

Ben menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa.” Ujar Ben. “Aku kan, sudah besar.” Lanjut Ben.

Kyla tersenyum mendengar jawaban Ben. “Baiklah. Kalau begitu kita pulang?” Tanya Kyla.

Ben menggelengkan kepalanya. “Aku masih mau main dengan paman Jun dan Luca.” Ujar Ben sambil terus menggelengkan kepalanya.

Kyla membuka mulutnya menunjukkan ekspresi “O?”. Jun hanya tersenyum sambil mengusap kepala Ben dengan santai.

“Apa-apaan ini? Kepala anak ku, kau pegang se-enaknya?” protes Kyla dalam hati. “Kenapa juga dengan Ben hari ini. Tidak biasanya dia menolak untuk pulang dengan ku.” Pikir Kyla.

“Kita tidak boleh mengganggu paman ini.” Ujar Kyla. “Itu tidak sopan.” Ujar Kyla lagi mencoba menjelaskan.

“Ma..” Rajuk Ben dengan sengaja menunjukkan wajah cemberutnya di depan wajah Kyla.

“Tidak mengganggu. Lagipula, Ben anak yang baik.” Ujar Jun dengan senyumannya yang menunjukkan lesung pipinya.

“Apa? Kenapa orang ini tidak membantu ku membujuk Ben. Dasar!” Keluh Kyla dengan tatapan kesal.

Jun menyadari tatapan tidak suka dari mata Kyla yang meliriknya dengan tajam. Jun segera menelan ludahnya.

“Ben ingin main dulu.” Ujar Ben lagi-lagi merajuk.

“Baiklah.” Ujar Kyla sambil menghela nafas. “Tapi, setelah bermain, kita pulang. OK?” Tanya Kyla pada Ben.

Ben tersenyum riang dan melepaskan dirinya dari pelukan Kyla dan mulai berlari masuk kembali ke ruangan tengah. Kyla lagi-lagi menghela nafas berat. Jun terlihat serba salah. Tapi, entah mengapa, wanita yang sedang dihadapinya ini memang memiliki semacam aura dingin yang bisa langsung menyebar ke seluruh ruangan di rumahnya itu.

“Maaf. Tadi, aku seharusnya membawanya ke kantor. Tapi, aku tidak ingat.” Ujar Jun. “Masuklah.” Ujar Jun lagi sambil mundur perlahan dari depan pintu rumahnya.

Kyla hanya melipat kedua tangannya dan tampak tidak ingin ada orang yang mendekatinya selangkah pun. Jun melangkah mundur lagi dan mempersilahkan Kyla untuk duduk di sofa depan. Ben terlihat tertawa riang sambil menonton TV. Tapi, Kyla baru menyadari ada suara lain selain tawa Ben. Suara anak kecil. Kyla teringat kata-kata Ben.

“Mungkin itu yang disebutnya Luca. Tapi, kenapa anak itu tidak terlihat.” Pikir Kyla.

Sesaat setelah Jun melangkah menuju ruang tengah, tanpa sadar kaki Kyla mengikuti langkahnya. Kyla mencari-cari asal suara anak kecil lain yang di dengarnya. Kyla pun melihat bocah yang tidak begitu berbeda jauh dari Ben duduk bersila diatas karpet sambil tertawa geli.

Jun menyadari Kyla yang sudah berdiri disana. Jun segera menghela nafas. Dia lupa kalau ada Luca disana. Jika ada yang tahu kalau dia sudah memiliki anak, maka tamatlah riwayat pekerjaannya yang dibangunnya sejak kecil. Jun menepuk dahinya sendiri membuat Kyla mengalihkan pandangannya ke arah Jun yang terlihat aneh.

“Ma, apa ma juga mau nonton ini?” Tanya Ben pada Kyla yang masih berdiri.

Ben menyadari tatapan Kyla yang kini beralih kembali pada bocah kecil yang duduk disamping Jun. Ben segera berdiri dan menarik tangan Kyla mengarahkannya ke dekat bocah laki-laki berumur 5 tahun itu. Luca terlihat terdiam dan menatap Kyla dengan tatapan takut.

“Ma, ini Luca. Luca, ini ibu ku.” Ujar Ben.

Luca menatap wajah Kyla dengan seksama dan terlihat cemberut lalu air matanya mulai turun perlahan. Kyla terkejut.

”Benar-benar anak aneh.” Pikir Kyla. “Kenapa dia tiba-tiba menangis?” Pikir Kyla lagi sambil menatap Jun.

Jun mencoba merangkul bocah itu. Tapi, dengan segera tangan itu ditepis bocah yang mulai menangis sesengukkan itu. Kyla tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kyla hanya merasa kasihan dan naluri ke-ibu-annya segera mengarahkan tangannya untuk memeluk tubuh bocah kecil itu.

“Kenapa?” tanya Kyla. “Bibi membuat mu takut, yaa?” Tanya Kyla pada bocah itu. “Ben, siapa namanya tadi? Luca? Nama mu Luca?” Tanya Kyla.

Pertanyaan itu hanya dibalas dengan anggukan kecil. Bocah itu mulai mengusap-usap matanya. Kyla segera mencari sapu tangannya dan membantu Luca menghapus air matanya.

“Eomma.” Bisik Luca pelan sambil mempererat pelukannya pada pinggang Kyla. Luca seolah tak ingin melepaskannya.

“Kenapa?” Tanya Kyla lagi. “Kemari.” Ujar Kyla lagi sambil membetulkan posisi duduk Luca dipelukannya.

Ben hanya terdiam melihat Kyla yang terlihat bingung karena tiba-tiba Luca menangis.

“Anak Pria kenapa menangis tanpa sebab?” Tanya Kyla perlahan menarik wajah kecil Luca dan menghapus air matanya lagi.

“Aku mau Eomma.” Ujar Luca.

Jun mulai panik. Setelah ini biasanya Luca akan mengamuk dan mulai merusak semua hal yang ada di depannya. Jun mencoba menarik Luca dari pelukan Kyla.

“Maaf.” Ujar Jun.

Luca mulai meronta dan tidak mau ditarik oleh Jun. “Aku mau Eomma.” Pekik Luca sambil menarik Blazer yang dikenakan Kyla dan menggigit tangan Jun hingga Jun kesakitan sendiri.

“Luca. Jangan begini.” Ujar Jun. “Appa akan marah kalau kau begini.” Ujar Jun lagi seolah mengancam.

Luca semakin marah dan menendang Jun dan mulai menarik Blazer Kyla yang masih terdiam.

“Tidak apa-apa.” Ujar Kyla akhirnya.

Kyla mengusap rambut Luca yang keriting dan memperhatikan wajah Luca yang terus menangis. Kyla membiarkan Luca memeluknya beberapa menit lalu menarik kembali wajah Luca dan menghapus air matanya.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Kyla.

Luca menatap lekat wajah Kyla dan terlihat ingin menangis lagi. Kyla segera memeluk Luca lagi.

“Baiklah_baiklah. Jangan menangis lagi, yaa?” Bujuk Kyla. “Bukankah kita sedang menonton film kartun?” Tanya Kyla.

Kyla segera membujuk Luca untuk melihat ke arah TV dan mulai menghela nafas lega saat Luca mulai tenang dan menonton bersamanya. Kyla pun merangkul Ben yang terlihat diam memperhatikan ibunya dipeluk anak lain. Kyla kini duduk diantara 2 bocah laki-laki yang terlihat mulai tertawa kembali saat tokoh dalam film kartun itu mengatakan sesuatu yang lucu.

Jun yang awalnya terlihat panik kini terlihat tenang sambil memperhatikan Luca yang duduk sambil memeluk perut Kyla. Tatapan keduanya bertemu. Jun terlihat tidak nyaman karena sudah membuat tamunya membantunya menenangkan anak laki-lakinya.

2 Jam berlalu dan akhirnya baik Ben maupun Luca terlihat ngantuk dan mulai menguap. Kyla menyadarinya dan membuat sebuah kesempatan untuknya pulang sebelum anak buahnya, Jay, melihatnya mengurus anak kecil di rumah itu, pulang dari kantor.

“Ben sudah ngantuk?” Tanya Kyla. “Luca juga sudah mengantuk? Apa kalian sudah makan?” Tanya Kyla.

Luca menggelangkan kepalanya. Jun kembali menepuk dahinya setelah teringat sejak tadi bahkan tidak menyediakan air untuk Kyla minum.

“Aku lupa. Biasanya, suster yang merawat Luca sudah membuatkannya sebelum pulang. Biar ku lihat dulu.” Ujar Jun sambil melangkahkan kakinya ke arah Kitchen Set di seberang ruangan tengah itu.

“Ben, Cuma hari ini kamu bisa begini, yaa?” Bisik Kyla.

Ben cemberut. “Ma.” Rengek Ben.

“Kau seharusnya makan sejak se-jam lalu. Ini sudah jam 8 dan kau tidak ingat makan. Mama sudah sering bilang, kan? Kalau kau terus menerus terlambat makan. Nanti kau akan sakit perut.” Ujar Kyla lagi.

Luca terlihat memperhatikan wanita yang masih dipeluknya itu berbicara pada Ben dengan tatapan seorang ibu yang menasehati anaknya dengan sabar. Luca cemberut karena cemburu, Kyla hanya menasehati Ben.

“Aku lapar.” Desis Luca meminta perhatian dari Kyla.

“Luca lapar?” tanya Kyla. “Bibi akan coba mencari makanan dengan,..” Kyla bingung mau menyebutkan Jun di depan anak bocah ini.

Tak lama kemudian, Jun datang kembali dengan tangan kosong dan siap mengangkat gagang telephone wireless-nya. Kyla menghela nafas.

“Pengasuh seringkali lupa tentang menyiapkan makanan untuk anak-anak kalau sudah ada orang dewasa yang terlihat bisa menyiapkannya untuk anak.” Ujar Kyla. “Apa kau masih punya bahan makanan?” Tanya Kyla.

Kyla segera berdiri dan diikuti oleh Luca dan Ben.

“Walaupun makanan yang bibi buat belum tentu enak. Tapi, Ben selalu suka bubur buatan bibi.” Ujar Kyla pada Luca.

Meski setengah hati, akhirnya Kyla menyiapkan makanan juga. Tidak mungkin meninggalkan anak sekecil Luca kelaparan ditengah malam begini. Apalagi, sepertinya Jun hanya bisa memesankan pizza 24 jam. Mana mungkin anak umur 5 tahun dibiasakan makan makanan seperti itu. Tak berapa lama bubur yang dibanggakan Kyla pun selesai. 3 laki-laki itu sudah menunggu sejak tadi di meja makan sambil memandangi Kyla yang sekarang sedang mengangkat panci besar ke arah meja makan. Jun segera sadar dan membantu Kyla untuk mengambil 4 mangkuk dan mengisinya dengan bubur yang dibuat Kyla. Jun tidak menyangka wanita se-sibuk Kyla ternyata bisa membuat bubur yang se-wangi ini.

“Kau tidak punya alergi terhadap makanan tertentu, kan?” Tanya Kyla pada Luca sambil mengusap rambutnya.

Luca mengangguk. “Terima Kasih.” Ujar Luca sambil menarik sendoknya.

“Kau tidak mau berdoa dulu sebelum makan?” Tanya Ben dengan gaya bossy karena cemburu melihat ibunya kini lebih memperhatikan Luca yang duduk disampingnya.

“Kita berdoa dulu.” Ajak Kyla yang segera melipat kedua tangannya di depan lalu memastikan kedua bocah itu menutup matanya.
“Bapa, terima kasih atas berkat mu hari ini. Berkatilah makanan yang ada di depan kami ini. Berikanlah kami kekuatan dan kesehatan, selalu. Amin.” Ucap Kyla yang ternyata juga diucapkan Ben. Begitu selesai, Luca menatap Ben dan Kyla berkali-kali.

Akhirnya Luca tersenyum. “Mokko shipoyo!” Ujar Luca dengan riangnya lalu menarik sendok di depannya dan mulai memakan bubur buatan Kyla.

Kyla segera menyuruh Ben untuk makan juga. Jun terlihat tersenyum melihat Kyla yang berperan baik sebagai ibu yang adil untuk 2 bocah itu.

“Bubur buatan ibu ku enak, kan?” tanya Ben pada Luca dengan senyum bangganya.

Luca mengangguk. “Terima kasih.” Ujar Luca lagi.

Jun yang sejak tadi mencuri pandang ke arah Kyla segera tersadar saat mata Kyla yang bulat besar itu balik menatapnya.

“Oh, Terima kasih, ya. Aku tidak tahu Luca harus makan apa jika kau tidak memasakkan untuknya.” Ujar Junior dengan senyuman tulusnya.

Kyla berdehem sesaat dan memakan sesendok terakhir bubur di mangkuknya. Kyla segera meraih gelas didepannya dan meminum habis air dalam gelas itu. Jun sedikit salah tingkah karena beberapa kali Kyla mendapatinya tengah asik mencuri pandang. Kyla pun menghela nafasnya lagi sambil kembali memberikan tatapan tajam pada Jun yang seketika tersedak melihat mata bulat Kyla yang seolah nyaris lompat keluar.

“Anak-anak tidak baik makan Junk food. Terutama saat malam hari. Mereka butuh banyak gizi untuk mendukung pertumbuhan mereka. Lain kali lebih baik kau menyediakan bubur bayi. Dengan begitu, Luca bisa makan bubur itu jika pengasuhnya lupa menyiapkan makanan.” Ujar Kyla.

“Baiklah.” Ujar Jun.

“Tapi aku tidak suka makan bubur bayi. Aku kan bukan bayi.” Protes Luca.

Kyla hanya tersenyum menatap bocah laki-laki itu.

“Jika tidak makan di malam hari, kau bisa sakit.” Ujar Ben tiba-tiba.

“Tapi, bubur bayi tidak enak.” Ujar Luca.

“Makanya, kau bisa meminta, …” Kyla menatap Jun lagi. Kyla bingung harus memangil pria itu apa di depan bocah laki-laki berusia 5 tahun itu. Meskipun, dari wajahnya, Luca benar-benar terlihat mirip Jun.

“Maksud bibi, kau bisa mencampurkannya dengan buah. Atau mungkin jika kau tidak suka bubur bayi, kau bisa makan Oats seperti Ben.” Ujar Kyla menerangkannya dengan sabar.

Luca menatap Ben yang duduk sambil masih sibuk menikmati buburnya.

“Apa itu?” Tanya Luca sambil menatap Ben.

Ben terdiam sejenak. “Gandum.” Ujar Ben. “Ibu sering buatkan Oats dengan susu cokelat di taburi keju parut. Kadang dibuat jadi kue.” Terang Ben pada Luca yang duduk disampingnya itu.

“Appa tidak bisa buat itu.” Ujar Luca sambil menatap Jun.

Kyla bingung sendiri karena Luca mulai terlihat murung lagi. Kyla segera tersenyum sambil menarik dagu Luca dan membersihkan sisa bubur yang tumpah belepotan disekitar bibir mungil bocah itu.

“Kalau begitu, minta appa-mu, untuk belajar memasak.” Ujar Kyla sambil menatap Jun seolah ingin melihat reaksi laki-laki itu.

Jun yang hanya sibuk menghabiskan buburnya tidak memperhatikan kata-kata putranya itu. Luca cemberut.

“Appa- mu pasti bisa.” Ujar Kyla seolah menambah volume suaranya.

Jun yang mendengar kata-kata Kyla segera menghentikan kegiatannya dan menatap Kyla. Kyla memberi tanda dengan mengarahkan pandangannya pada Luca. Jun segera mengerti.

“Ah, Appa akan coba.” Ujar Jun saat Luca kembali menatapnya.

Luca hanya mengangguk-angguk namun terlihat tidak yakin. Kyla pun tertawa kecil mencoba mencairkan suasana yang sejenak terlihat beku itu.

“Luca juga bisa belajar. Nanti jika Luca sudah besar, Bibi bisa mengajarkannya. Walaupun, sebenarnya bibi masih belajar juga.” Ujar Kyla sambil mengusap kepala Luca lagi.

“Ben juga mau belajar.” Ujar Ben menyela pembicaraan dan tampak tak mau kalah.

Kyla segera berdiri dan melangkah ke belakang kedua bocah itu dan mengusap kepala keduanya sambil dengan sabar memastikan mereka menghabiskan makanannya dengan rapih. Jun lagi-lagi melirik ke arah Kyla dan tersenyum kecil.
***
Akhirnya acara makan selesai. Kyla membujuk Luca untuk tidur bahkan menemani Luca tidur di kamarnya. Jun sepertinya merasa aman. Hari ini, Luca tidak mengamuk dan marah sambil merusak semua hal di depannya. Dan entah kenapa, Kyla terlihat sangat cantik dan elegan saat berhadapan dengan anak kecil. Kyla menyelimuti tubuh Luca dan menutup pintu kamar saat Luca tertidur. Ben sendiri tertidur dipangkuan Jun yang sejak tadi memandanginya sesekali. Kyla segera menurunkan lengan bajunya dan menarik tasnya. Jun segera bangkit dari duduk dan menaruh kepala Ben diatas bantal kursi.

“Terima Kasih.” Ujar Jun.

“Anggap saja impas. Kau sudah membantu ku menjaga Ben. Aku rasa sebaiknya aku pulang. Ini sudah malam. Aku tidak akan mengganggu lagi. Terima kasih.” Ujar Kyla.

Kyla menggendong Ben tanpa terlihat keberatan pada bobot tubuh Ben yang terlihat lebih besar dari Luca. Jun bisa melihat betapa hebatnya wanita di depannya itu. Jelas dia wanita yang menarik. Lebih dari sekedar single parent biasa, Kyla terlihat sangat telaten mengurusi Ben. Ben bahkan terlihat tetap tidur saat Kyla menggendongnya di depan. Kyla menundukkan kepala pada Jun. Jun segera tersenyum dan mengantar keduanya ke arah mobil Kyla yang terparkir didepan halaman kecil rumahnya. Jun tersadar dia harusnya meminta Kyla merahasiakan keberadaan Luca. Jun segera mengetuk kaca pintu samping mobil Kyla. Kyla segera menurunkan kaca itu.

“Boleh aku minta tolong?” Tanya Jun. “Tentang Luca,..” Jun sedikit bingung mengatakannya.

“Ah, aku tahu. Itu urusan pribadi mu. Aku tidak suka ikut campur urusan orang lain. Tenanglah.” Ujar Kyla dengan pasti.

“Terima kasih.” Ujar Jun lagi.

Mobil CRV Merah Kyla pun segera melaju meninggalkan kompleks perumahan elite itu. Kyla sesekali melirik Ben. Dia tidak pernah tahu kalau Ben ternyata bisa cemburu pada anak lain. Hari ini melihat Ben tertidur pulas di jok belakang mobilnya sebelum memeluknya seperti biasa, membuat Kyla merasa bersalah.

“Maaf ya Ben. Ma seharusnya menemani mu sebelum kau tidur. Hari ini kita pulang ke apartement, yaa?” Bisik Kyla sambil terus memandangi Ben yang terlihat tidur lelap.
***

Jay yang menyeruput kopinya tersedak seketika karena kata-kata Jun.

“Kau membuat bos ku memasak bubur untuk Luca dan membantu mu menemani Luca tidur?” Tanya Jay lagi.

Jun hanya membalas dengan anggukan kecil. “Kenapa?” Tanya Jun.

“Kau benar-benar luar biasa.” Ujar Jay dengan nada kesal. “Kau mengharapkan aku di pecat dari kantor, yaa?” Tanya Jay.

Jun bingung harus berkata apa. “Tapi, dia yang mau.” Kilah Jun.

Jay terlihat tidak percaya dan memicingkan matanya se-tajam mungkin seolah akan menusuk temannya itu.

“Baiklah_baiklah.” Ujar Jun akhirnya. “Aku lupa mengingatkan pengasuh Luca. Dan dia sepertinya merasa tidak nyaman jika hanya meninggalkan Luca bersama ku yang pastinya, hanya bisa memesan Pizza 24 jam.” Ujar Jun. “Aku tidak memaksanya sedikitpun.” Ujar Jun lagi mencoba meyakinkan Jay.

“Baiklah, aku percaya.” Ujar Jay. “Tapi, bukannya itu keterlaluan?” Tanya Jay lagi sambil menatap Luca yang sibuk menghabiskan bubur yang tadi pagi dipanaskan Ayahnya.

“Bagaimana mungkin, Luca tidak mau melepaskan bos ku yang menyeramkan itu?” tanya Jay dengan nada tak percaya.

Luca segera meantap mata Jay dengan tatapan dingin. Jay terkejut.
“Oh tidak, kau lihat itu?” tanya Jay pada Jun sambil menunjuk wajah Luca yang terlihat kesal. “Ya, dia benar-benar mirip Ms. Cly.” Ujar Jay sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan yang dilihatnya.

“Dia tidak se-mengerikan yang kau bilang, kok.” Ujar Shinta tiba-tiba. “Aku dengar dari Reno, bos ku, Nona itu baik sekali pada teman-temannya. Dia sangat royal dan senang membantu orang.” Tambah Shinta.

Jay semakin tidak percaya dengan yang di dengarnya. “Apa dia itu punya keperibadian ganda?” tanya Jay. “Di kantor ku, dia adalah ratu lebah kejam yang suka sekali mengomentari semua hal. Bahkan ada yang bilang, sebelum memiliki anak, bos ku itu selalu membawa penggaris, kalkulator dan semua jenis alat hitung meski hanya ke toilet, karena dia sibuk mengukur satu per satu orang disekitarnya setiap kali berpapasan.” Ujar Jay lagi.

“Dia tidak se-buruk itu.” Ujar Jun.

Luca tersenyum mendengar Jun membela wanita yang sedang dibicarakan ke-3 orang dewasa itu. Meskipun tidak begitu mengerti, tapi Luca yakin mereka tengah berdebat masalah wanita yang tadi malam memeluknya sampai dia tertidur lelap.
***
Mobil ku segera memasuki pelataran Ruko tempat Dennis biasa bekerja dan tinggal. Glen segera menyapa ku dan membantu ku membukakan pintu samping agar Ben bisa keluar. Sue juga khusus datang ke Bengkel Dennis pagi ini setelah Glen sibuk memarahinya, karena telah meninggalkan Ben pada orang yang tidak di kenal kemarin.

“Ben..” Panggil Sue yang sudah berdiri di depan bengkel Dennis dengan wajah innocent-nya.

Kyla ingin sekali meluapkan amarah kemarin sore saat mengetahui kalau Sue menitipkan Ben pada orang yang tidak dikenal.

“Kau itu benar-benar keterlaluan ya?” Keluh Kyla. “Bagaimana mungkin kau titipkan Ben pada orang yang tidak dikenal begitu?” Tanya Kyla.

Sue hanya menyeringai kecil. “Maaf.” Ujar Sue. “Tapi, dia baik-baik saja, kan? Lagipula, Jun orang baik. Grace juga mengenalnya.” Ujar Sue berkilah.

“Biar bagaimana pun juga, kau tidak seharusnya menitipkan anak kecil pada orang yang tidak dikenalinya.” Ujar Dennis dengan bijak.

“Iya. Baiklah.” Ujar Sue.

“Apa ‘jagoan’ kami ini baik-baik saja?” Tanya Glen pada Ben.

Glen segera mengangkat tubuh kecil Ben dan mulai bercanda dengan bocah itu. Kyla hanya bisa mendengus kesal. Sue memang orang yang ceroboh. Seharusnya, Ben tidak pernah dititipkan pada temannya yang satu itu.

“Kalau begitu, hari ini Ben ingin makan apa?” Tanya Grace pada Ben.

“Tadi pagi, ma membuatkan sandwich dengan keju yang banyak. Siang ini, Bibi mau masak apa?” Tanya Ben.

“Ben. Jangan memilih-milih makanan.” Ujar Kyla mengingatkan putranya.

Ben mengangguk dan segera melambaikan tangan pada Kyla yang sudah berada di mobil CRV-nya.

“Dah Mama…” Ujar Ben sambil melambaikan tangan di
depan kaca samping mobil yang terbuka, dengan senyuman riangnya.

“Ma pergi dulu. kau harus dengar kata-kata Uncle Dennis dan Aunty Grace. Okay?” Ujar Kyla sebelum menjalankan mobilnya.

“Hmm.” Ben segera mengangguk-angguk seperti kakek kakek tua.
Kyla tersenyum selama perjalanan. Senyuman putra kecilnya itu adalah hal yang tidak bisa ditukarkan oleh apa pun. Asalkan Ben senang, meskipun hal itu tidak menyenangkan untuk Kyla, dia pasti melakukannya.

Kyla segera memencet tombol naik di luar lift sambil memandangi angka yang tertera pada layar. Jay yang sebenarnya berharap tidak bertemu atasannya itu benar-benar kecewa saat melihat Kyla berdiri di depan lift sambil membaca koran pagi. Kyla menyadari mata yang sejak tadi memandanginya. Jay mau tidak mau menunduk mmberi hormat pada atasannya itu.

“Pagi, Bu.” Ujar Jay.

“Hmm,” Balas Kyla dengan setengah hati. “Apakah pengajuan dana atas iklan baru dari Mr. Jo sudah kau buat?” Tanya Kyla segera.

Jay sedikit tidak percaya pada kata-kata yang di dengarnya ini. Sepertinya, Kyla selalu ingat seluruh pekerjaan tiap karyawannya. Bahkan, se-pagi ini sudah menanyakan ‘pengajuan dana’.

“Sudah bu.” Ujar Jay. “Kemarin sudah saya letakkan di meja ibu sebelum saya pulang.” Ujar Jay lagi dengan sedikit gugup.

“Okay. Kamu juga harus secepatnya mengurus ijin dan kontrak yang kemarin saya minta untuk kamu tangani. Itu iklan besar. Kalau sampai jatuh ke perusahaan lain, saya bisa mendapatkan masalah.” Ujar Kyla.

“Baik bu.” Jawab Jay dengan tegang.

Kyla menyadari atmosphere sekitarnya saat berbicara dengan Jay yang tampak ketakutan entah kenapa. Kyla segera melangkah masuk ke ruangan departemen Marketing yang dipimpinnya setelah Lift terbuka. Kyla berbalik sesaat dan menatap Jay.

“Jay tolong ke ruangan saya sebentar.” Ujar Kyla akhirnya setelah berpikir dan menimbang, haruskah dia menanyakan sesuatu yang mengganjal hatinya itu.

Jay menahan dengusannya agar tidak terdengar Kyla yang baru saja masuk ke ruangannya. Sementara, beberapa rekan se-departemen-nya termasuk Gaby dan Brenda sudah saling bisik. Roby hanya bisa menepuk pundak Jay beberapa kali.

“Sabar ya Bro.” Ujar Roby.

Jay hanya bisa melangkah masuk ke ruangan Manager Marketing-nya itu dengan langkah gontai. Kyla sudah terlihat duduk manis dengan Revisi kontrak dengan Ms. Guntara dan Mr. Jo yang semalaman di kerjakan Jay hingga harus lembur sampai tengah malam. Kyla terlihat mengangguk beberapa kali dan kemudian menaruh dokumen itu di mejanya.

“Bagus. Aku puas dengan hasil kerja mu. 2 Kontrak ini sudah OK.” Ujar Kyla dengan tenang. “Oh iya, Jay. kenapa sepertinya kau sedang tidak sehat?” Tanya Kyla.

Jay segera menahan nafasnya sejenak. “Tidak bu. Saya baik-baik saja.” Ujar Jay dengan gugup.

“Apa kau tidak bisa jika tidak se-gugup itu? Apa aku akan menelan mu?” Tanya Kyla. “Entah kenapa dari satu departemen kita hanya Gaby yang bisa berbicara dengan normal tanpa harus gugup?” Tanya Kyla.

Jay tidak percaya bos-nya yang galak itu bertanya seperti itu. “Bukan begitu, bu.” Kilah Jay segera.

“Well. It’s Okay.” Ujar Kyla. “Aku hanya penasaran saja. Oh iya, Kontrak-kontrak ini harus kau follow up, okay? Aku rasa kau sudah bosan dipindahkan dari satu departemen ke departemen yang lain, kan?” Ujar Kyla.

Kyla segera menandatangani 2 Kontrak itu dan menyodorkannya pada Jay.

“Itu saja. Kau bisa keluar sekarang.” Ujar Kyla lagi.

Rasanya benar-benar mengejutkan melihat Kyla yang tiba-tiba terlihat tidak se-sinis biasanya. Namun, Jay hanya bisa menunduk sambil mengambil kontrak-kontrak itu dari tangan Kyla dan segera keluar.

“Bagaimana?” Tanya Brenda.

“Bro, ngak apa-apa, kan? Apa digigit sama Ms. Cly?” Tanya Roby sambil merangkul pundak Jay.

“Done.” Balas Jay dengan pelan.

“Maksudnya apa tuh?” Tanya Gaby. “Kamu mau dipindahkan lagi sama bos?” Tanya Gaby lagi.

“No.” Ujar Jay dengan santai. “She’s already sign this.” Ujar Jay.

“What? For sure? Really?” Tanya Brenda.

“She Did it?” Tanya Gaby lagi.


“Well. Harus kita rayakan nih, Bro.” Ujar Roby. “Congrats yaa…” Celotehnya.

***
Setelah kejadian kemarin, saat Sue menitipkan Ben pada Jun, Glen dengan gusarnya datang ke kantor dan segera masuk ke ruangan ku. Glen hanya terdiam beberapa saat sambil menatap ke arah luar. lebih tepatnya, ke arah Jay yang kini memang duduk bersebrangan dengan pintu ruangan ku, tempat salah satu senior staff marketing yang sedang cuti melahirkan.

“Ada apa?” Tanya ku dengan santai.

“Kenapa Sue menitipkan Ben pada teman dari Jay?” Tanya Glen.

Aku terkikih kecil. Sepertinya, bos kecil-ku ini masih saja cemburu pada Jay dan jadi paranoid sendiri.

“Kok malah ketawa?” Tanya Glen.

“Jangan tanya aku. Langsung saja tanya pada Sue.” Ujar ku sambil tetap meneruskan pekerjaan ku yang belum selesai.

“Sudah.” Ujar Glen. “Tapi, maling mana yang mau mengaku?” Celoteh Glen dengan santai.

“Apa Sue itu maling?” Tanya ku.

“Bukan begitu. Dia,…” Glen sepertinya bingung untuk mengatakan kalau dirinya curiga pada Sue dan Jay.

“Apa kau tidak percaya calon istri mu? Begitu?” Tanya ku.

“Aku bukannya tidak percaya.” Ujar Glen lagi. “Kau tahu mereka bersama sejak Sue masih umur 20 tahun. selama 5 tahun. Sementara, aku dan Sue baru saja 2 tahun.” Lanjutnya.

“5 tahun, 2 tahun, lalu kenapa?” keluh ku. “Kau yang akan menikahi Sue bukannya Jay. yang lamarannya diterima itu lamaran mu. Jadi kenapa masih begitu cemas berlebihan dan cemburu tidak jelas begitu?” sambung ku dengan nada serius.

“Aku tidak tahu kenapa, dia sungguh mencurigakan,Ky.” Ujar Glen.

“Kau saja yang berlebihan. Menurut ku, Sue dan Jay sudah tidak ada perasaan seperti yang kau takutkan itu.” Ujar ku. “Jangan ‘galau’ terus. Seperti ABG saja.” goda ku.

Glen hanya menghela nafas dan duduk di bangku tepat di depan meja ku.

“Kau sendiri kesal saat Sue menitipkan Ben pada orang lain.” Desis Glen.

Sepertinya kecemburuan Glen sudah menyebar entah kemana. Glen mulai mengatakan semua hal yang bahkan tidak ada hubungannya.

“Itu hal beda.” Ujar Ku singkat.

Glen sepertinya tidak puas dengan jawaban ku. Glen hanya menghela nafas lagi dan lagi sambil memutar-mutar bangku duduknya.

“Kenapa kau begitu membela pria bernama Jay itu? Setiap kali aku ingin memecatnya, kau selalu menghalangi ku. Apa jangan-jangan ada hubungan spesial di antara kalian?” Tanya Glen.

“Spesial pakai Telor?” Celoteh ku bercanda sambil terkikih kecil lalu kembali menatap Glen. “Aku sudah bilang, kan? Alasan mu mengeluarkan dia dari satu departemen ke departemen lain itu tidak pernah masuk akal. Apalagi saat kau bilang untuk memecatnya. Kau bahkan sengaja mencari-cari kesalahannya sekecil apa pun hanya untuk mencoba mengeluarkannya dari sini. Itu kekanakan sekali.” Ujar Ku. “Lagipula, bersikaplah sebagaimana seorang pria. Be Gentle.” Ujar ku.

Glen segera memasang wajah kesalnya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala ku. Aku tidak tahu, kapan pria yang satu ini bisa menjadi sedikit lebih dewasa dan berwibawa seperti Ayahnya.
 2BContinued
an a.k.a inriani sianipar  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Jepang Kimi Shinita Mou Koto Nakare karya Akiko Yosano

Kimi Shinita M ou K oto N akare karya Akiko Yosano あゝをとうとよ君を泣く a , wo o touto yo kun wo naku 君死にたまふことなかれ kun shi ni tamafu koto nakare 末に生れし君なれば matsu ni umareshi kun nareba 親のなさけはまさりしも oya nonasake w a masarishi mo 親は刃(やいば)をにぎらせて oya ha ha ( yaiba ) wo nigirasete 人を殺せとをしへしや nin wo korose to wo shiheshiya 人を殺して死ねよとて nin wo koroshi te shine yo tote 二十四までをそだてしや nij y ushi made wo sodateshiya 堺の街のあきびとの sakai no machi noakibito no 旧家をほこるあるじにて kyuuka wo hokoru arujinite 親の名を継ぐ君なれば oya no mei wo tsugu kun nareba 君死にたまふことなかれ kun shi ni tamafu koto nakare 旅順の城はほろぶとも ryojun no shiro w a horobutomo ほろびずとても何事か horobizu totemo nani goto ka 君知るべきやあきびとの kun shiru bekiya akibitono 家のおきてに無かりけり ie no okiteni naka rikeri 君死にたまふことなかれ kun shini tamafu koto nakare すめらみことは戦ひに sumera mikoto w a tatakahi ni おほみづからは出でまさね o homi z ukara w a idemasane かたみに人の血を流し katami  ni nin no chi wo nagashi 獣の道に死ねよとは kemono no michi ni sh...

Mora .vs. Haku .vs. Syllable

Pembuka Menurut para ahli bahasa Jepang ada dua aliran ilmu bahasa di Jepang yaitu, Kokugogaku (Ilmu bahasa Jepang Tradisional) dan Gengogaku (Ilmu bahasa Jepang Masa Kini) . Kokugogaku memiliki tradisi khas Jepang dalam penyusunan kata pada bahasa Jepang yang terlepas dari ilmu bahasa Barat, termasuk gramatika yang sudah ada sejak zaman Edo. Sementara, Gengogaku mengadaptasi konsep bahasa dari Barat yang diterapkan pada bahasa Jepang mulai dari gramatika, fonologi, morfologi, dan sintaksis. Namun , ada sedikit perbedaan dalam struktur kata bahasa jepang dengan bahasa lain . Pada umumnya kata dalam bahasa Inggris maupun Indonesia mengenal adanya Syllable sebagai satuan ucapan terkecil dalam pengucapan sebauh kata. A kan tetapi, bahasa Jepang menggunakan Mora sebagai satuan ucapan terkecil dalam sebuah kata. Namun, ada pendapat lain mengenai penggunaan Haku yang dianggap sebagai satuan ucapan terkecil yang dipakai dalam bahasa Jepang. Beberapa hasil penelitian dari pene...

Jakarta And Jakarta

Did you know 33 Provinces in Indonesia has a great places to explore. I don't know weather i could post about all places in Indonesia. But, how about to start with Jakarta? Let's see some Places you could enjoy here. But first of all let's see the 33 Provinces. 33Province Indonesia Intereresting Places DKI Jakarta Banten West Java Central Java DI Jogjakarta East Java Lampung Bengkulu South Sumatra – Palembang Bangka-Belitung Riau Riau Island West Sumatra Jambi North Sumatra -Nias DI Aceh West Borneo - Kalimantan Barat Central Borneo - Kalimantan Tengah South Borneo - Kalimantan Selatan East Borneo - Kalimantan Timur South Celebes - Sulawesi Selatan Southeast Celebes - Sulawesi Tenggara Central Celebes - Sulawesi Tengah Gorontalo North Celebes - Sulawesi Utara North Maluku Maluku West Papua Central Papua East Papua East Nusa Tenggara West Nusa Tenggara Bali  Okay. Now shall we begin with Jakarta.  And then below here there's some ...