Jun terdiam di depan pintu di rumahnya yang bertuliskan
nama Luca dan mengingat anak kecil bernama Ben yang dilihatnya saat makan siang
itu. Jun tersenyum kecut dan mengingat bagaimana seorang wanita yang dicintainya
bisa mengkhianatinya dan meninggalkannya dengan anak bocah 5 tahun yang sama
sekali tidak pernah tinggal dengannya. Jun mengamati anak bocah yang tidak
pernah terlihat oleh media yang sibuk mengejar berita dan membuat gossip
tentangnya itu tidur terlelap setelah pagi hingga sore hari marah karena
melihat berita di televisi. Luca sibuk merusak semua mainan dan pakaiannya dan
tidak bisa dihentikan sedetikpun.
Jun menyesali keputusan Fany, model yang dinikahinya
diam-diam itu. Fany memutuskan untuk meninggalkannya dan putra mereka lalu menikah
di luar negeri setelah putusan pengadilan terhadap perceraian mereka dan
menolak hak asuh atas putra mereka semata wayang itu. Padahal selama ini Luca
tidak pernah tinggal satu atap dengannya. Dan tiba-tiba, Difa kekasih baru Jun
membuat keadaan bertambah kacau dengan mengatakan kalau paman Jun yang dikenal
Luca adalah ayah kandungnya.
“Luca, sudah tidur?” Tanya Sinta.
Jun hanya mengangguk kecil sambil menutup kembali pintu
kamar itu.
***
Jay segera menekan tombol lift untuk turun dari lantai 10
gedung kantornya. Kyla yang kebetulan ada disebelahnya sedikit membuat keringat
dinginnya keluar. Jay jadi berpikir apa wanita ini memang memiliki semacam
atmosphere dingin yang membuatnya jadi keringat dingin setiap melihatnya.
Kyla segera menapakkan kaki di lift yang sama dengan Jay.
Roby dan Brenda yang juga rekan sekerja Jay lebih memilih untuk berdiri
dibelakang Kyla. Gaby yang lebih senior dari lainnya dengan santai berani
mengajak Kyla berbincang kecil. Namun, tetap saja Kyla terlihat menyeramkan di mata
mereka.
“Berbeda sekali dengan saat anaknya ada disekitarnya.”
Ujar Roby saat Kyla sudah melangkah keluar dari loby utama gedung sendiri.
“Kau tau, hanya Gaby yang bisa berbicara dengan Ms. Cly.
Itu pun tetap dengan wajah seriusnya.” Ujar Brenda.
Gaby yang dibicarakan langsung berbalik menatap mereka.
“Kau tau kenapa aku bisa bicara dengannya santai?” tanya Gaby.
Brenda dan Roby segera menggelengkan kepalanya dan
mendekatkan kepala mereka saat Gaby mengoyangkan telunjuknya memberi isyarat
agar mereka mendekatkan kepala mereka.
“Karena aku bukan penjilat!” Pekik Gaby keras lalu pergi.
Roby dan Brenda masih terdiam lalu bertatapan satu dengan
yang lainnya. Jay hanya tertawa kecil lalu berlalu melewati keduanya yang memang
terkenal jago dalam hal menjilat ketimbang bekerja secara serius.
Jay segera menghentikan langkahnya saat melihat Jun
berdiri didepannya. Jay hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat pria itu.
“Jadi kau menghindar dari Difa setiap kalian ‘break’
syuting?” Tanya Jay saat mereka sudah berada di restaurant yang sempat jadi
tempat insiden Jun saat mengungkit perbedaan Kyla dan Ben.
“Apa boleh buat, kan? Aku bosan melihat wartawan mencari
kesempatan memotret-ku dengan Difa secara sembunyi-sembunyi.” Ujar Jun.
“Kau tau, itu semakin memperjelas kalau kalian masih
saling suka karena kalau kalian bertemu seperti masih ada sisa-sisa perasaan
yang bisa membuat kalian jadi tidak nyaman satu sama lain, kan?” Ledek Jay.
“Terserah kau saja.” Ujar Jun. “Sebenarnya aku sudah akan
pulang tadi. Tapi, setelah dipikir-pikir, aku jadi ingin mengajakmu makan
ditempat ini lagi.” Lanjut Jun.
“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Jay.
“Entahlah.” Ujar Jun singkat sambil melemparkan
pandangannya kearah anak-anak kecil yang sibuk berkejaran di children
playground dengan pengasuh atau ibunya saat akan disuapi.
“Kenapa? Kau berpikir tentang Luca, atau ulah gila mu
menyumbangkan sperma dan sekarang jadi ingin tahu sudah seperti apa anak hasil
inseminasi itu?” Tanya Jay. “Salah mu sendiri. Bukannya berpikir jernih malah
iseng menaruh sperma di bank sperma dan mendonorkannya. Apa jadinya nanti kalau
anak mu dari wanita tidak dikenal itu tiba-tiba memiliki hubungan dengan anak
kandung mu dari ibu yang jelas kelak?” tanya Jay.
“Kau bicara apa?” Tanya Jun.
“Bisa saja kan kejadian seperti di drama-drama roman
picisan itu terjadi.” Ujar Jay. “Kalau anak itu wanita, maka berbahaya kan?”
Mata Jun melotot seolah nyaris keluar. “Jangan bicara
sembarangan.” Ujar Jun kesal.
Jun teringat kejadian itu sudah berlalu sekitar 7 tahun
lalu saat dirinya benar-benar masih single. Namun, 3 bulan setelahnya Jun
sempat berubah pikiran untuk mengambil kembali spermanya. Sayangnya, pihak
rumah sakit sudah menjalankan proses inseminasi buatan itu dan tentunya wanita
yang entah siapa itu sudah hamil hampir 3 bulan. Jadi tidak mungkin untuk
membatalkan apa yang telah ditanda tanganinya. Dan berdasarkan perjanjian awal,
Jun tidak diperbolehkan menemui wanita penerima donornya.
“Jika saja bayi itu hidup hingga sekarang pasti sudah
beerumur 6 tahun.” Pikir Jun dalam lamunannya.
“Lalu bagaimana Luca sejak kemarin mengamuk?” Tanya Jay.
Pertanyaan Jay membuat Jun jadi teringat pada anak
kandungnya sendiri.
“Dia masih tidak mau bicara dengan ku. Semenjak dia tau aku
ayahnya bukan cuma pamannya. Sekarang dia dirawat oleh pengasuh ku. Aku hanya
bisa melihatnya saat tidur. Aku takut dia akan mengamuk lagi.” Ujar Jun dengan wajah
sedih.
“Jika saja Difa tidak sembarangan bicara pasti Luca tidak
akan begitu.” Ujar Jay. “Apa dia masih mencari ibunya?” Tanya Jay.
“Tidak.” Ujar Jun. “Dia tidak sengaja melihat pemberitaan
tentang ibunya yang menikah lagi di US dengan pengusaha kaya.” Ujar Jun kesal
mengingat mantan istrinya, Fany, seorang model yang tidak pernah tersentuh media
selama mereka bersama itu.
“Fany sudah menikah. Lalu kapan kau akan menikah juga?
Lebih baik kalau Luca dirawat seorang ibu daripada pengasuh.” Ujar Jay.
“Aku tau. Tapi, kau juga tau kan. Tidak semudah itu
menemukan wanita yang siap menjadi ibu dari bocah 5 tahun.” Ujar Jun.
***
Sue dengan setengah berlari kecil mendekati Ben yang
masih sibuk menarik tangannya. Ben segera menunjuk kearah ice cream chocolate
kesukaannya. Sue akhirnya membeli ice cream itu dan mengajak Ben duduk di meja
kecil untuk anak-anak yang sudah disiapkan restaurant itu didalam children
playground.
“Hari ini mama kemana?” Tanya Ben.
“Menemui kliennya di daerah Bogor.” Ujar Sue. “Ben, apa
kau bosan main dengan bibi?” Tanya Sue.
“Mau apa lagi? Bibi Grace hari ini mengajar kursus
memasak. Paman Dennis juga sibuk di bengkel.” Ujar Ben sambil mendengus seperti
orang dewasa.
Sue kesal melihat Ben yang pilih-pilih itu. “Sudah untung
ada aku. Dasar bocah jelek.” Keluh Sue dalam hati.
“Ben senang jalan-jalan dengan bibi?” Tanya Sue yang
sedang sibuk belajar menjadi ibu itu.
Ben tersenyum nakal lalu menggelengkan kepalanya cepat. “
Bibi tidak asik.” Celoteh Ben santai.
Sue mendelik kesal. “Jika dia bukan anak Ky, aku pasti
sudah memukulnya. Dasar bocah tengik.” Keluh hati Sue.
“Bi, aku tidak mau di Children Playground. Sejak dulu ibu
selalu membawa ku duduk di kursi di bagian depan.” Ujar Ben menunjuk ke arah kursi
dewasa di deretan depan restaurant.
“Ini tempat untuk anak kecil. Tentu saja harus duduk
disini.” Ujar Sue.
“Tapi, aku sudah besar.” Ujar Ben dengan wajah kesal yang
semakin membuat Sue tidak tahan untuk bicara dengan anak dari sahabatnya itu.
“Kau itu...” keluh Sue.
Tiba-tiba saja handphone Sue berdering. Sue segera
menjawabnya.
“Halo sayang.” Sapa Sue setelah melihat tulisan pada
layar handphonenya. “Hari ini? Memangnya? Astaga, betul juga tanggal 16
februari. Baiklah aku akan segera kesana.” Ujar Sue dengan terburu-buru menutup
telephonenya.
Sue segera melirik Ben yang masih asik menikmati Ice
creamnya.
“Harus ku apakan bocah ini? Tidak mungkin kalau ku
bawa-bawa ke tempat konseling. Apa kata pendeta ku nanti?” Pikir Sue.
Seketika itu juga mata Sue menemukan subjek yang pas
menurutnya untuk membantunya. Jay yang duduk di deretan depan di restaurant itu
sedang bersiap kembali ke kantornnya. Sue segera berlari sambil mengangkat
tubuh Ben yang cukup berat itu. Namun sayangnya Jay sudah berjalan keluar dari
restaurant itu.
“Jay.” Panggil Sue.
Namun, sayangnya Jay tidak mendengar Suara Sue. Jay pun
menyebrangi jalan dan terus berjalan. Sue yang sudah merasa keberatan segera
sadar saat Ben merengek minta diturunkan.
“Bibi, sakit. Aku kan sudah besar. Jangan gendong aku
seperti bayi.” Protes Ben yang mulai meronta.
Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundak Sue yang sedang
menurunkan Ben sebelum bocah itu protes lebih jauh.
“Sue.” Panggil Jun.
“Jun?” Ujar Sue yang masih terengah-engah karena berat
tubuh Ben.
“Sedang apa? Kenapa sepertinya terburu-buru sekali?”
Tanya Jun.
“Aku?” Sue segera berpikir cepat. “Jun tolong aku.” Ujar
Sue sambil menunjuk Ben. “Anak ini. Kau masih ingat, kan?” Tanya Sue.
“Anak teman mu yang waktu itu, kan?” Ujar Jun.
“Aku lupa hari ini ada konseling pernikahan ku di gereja.
Glen sudah menunggu ku disana. Aku tidak mungkin membawa-bawa bocah ini. Tolong
aku untuk mengantarkannya ke kantor Kyla yaa? Eh tidak, jangan. Nanti Kyla
langsung pulang setelah meeting dengan Klien. Antarkan dia saja ke alamat ini.”
Ujar Sue sambil menugeluarkan kartu nama dengan cepat dan memberikan alamat
bengkel milik Dennis. “Tolong, yaa. Thanks.” Ujar Sue “Bye Ben.” Ujar Sue lagi
sambil melangkah dengan terburu-buru meninggalkan Ben dengan Jun yang masih
terkejut.
Sesaat Ben dan Jun terdiam hanya duduk saling berhadapan.
Ben tidak terlihat senang tapi juga tidak mengatakan apa-apa. Jun sendiri tidak
tau harus berbuat apa. Jika sampai ada wartawan yang melihatnya dengan anak
kecil, bisa-bisa langsung jadi headline di tabloid dan majalah gossip nasional.
Tapi, sudah tidak mungkin untuk mengembalikan anak ini kepada Sue, karena gadis
itu sudah melesat begitu saja.
“Apa-apaan ini? Mana boleh dia meninggalkan anak kecil
sendirian begini dengan orang yang masih asing dengannya. Dasar wanita aneh.”
Keluh Jun dalam hatinya sambil melirik Ben.
“Kau,.. sudah makan?” Tanya Jun.
Ben tidak menjawabnya dan hanya melihat kearahnya. Ben
lalu mengangguk kecil tanpa bicara sepatah kata pun.
“Ibu mu sedang keluar kantor yaa?” Tanya Jun.
Ben ragu-ragu menjawabnya. Namun akhirnya bicara. “Sedang
menemui Klien.” Ujar Ben.
Jun hanya mengangguk-angguk.
Suasana ramai disana seperti ‘backsound’ untuk keheningan
mereka. Jun tidak tau harus berkata apa.
Ben melirik 2 ekor anjing yang melintas di luar
restaurant dan tersenyum. Jun segera menyadarinya.
“Kau suka anjing?” Tanya Jun.
“Hmm.” Angguk Ben pasti. “Tapi Ma tidak mengijinkan ku
untuk memelihara anjing di apartemen. Kata Ma tidak boleh. Karena tetangga kami
pasti akan terganggu.” Terang Ben dengan gaya dewasa.
Ben segera melangkah mendekati 2 ekor anjing itu dan
mulai mengelus anjing penjaga yang biasa mengawasi mall di depan restaurant
itu. Tanpa rasa takut sedikitpun, Ben membelai-belai punggung anjing itu. Jun
segera mengikuti langkah anak kecil itu dari belakang.
“Kau tidak takut?” Tanya Jun.
Ben menggelengkan kepalanya dan tetap membelai tubuh
anjing berwarna coklat yang sedang tidur malas di depan Ben.
“Anak ini benar-benar pemberani.” Ujar Jun dalam hati.
Padahal, kedua anjing itu hampir setinggi tubuh Ben.
Tapi, dengan santai anak itu masih mengelus punggung anjing-anjing itu. Dan
herannya, kedua anjing itu tidak sedikitpun terganggu pada kehadiran anak kecil
yang tiba-tiba menyentuh punggung mereka.
“Hei pergi sana!” Ujar petugas keamanan pada Ben.
Ben menatap wajah petugas itu lalu bersembunyi dibalik
tubuh Jun segera.
“Apa ini? Dia berani hanya pada anjing-anjing ini saja.
Bukan pada petugasnya?” Tawa Jun dalam hati saat melihat reaksi Ben.
“Maaf.” Ujar Jun segera sambil menundukkan kepalanya di
depan penjaga yang segera menarik kalung kedua anjing itu.
Jun segera menggandeng tangan Ben dan berjalan pergi dari
jalanan itu. Ben hanya terdiam sambil terus melangkah mengikuti langkah Jun.
Jun pun akhirnya memutuskan untuk mengantarkan anak ini ke alamat di kartu nama
yang tadi sempat ditinggalkan Sue. Jun melirik Ben yang dengan spontan memakai
sabuk pengaman setelah duduk di dalam mobil Jun.
“Baiklah kita lihat alamat yang ditinggalkan Bibi Sue
tadi.” Ujar Jun sambil mengeluarkan kartu nama itu dari sakunya.
Jun sudah berada di depan bengkel kecil milik Denis dan
menunggu diluar karena tidak ada yang membukakan pintu. Ben akhirnya menghela
nafas panjang seperti kakek-kakek yang membawa beban berat. Jun hanya bisa
tertawa menatap bocah itu.
“Aku mau pulang.” Ujar Ben. “Paman Dennis hari ini
mengantarkan mobil ke tempat langganannya. Bibi Grace sedang mengajar di
sekolah.” Ujar Ben lagi. Lalu menatap mata Jun.
“Bibi Grace mengajar?” Ulang Jun. “Kalau begitu aku harus
mengantar mu pulang ke rumah mu? Tapi, aku tidak tau rumah mu dimana?” Ujar
Jun.
Ben terdiam karena tidak tau alamat apartmennya.
“Kau tinggal dimana?” Tanya Jun. “Apa ada orang disana?”
Ben menggelengkan kepala. Jun hanya bisa terdiam lemas.
Entah kemana dia harus mengantarkan bocah ini.
“Kau ingat nama apartemen mu?” Tanya Jun.
“MT Haryono.” Ujar Ben. “Apartemen kami di lantai 5 no 502.”
Ujar Ben akhirnya.
“Apa kau ingat nama apartemennya?” Tanya Jun.
Ben akhirnya menyebutkan nama Apartemen tempatnya biasa
tinggal. Tapi, Jun berpikir entah siapa yang akan bersama anak ini nanti karena
Ben mengatakan kalau tidak ada orang di apartemennya. Tidak mungkin dia
meninggalkan anak ini sendirian. Namun akhirnya Jun menjalankan mobilnya juga.
“Begini saja. Apa kau kenal paman Reno?” Tanya Jun.
“Itu sahabat ma sejak kecil. Bagaimana paman
mengenalnya?” celoteh Ben.
“Dia? Mmm, Paman Reno itu tetangga paman.” Ujar Jun.
“Bagaimana kalau kita kesana? Nanti ibu mu akan menjemputmu disana.” Usul Jun.
Ben mengangguk karena dia tau Reno adalah teman dekat
ibunya.
“Aku harap Reno di rumah.” Desis hati Jun.
***
Jun segera
menutup pintu mobilnya dan mulai menggaruk kepalanya karena Reno sepertinya
tidak berada di rumahnya. Sinta juga tidak menjawab telphonnya. Mereka mungkin
masih sibuk di toko perhiasaan Reno. Ben hanya terdiam melihat rumah Reno yang
terlihat sepi dan tidak terlihat ada orang disana. Sialnya, pembantu rumah Reno
juga tidak terlihat. Entah pembantu rumah Reno itu sedang pergi ‘ngelayap’
kemana.
Jun akhirnya
tidak punya pilihan lagi. Toh, Reno akan pulang pikirnya. Jadi, mau tidak mau
Jun membawa anak itu masuk ke rumahnya. Jun sedikit takut karena jika Luca akan
mengamuk lagi hari ini. Tapi, Ben sepertinya anak yang cukup cerdas. Jadi, Ben
tidak mungkin akan menggangu Luca yang disebutkan dokter terkena ‘depresi’
ringan itu.
Ben hanya
duduk di bangku depan tanpa banyak bicara. Jun segera membawakan bocah itu
segelas minuman dingin yang dia punya di rumahnya. Jun segera mencoba
menghubungi Sue, Sinta dan Jay. Tapi, entah mengapa hari ini semua nomor yang
dicoba tidak ada yang menjawab panggilannya.
“Tuan muda
sudah bangun, pak.” Ujar suara pengasuh anak yang tiba-tiba datang sambil menggandeng
tangan bocah yang kira-kira lebih muda 1 tahun dari Ben.
“Baiklah.”
Ujar Jun sambil menutup layar handphonenya.
Luca tidak
sedikitpun ingin beranjak menuju Jun. Luca hanya menatap wajah Ben yang
tersenyum ramah padanya. Luca mengamati bocah lain yang tidak pernah dilihatnya
itu.
“Ben, ini...
Luca. Dan, Luca ini Ben.” Ujar Jun.
“Selamat
Sore.” Ujar Ben menyapa Luca dengan sopan.
Ben hanya
memandangi anak kecil didepannya tanpa banyak bicara. Jun mulai sibuk lagi
mencoba menghubungi teman Kyla yang dia kenal. Jika sampai Kyla mengira
putranya diculik tanpa kabar tentu saja dia bisa mendapat masalah besar. Dan
kali ini bukan hanya Jay yang biasa menceramahinya akan sibuk menasehati. Tapi
juga manajemennya jika sampai berita ini masuk media.
Sementara Luca
dan Ben masih bertatapan, diam tanpa banyak expresi kecuali ekspresi bingung.
Ben mulai mendekati Luca karena merasa dia lebih tua dari Luca. Luca yang tidak
begitu nyaman mulai menjauh dan menggeser duduknya. Ben akhirnya terdiam lagi
untuk sesaat. Luca hanya memperhatikan orang asing yang masih bocah sedikit
lebih tinggi darinya itu menatapnya tanpa bicara.
Setengah jam
pertama, Luca dan Ben terdiam. Jun beberapa kali mondar-mandir dari ruang tamu
ke arah ruang tengah untuk memastikan Luca tidak mengamuk seperti biasanya. Ben
akhirnya bosan juga karena bocah cerewet ini tidak mungkin untuk diminta diam
sedetikpun. Ben mulai mengitari ruang tamu itu dan Luca mengawasinya dari
tempatnya duduk. Ben pun berputar kearah belakang tempat Luca duduk. Luca yang
tidak bisa melihat kearah belakang karena terhalang oleh sandaran sofa yang di
dudukinya masih berpikir apakah dirinya harus melihat apa yang dilakukan bocah
yang tiba-tiba di bawa Jun itu. Luca pun memutuskan untuk membalikkan tubuhnya
dan tiba-tiba Ben muncul dengan tiba-tiba mengagetkan Luca.
“Dorr!” Ujar
Ben. “Hi, Luca.” Ujar Ben lagi.
Luca yang
masih terkejut terdiam melihat kearah Ben yang berusaha bergantung pada
sandaran Sofa.
“Berapa umur
mu?” Tanya Ben.
Luca enggan
menjawab. Bocah itu membalikkan badannya dan duduk seperti posisi semula. Ben
segera berpindah dari belakang sofa dan duduk disamping Luca.
“Kenapa? Kau
takut?” Tanya Ben.
Luca
menggelengkan kepala tanpa menatap Ben. Ben semakin penasaran pada bocah
pendiam itu.
“Kau tidak
ingin diganggu?” Tanya Ben.
Luca berpaling
menatap kearah ruang tengah tempat Jun masih sibuk menatap langit-langit sambil
memegang handphonenya dengan wajah kesal.
“Kenapa tidak
sopan sekali. Aku sedang bicara dengan mu.” Ujar Ben yang tiba-tiba berada di
depan mata Luca menghalangi pandangannya ke arah Jun. Luca menatap Ben lagi
dengan cemberut yang membuat Ben kesal.
“Kalau kau
tidak suka pada ku katakan saja. Kau itu kan Pria. Aku juga pria. Kalau ada
masalah, kita selesaikan.” Ujar Ben sok dewasa.
“Tidak aku
membawanya ke rumah ku karena tidak ada pilihan lain.” Ujar Jun diujung telepon
yang membuat kedua anak itu menoleh ke arahnya.
“Baiklah.
Tolong aku untuk menyampaikan hal ini pada ibunya. Aku tidak tau kenapa Sue
menitipkannya pada ku. Dan lebih bodohnya lagi, aku lupa seharusnya kubawa saja
dia ke kantor mu.” Ujar Jun.
Ben segera
mendekati Jun. Luca masih diam dan hanya melirik Ben dan Jun yang berdiri dipojokan
ruang tamu.
“Paman Jay
sudah tau dan akan memberitahukannya pada ibu mu.” Ujar Jun pada Ben.
“Hmm.” Angguk
Ben. “Terima kasih Paman.” Ujar Jun.
Tiba-tiba saja
Luca mendekat dan menarik kaki Jun agar menjauh dari Ben. Seperti ketakutan,
Jun akan dibawa pergi Ben. Jun segera tersadar dan menggendong bocah itu.
“Kau kenapa?”
Tanya Jun heran. Sudah hampir 2 minggu Luca tidak ingin melihatnya apalagi
mendekat padanya.
“Aku rasa dia
tidak suka pada ku.” Ujar Ben sok tau.
Jun tersenyum
dan mengangkat Luca dengan kedua tangannya.
“Begitukah?”
Tanya Jun pada putranya.
Luca
menundukkan wajahnya dan melihat kearah Ben yang berdiri dibawahnya.
“Baiklah. Kita
tinggal menunggu kabar dari Paman Jay. Nanti ibu mu akan menjemput mu.” Ujar
Jun pada Ben.
Luca turun
dari tangan Jun setelah Jun mengatakan kalau Ben akan dijemput dan segera pergi.
Luca melirik Ben lagi. Luca kemudian menarik permen dari kantongnya dan
menyerahkannya pada Ben.
“Untuk ku?”
Tanya Ben. “Terima kasih.”
Luca
mengangguk saat Ben mengambilnya dari tangan Luca.
“Aku rasa
bukannya dia tidak suka pada mu.” Ujar Jun.
Ben mengangguk
lalu menarik tangan Luca yang mulai diam tanpa ekspresi lagi. Luca hanya
mengikutinya saat Ben menariknya.
“Bagaimana
kalau kita main sesuatu? Sampai mama ku datang, ayo main.” Ujar Ben sambil
melirik kearah ruangan tengah.
Luca lagi-lagi
hanya mengangguk.
“Kau mau main
apa?” Tanya Ben.
Ben akhirnya
mengeluarkan PSP-nya yang dibelikan paman Dennis dan bibi Grace untuknya. Luca
meliriknya dan tidak tau mainan apa itu.
“Ini PSP.
Seperti game di komputer.” Ujar Ben menjelaskan.
Luca tetap
tidak mengerti apa yang dikatakan Ben. Jun tersenyum dan mendekati keduanya
lalu merangkul keduanya.
“Luca tidak
pernah main seperti itu.” Ujar Jun. “Lebih baik kita menonton sesuatu.” Ujar
Jun lagi.
Ketiganya pun
akhirnya duduk di sofa tengah. Jun menekan remote TV dan Videonya lalu duduk
diantara kedua bocah itu. Mereka pun mulai menikmati film animasi yang diputar
oleh Jun.
***
“Apa?” Tanya
Kyla dengan paniknya. “Jadi Sue meninggalkan anak ku dengan teman mu yang
bahkan tidak begitu dikenalnya?” Tanya Kyla lagi pada Jay diujung telpon.
“Maaf bu.”
Ujar Jay tidak berdaya. Jay yakin Kyla pasti sangat kesal. Tapi, apa daya. Jay
sendiri juga tidak bisa apa-apa.
“Bukan salah
mu.” Ujar Kyla. “Dimana Ben sekarang?” Tanya Kyla lagi.
“Bersama
dengan teman ku dirumah tempat kami tinggal.” Ujar Jay.
“Tolong
kirimkan alamatnya pada ku.” Ujar Kyla. “Tolong katakan pada teman mu kalau aku
akan datang menjemput Ben.”
“Baik bu.”
Ujar Jay lagi.
“Dan, terima
kasih.” Ujar Kyla akhirnya mengakhiri percakapan mereka.
Kyla
benar-benar kesal pada Sue yang sengaja mengajak Ben dari rumah Dennis dengan
alasan kalau Sue ingin berusaha dekat dengan anak kecil. Tapi, tiba-tiba Sue
meninggalkan Ben pada pria yang sangat mengganggu baginya. Entah apa yang
dilakukan Ben disana. Tapi, yang jelas Kyla sudah terjebak macet dan harus
menjemput Ben yang kini berada di daerah barat Jakarta. Perjalanan dari ujung
ke ujung tol dalam kota yang sangat padat dan melelahkannya. Setelah itu pun
Kyla harus kembali ke daerah timur Jakarta lagi. Benar-benar membuatnya
bertambah kesal saat mengingat Sue yang berjanji akan membantunya menjaga Ben
untuk sementara dan akan mengantarkan Ben kembali ke tempatnya malam ini.
“Maaf.” Ujar
Sue di telepon. “Aku lupa kalau sore ini aku harus konseling.”
Kyla rasanya
ingin meledak. Tapi, ditahannya. “Kau tau. Kau benar-benar menjengkelkan.
Seharusnya aku tau kau tidak mungkin bisa menjaga Ben. Kau kan tidak suka pada
anak kecil sejak dulu.” Ujar Kyla.
“Maaf ky.”
Ujar Sue lagi.
“Sudahlah.”
Ujar Kyla lagi. “Aku sedang mengendarai mobil. Sebaiknya aku tutup dulu
telponnya sebelum aku meledak bersama mobil ku.” Ujar Kyla sambil menutup
ponselnya dan kembali mengendarai mobil.
“Sial!” Pekik
Kyla saat disalip dari kiri oleh sebuah mobil kecil.
Kyla terus
mengumpat setiap kali ada mobil atau motor yang sengaja menyalipnya setelah
keluar dari tol luar kota dan menuju jalan tikus agar bisa lebih cepat. Tapi,
sia-sia saja karena semua jalan di Jakarta memang terlalu macet untuk dilewati
tiap kali jam pulang karyawan kantor dimulai (sekitar jam 5-9 malam). Kyla
benar-benar tidak tau harus melampiaskan kemarahannya pada siapa.
***
Kyla sudah
berdiri di depan rumah yang bersebrangan dengan rumah Reno. Tangannya segera
mencari bel rumah. Tapi, suara tawa di dalam membuatnya terkejut. Suara tawa
Ben terdengar keras sekali. Kyla segera mengintip dari jendela disebelah pintu
depan rumah ‘town house’ itu dan mencari wajah anak kesayangannya itu.
Pintu rumah
itu terbuka seketika seorang wanita setengah baya dengan pakaian baby sitter
membukanya dari dalam.
“Maaf cari
siapa?” Tanya wanita itu.
“Jun, teman
dari Jay Bakers.” Ujar Kyla.
Pria yang di cari
itu segera menyadari kedatangan Kyla. Jun segera melangkah menuju pintu depan
dan tersenyum menyapa Kyla.
“Oh, kau sudah
datang.” Ujar Jun. “Ben, ibu mu sudah datang.” Ujar Jun lagi sambil menoleh ke
arah ruangan tengah.
Ben yang
dipanggil segera berlari menuju pintu depan dan mengangkat tangannya
tinggi-tinggi, menyambut kedatangan Kyla.
“Ma.” Ujar Ben
dengan nada manja.
“Oh. Mmm, Ben
kau pasti kesal yaa ditinggalkan bibi Sue.” Ujar Kyla sambil memeluk putra
kecilnya itu.
Ben
menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa.” Ujar Ben. “Aku kan, sudah besar.” Lanjut
Ben.
Kyla tersenyum
mendengar jawaban Ben. “Baiklah. Kalau begitu kita pulang?” Tanya Kyla.
Ben
menggelengkan kepalanya. “Aku masih mau main dengan paman Jun dan Luca.” Ujar
Ben sambil terus menggelengkan kepalanya.
Kyla membuka
mulutnya menunjukkan ekspresi “O?”. Jun hanya tersenyum sambil mengusap kepala
Ben dengan santai.
“Apa-apaan
ini? Kepala anak ku, kau pegang se-enaknya?” protes Kyla dalam hati. “Kenapa
juga dengan Ben hari ini. Tidak biasanya dia menolak untuk pulang dengan ku.”
Pikir Kyla.
“Kita tidak
boleh mengganggu paman ini.” Ujar Kyla. “Itu tidak sopan.” Ujar Kyla lagi
mencoba menjelaskan.
“Ma..” Rajuk
Ben dengan sengaja menunjukkan wajah cemberutnya di depan wajah Kyla.
“Tidak
mengganggu. Lagipula, Ben anak yang baik.” Ujar Jun dengan senyumannya yang
menunjukkan lesung pipinya.
“Apa? Kenapa
orang ini tidak membantu ku membujuk Ben. Dasar!” Keluh Kyla dengan tatapan
kesal.
Jun menyadari
tatapan tidak suka dari mata Kyla yang meliriknya dengan tajam. Jun segera
menelan ludahnya.
“Ben ingin
main dulu.” Ujar Ben lagi-lagi merajuk.
“Baiklah.”
Ujar Kyla sambil menghela nafas. “Tapi, setelah bermain, kita pulang. OK?”
Tanya Kyla pada Ben.
Ben tersenyum
riang dan melepaskan dirinya dari pelukan Kyla dan mulai berlari masuk kembali
ke ruangan tengah. Kyla lagi-lagi menghela nafas berat. Jun terlihat serba
salah. Tapi, entah mengapa, wanita yang sedang dihadapinya ini memang memiliki
semacam aura dingin yang bisa langsung menyebar ke seluruh ruangan di rumahnya
itu.
“Maaf. Tadi, aku
seharusnya membawanya ke kantor. Tapi, aku tidak ingat.” Ujar Jun. “Masuklah.”
Ujar Jun lagi sambil mundur perlahan dari depan pintu rumahnya.
Kyla hanya
melipat kedua tangannya dan tampak tidak ingin ada orang yang mendekatinya
selangkah pun. Jun melangkah mundur lagi dan mempersilahkan Kyla untuk duduk di
sofa depan. Ben terlihat tertawa riang sambil menonton TV. Tapi, Kyla baru
menyadari ada suara lain selain tawa Ben. Suara anak kecil. Kyla teringat
kata-kata Ben.
“Mungkin itu
yang disebutnya Luca. Tapi, kenapa anak itu tidak terlihat.” Pikir Kyla.
Sesaat setelah
Jun melangkah menuju ruang tengah, tanpa sadar kaki Kyla mengikuti langkahnya.
Kyla mencari-cari asal suara anak kecil lain yang di dengarnya. Kyla pun
melihat bocah yang tidak begitu berbeda jauh dari Ben duduk bersila diatas
karpet sambil tertawa geli.
Jun menyadari
Kyla yang sudah berdiri disana. Jun segera menghela nafas. Dia lupa kalau ada
Luca disana. Jika ada yang tahu kalau dia sudah memiliki anak, maka tamatlah
riwayat pekerjaannya yang dibangunnya sejak kecil. Jun menepuk dahinya sendiri
membuat Kyla mengalihkan pandangannya ke arah Jun yang terlihat aneh.
“Ma, apa ma
juga mau nonton ini?” Tanya Ben pada Kyla yang masih berdiri.
Ben menyadari
tatapan Kyla yang kini beralih kembali pada bocah kecil yang duduk disamping
Jun. Ben segera berdiri dan menarik tangan Kyla mengarahkannya ke dekat bocah
laki-laki berumur 5 tahun itu. Luca terlihat terdiam dan menatap Kyla dengan
tatapan takut.
“Ma, ini Luca.
Luca, ini ibu ku.” Ujar Ben.
Luca menatap
wajah Kyla dengan seksama dan terlihat cemberut lalu air matanya mulai turun
perlahan. Kyla terkejut.
”Benar-benar
anak aneh.” Pikir Kyla. “Kenapa dia tiba-tiba menangis?” Pikir Kyla lagi sambil
menatap Jun.
Jun mencoba
merangkul bocah itu. Tapi, dengan segera tangan itu ditepis bocah yang mulai
menangis sesengukkan itu. Kyla tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kyla
hanya merasa kasihan dan naluri ke-ibu-annya segera mengarahkan tangannya untuk
memeluk tubuh bocah kecil itu.
“Kenapa?” tanya
Kyla. “Bibi membuat mu takut, yaa?” Tanya Kyla pada bocah itu. “Ben, siapa
namanya tadi? Luca? Nama mu Luca?” Tanya Kyla.
Pertanyaan itu
hanya dibalas dengan anggukan kecil. Bocah itu mulai mengusap-usap matanya.
Kyla segera mencari sapu tangannya dan membantu Luca menghapus air matanya.
“Eomma.” Bisik
Luca pelan sambil mempererat pelukannya pada pinggang Kyla. Luca seolah tak
ingin melepaskannya.
“Kenapa?”
Tanya Kyla lagi. “Kemari.” Ujar Kyla lagi sambil membetulkan posisi duduk Luca
dipelukannya.
Ben hanya
terdiam melihat Kyla yang terlihat bingung karena tiba-tiba Luca menangis.
“Anak Pria
kenapa menangis tanpa sebab?” Tanya Kyla perlahan menarik wajah kecil Luca dan
menghapus air matanya lagi.
“Aku mau
Eomma.” Ujar Luca.
Jun mulai
panik. Setelah ini biasanya Luca akan mengamuk dan mulai merusak semua hal yang
ada di depannya. Jun mencoba menarik Luca dari pelukan Kyla.
“Maaf.” Ujar
Jun.
Luca mulai
meronta dan tidak mau ditarik oleh Jun. “Aku mau Eomma.” Pekik Luca sambil
menarik Blazer yang dikenakan Kyla dan menggigit tangan Jun hingga Jun
kesakitan sendiri.
“Luca. Jangan
begini.” Ujar Jun. “Appa akan marah kalau kau begini.” Ujar Jun lagi seolah
mengancam.
Luca semakin
marah dan menendang Jun dan mulai menarik Blazer Kyla yang masih terdiam.
“Tidak
apa-apa.” Ujar Kyla akhirnya.
Kyla mengusap
rambut Luca yang keriting dan memperhatikan wajah Luca yang terus menangis.
Kyla membiarkan Luca memeluknya beberapa menit lalu menarik kembali wajah Luca
dan menghapus air matanya.
“Kau tidak
apa-apa?” Tanya Kyla.
Luca menatap
lekat wajah Kyla dan terlihat ingin menangis lagi. Kyla segera memeluk Luca
lagi.
“Baiklah_baiklah.
Jangan menangis lagi, yaa?” Bujuk Kyla. “Bukankah kita sedang menonton film
kartun?” Tanya Kyla.
Kyla segera
membujuk Luca untuk melihat ke arah TV dan mulai menghela nafas lega saat Luca
mulai tenang dan menonton bersamanya. Kyla pun merangkul Ben yang terlihat diam
memperhatikan ibunya dipeluk anak lain. Kyla kini duduk diantara 2 bocah
laki-laki yang terlihat mulai tertawa kembali saat tokoh dalam film kartun itu
mengatakan sesuatu yang lucu.
Jun yang
awalnya terlihat panik kini terlihat tenang sambil memperhatikan Luca yang
duduk sambil memeluk perut Kyla. Tatapan keduanya bertemu. Jun terlihat tidak
nyaman karena sudah membuat tamunya membantunya menenangkan anak laki-lakinya.
2 Jam berlalu
dan akhirnya baik Ben maupun Luca terlihat ngantuk dan mulai menguap. Kyla
menyadarinya dan membuat sebuah kesempatan untuknya pulang sebelum anak
buahnya, Jay, melihatnya mengurus anak kecil di rumah itu, pulang dari kantor.
“Ben sudah
ngantuk?” Tanya Kyla. “Luca juga sudah mengantuk? Apa kalian sudah makan?”
Tanya Kyla.
Luca
menggelangkan kepalanya. Jun kembali menepuk dahinya setelah teringat sejak
tadi bahkan tidak menyediakan air untuk Kyla minum.
“Aku lupa.
Biasanya, suster yang merawat Luca sudah membuatkannya sebelum pulang. Biar ku
lihat dulu.” Ujar Jun sambil melangkahkan kakinya ke arah Kitchen Set di
seberang ruangan tengah itu.
“Ben, Cuma
hari ini kamu bisa begini, yaa?” Bisik Kyla.
Ben cemberut.
“Ma.” Rengek Ben.
“Kau
seharusnya makan sejak se-jam lalu. Ini sudah jam 8 dan kau tidak ingat makan.
Mama sudah sering bilang, kan? Kalau kau terus menerus terlambat makan. Nanti
kau akan sakit perut.” Ujar Kyla lagi.
Luca terlihat
memperhatikan wanita yang masih dipeluknya itu berbicara pada Ben dengan
tatapan seorang ibu yang menasehati anaknya dengan sabar. Luca cemberut karena
cemburu, Kyla hanya menasehati Ben.
“Aku lapar.”
Desis Luca meminta perhatian dari Kyla.
“Luca lapar?”
tanya Kyla. “Bibi akan coba mencari makanan dengan,..” Kyla bingung mau
menyebutkan Jun di depan anak bocah ini.
Tak lama
kemudian, Jun datang kembali dengan tangan kosong dan siap mengangkat gagang
telephone wireless-nya. Kyla menghela nafas.
“Pengasuh
seringkali lupa tentang menyiapkan makanan untuk anak-anak kalau sudah ada
orang dewasa yang terlihat bisa menyiapkannya untuk anak.” Ujar Kyla. “Apa kau
masih punya bahan makanan?” Tanya Kyla.
Kyla segera
berdiri dan diikuti oleh Luca dan Ben.
“Walaupun
makanan yang bibi buat belum tentu enak. Tapi, Ben selalu suka bubur buatan
bibi.” Ujar Kyla pada Luca.
Meski setengah
hati, akhirnya Kyla menyiapkan makanan juga. Tidak mungkin meninggalkan anak
sekecil Luca kelaparan ditengah malam begini. Apalagi, sepertinya Jun hanya
bisa memesankan pizza 24 jam. Mana mungkin anak umur 5 tahun dibiasakan makan
makanan seperti itu. Tak berapa lama bubur yang dibanggakan Kyla pun selesai. 3
laki-laki itu sudah menunggu sejak tadi di meja makan sambil memandangi Kyla
yang sekarang sedang mengangkat panci besar ke arah meja makan. Jun segera
sadar dan membantu Kyla untuk mengambil 4 mangkuk dan mengisinya dengan bubur
yang dibuat Kyla. Jun tidak menyangka wanita se-sibuk Kyla ternyata bisa
membuat bubur yang se-wangi ini.
“Kau tidak
punya alergi terhadap makanan tertentu, kan?” Tanya Kyla pada Luca sambil
mengusap rambutnya.
Luca
mengangguk. “Terima Kasih.” Ujar Luca sambil menarik sendoknya.
“Kau tidak mau
berdoa dulu sebelum makan?” Tanya Ben dengan gaya bossy karena cemburu melihat
ibunya kini lebih memperhatikan Luca yang duduk disampingnya.
“Kita berdoa
dulu.” Ajak Kyla yang segera melipat kedua tangannya di depan lalu memastikan
kedua bocah itu menutup matanya.
“Bapa, terima
kasih atas berkat mu hari ini. Berkatilah makanan yang ada di depan kami ini.
Berikanlah kami kekuatan dan kesehatan, selalu. Amin.” Ucap Kyla yang ternyata
juga diucapkan Ben. Begitu selesai, Luca menatap Ben dan Kyla berkali-kali.
Akhirnya Luca
tersenyum. “Mokko shipoyo!” Ujar Luca dengan riangnya lalu menarik sendok di
depannya dan mulai memakan bubur buatan Kyla.
Kyla segera
menyuruh Ben untuk makan juga. Jun terlihat tersenyum melihat Kyla yang
berperan baik sebagai ibu yang adil untuk 2 bocah itu.
“Bubur buatan
ibu ku enak, kan?” tanya Ben pada Luca dengan senyum bangganya.
Luca
mengangguk. “Terima kasih.” Ujar Luca lagi.
Jun yang sejak
tadi mencuri pandang ke arah Kyla segera tersadar saat mata Kyla yang bulat
besar itu balik menatapnya.
“Oh, Terima
kasih, ya. Aku tidak tahu Luca harus makan apa jika kau tidak memasakkan
untuknya.” Ujar Junior dengan senyuman tulusnya.
Kyla berdehem
sesaat dan memakan sesendok terakhir bubur di mangkuknya. Kyla segera meraih
gelas didepannya dan meminum habis air dalam gelas itu. Jun sedikit salah
tingkah karena beberapa kali Kyla mendapatinya tengah asik mencuri pandang.
Kyla pun menghela nafasnya lagi sambil kembali memberikan tatapan tajam pada
Jun yang seketika tersedak melihat mata bulat Kyla yang seolah nyaris lompat
keluar.
“Anak-anak tidak
baik makan Junk food. Terutama saat malam hari. Mereka butuh banyak gizi untuk
mendukung pertumbuhan mereka. Lain kali lebih baik kau menyediakan bubur bayi.
Dengan begitu, Luca bisa makan bubur itu jika pengasuhnya lupa menyiapkan
makanan.” Ujar Kyla.
“Baiklah.”
Ujar Jun.
“Tapi aku
tidak suka makan bubur bayi. Aku kan bukan bayi.” Protes Luca.
Kyla hanya
tersenyum menatap bocah laki-laki itu.
“Jika tidak
makan di malam hari, kau bisa sakit.” Ujar Ben tiba-tiba.
“Tapi, bubur
bayi tidak enak.” Ujar Luca.
“Makanya, kau
bisa meminta, …” Kyla menatap Jun lagi. Kyla bingung harus memangil pria itu
apa di depan bocah laki-laki berusia 5 tahun itu. Meskipun, dari wajahnya, Luca
benar-benar terlihat mirip Jun.
“Maksud bibi,
kau bisa mencampurkannya dengan buah. Atau mungkin jika kau tidak suka bubur
bayi, kau bisa makan Oats seperti Ben.” Ujar Kyla menerangkannya dengan sabar.
Luca menatap
Ben yang duduk sambil masih sibuk menikmati buburnya.
“Apa itu?”
Tanya Luca sambil menatap Ben.
Ben terdiam
sejenak. “Gandum.” Ujar Ben. “Ibu sering buatkan Oats dengan susu cokelat di
taburi keju parut. Kadang dibuat jadi kue.” Terang Ben pada Luca yang duduk
disampingnya itu.
“Appa tidak
bisa buat itu.” Ujar Luca sambil menatap Jun.
Kyla bingung
sendiri karena Luca mulai terlihat murung lagi. Kyla segera tersenyum sambil
menarik dagu Luca dan membersihkan sisa bubur yang tumpah belepotan disekitar
bibir mungil bocah itu.
“Kalau begitu,
minta appa-mu, untuk belajar memasak.” Ujar Kyla sambil menatap Jun seolah ingin
melihat reaksi laki-laki itu.
Jun yang hanya
sibuk menghabiskan buburnya tidak memperhatikan kata-kata putranya itu. Luca
cemberut.
“Appa- mu
pasti bisa.” Ujar Kyla seolah menambah volume suaranya.
Jun yang
mendengar kata-kata Kyla segera menghentikan kegiatannya dan menatap Kyla. Kyla
memberi tanda dengan mengarahkan pandangannya pada Luca. Jun segera mengerti.
“Ah, Appa akan
coba.” Ujar Jun saat Luca kembali menatapnya.
Luca hanya
mengangguk-angguk namun terlihat tidak yakin. Kyla pun tertawa kecil mencoba
mencairkan suasana yang sejenak terlihat beku itu.
“Luca juga
bisa belajar. Nanti jika Luca sudah besar, Bibi bisa mengajarkannya. Walaupun,
sebenarnya bibi masih belajar juga.” Ujar Kyla sambil mengusap kepala Luca
lagi.
“Ben juga mau
belajar.” Ujar Ben menyela pembicaraan dan tampak tak mau kalah.
Kyla segera
berdiri dan melangkah ke belakang kedua bocah itu dan mengusap kepala keduanya
sambil dengan sabar memastikan mereka menghabiskan makanannya dengan rapih. Jun
lagi-lagi melirik ke arah Kyla dan tersenyum kecil.
***
Akhirnya acara
makan selesai. Kyla membujuk Luca untuk tidur bahkan menemani Luca tidur di
kamarnya. Jun sepertinya merasa aman. Hari ini, Luca tidak mengamuk dan marah
sambil merusak semua hal di depannya. Dan entah kenapa, Kyla terlihat sangat
cantik dan elegan saat berhadapan dengan anak kecil. Kyla menyelimuti tubuh Luca
dan menutup pintu kamar saat Luca tertidur. Ben sendiri tertidur dipangkuan Jun
yang sejak tadi memandanginya sesekali. Kyla segera menurunkan lengan bajunya
dan menarik tasnya. Jun segera bangkit dari duduk dan menaruh kepala Ben diatas
bantal kursi.
“Terima
Kasih.” Ujar Jun.
“Anggap saja
impas. Kau sudah membantu ku menjaga Ben. Aku rasa sebaiknya aku pulang. Ini
sudah malam. Aku tidak akan mengganggu lagi. Terima kasih.” Ujar Kyla.
Kyla
menggendong Ben tanpa terlihat keberatan pada bobot tubuh Ben yang terlihat
lebih besar dari Luca. Jun bisa melihat betapa hebatnya wanita di depannya itu.
Jelas dia wanita yang menarik. Lebih dari sekedar single parent biasa, Kyla
terlihat sangat telaten mengurusi Ben. Ben bahkan terlihat tetap tidur saat
Kyla menggendongnya di depan. Kyla menundukkan kepala pada Jun. Jun segera
tersenyum dan mengantar keduanya ke arah mobil Kyla yang terparkir didepan
halaman kecil rumahnya. Jun tersadar dia harusnya meminta Kyla merahasiakan
keberadaan Luca. Jun segera mengetuk kaca pintu samping mobil Kyla. Kyla segera
menurunkan kaca itu.
“Boleh aku
minta tolong?” Tanya Jun. “Tentang Luca,..” Jun sedikit bingung mengatakannya.
“Ah, aku tahu.
Itu urusan pribadi mu. Aku tidak suka ikut campur urusan orang lain.
Tenanglah.” Ujar Kyla dengan pasti.
“Terima
kasih.” Ujar Jun lagi.
Mobil CRV
Merah Kyla pun segera melaju meninggalkan kompleks perumahan elite itu. Kyla
sesekali melirik Ben. Dia tidak pernah tahu kalau Ben ternyata bisa cemburu
pada anak lain. Hari ini melihat Ben tertidur pulas di jok belakang mobilnya
sebelum memeluknya seperti biasa, membuat Kyla merasa bersalah.
“Maaf ya Ben.
Ma seharusnya menemani mu sebelum kau tidur. Hari ini kita pulang ke
apartement, yaa?” Bisik Kyla sambil terus memandangi Ben yang terlihat tidur
lelap.
***
Jay yang
menyeruput kopinya tersedak seketika karena kata-kata Jun.
“Kau membuat
bos ku memasak bubur untuk Luca dan membantu mu menemani Luca tidur?” Tanya Jay
lagi.
Jun hanya
membalas dengan anggukan kecil. “Kenapa?” Tanya Jun.
“Kau
benar-benar luar biasa.” Ujar Jay dengan nada kesal. “Kau mengharapkan aku di
pecat dari kantor, yaa?” Tanya Jay.
Jun bingung
harus berkata apa. “Tapi, dia yang mau.” Kilah Jun.
Jay terlihat
tidak percaya dan memicingkan matanya se-tajam mungkin seolah akan menusuk
temannya itu.
“Baiklah_baiklah.”
Ujar Jun akhirnya. “Aku lupa mengingatkan pengasuh Luca. Dan dia sepertinya merasa
tidak nyaman jika hanya meninggalkan Luca bersama ku yang pastinya, hanya bisa
memesan Pizza 24 jam.” Ujar Jun. “Aku tidak memaksanya sedikitpun.” Ujar Jun
lagi mencoba meyakinkan Jay.
“Baiklah, aku
percaya.” Ujar Jay. “Tapi, bukannya itu keterlaluan?” Tanya Jay lagi sambil
menatap Luca yang sibuk menghabiskan bubur yang tadi pagi dipanaskan Ayahnya.
“Bagaimana
mungkin, Luca tidak mau melepaskan bos ku yang menyeramkan itu?” tanya Jay
dengan nada tak percaya.
Luca segera
meantap mata Jay dengan tatapan dingin. Jay terkejut.
“Oh tidak, kau
lihat itu?” tanya Jay pada Jun sambil menunjuk wajah Luca yang terlihat kesal.
“Ya, dia benar-benar mirip Ms. Cly.” Ujar Jay sambil menggelengkan kepalanya
tidak percaya dengan yang dilihatnya.
“Dia tidak
se-mengerikan yang kau bilang, kok.” Ujar Shinta tiba-tiba. “Aku dengar dari
Reno, bos ku, Nona itu baik sekali pada teman-temannya. Dia sangat royal dan
senang membantu orang.” Tambah Shinta.
Jay semakin
tidak percaya dengan yang di dengarnya. “Apa dia itu punya keperibadian ganda?”
tanya Jay. “Di kantor ku, dia adalah ratu lebah kejam yang suka sekali
mengomentari semua hal. Bahkan ada yang bilang, sebelum memiliki anak, bos ku
itu selalu membawa penggaris, kalkulator dan semua jenis alat hitung meski
hanya ke toilet, karena dia sibuk mengukur satu per satu orang disekitarnya
setiap kali berpapasan.” Ujar Jay lagi.
“Dia tidak
se-buruk itu.” Ujar Jun.
Luca tersenyum
mendengar Jun membela wanita yang sedang dibicarakan ke-3 orang dewasa itu.
Meskipun tidak begitu mengerti, tapi Luca yakin mereka tengah berdebat masalah
wanita yang tadi malam memeluknya sampai dia tertidur lelap.
***
Mobil ku
segera memasuki pelataran Ruko tempat Dennis biasa bekerja dan tinggal. Glen
segera menyapa ku dan membantu ku membukakan pintu samping agar Ben bisa
keluar. Sue juga khusus datang ke Bengkel Dennis pagi ini setelah Glen sibuk
memarahinya, karena telah meninggalkan Ben pada orang yang tidak di kenal
kemarin.
“Ben..”
Panggil Sue yang sudah berdiri di depan bengkel Dennis dengan wajah
innocent-nya.
Kyla ingin
sekali meluapkan amarah kemarin sore saat mengetahui kalau Sue menitipkan Ben
pada orang yang tidak dikenal.
“Kau itu
benar-benar keterlaluan ya?” Keluh Kyla. “Bagaimana mungkin kau titipkan Ben
pada orang yang tidak dikenal begitu?” Tanya Kyla.
Sue hanya
menyeringai kecil. “Maaf.” Ujar Sue. “Tapi, dia baik-baik saja, kan? Lagipula,
Jun orang baik. Grace juga mengenalnya.” Ujar Sue berkilah.
“Biar
bagaimana pun juga, kau tidak seharusnya menitipkan anak kecil pada orang yang
tidak dikenalinya.” Ujar Dennis dengan bijak.
“Iya.
Baiklah.” Ujar Sue.
“Apa ‘jagoan’
kami ini baik-baik saja?” Tanya Glen pada Ben.
Glen segera
mengangkat tubuh kecil Ben dan mulai bercanda dengan bocah itu. Kyla hanya bisa
mendengus kesal. Sue memang orang yang ceroboh. Seharusnya, Ben tidak pernah
dititipkan pada temannya yang satu itu.
“Kalau begitu,
hari ini Ben ingin makan apa?” Tanya Grace pada Ben.
“Tadi pagi, ma
membuatkan sandwich dengan keju yang banyak. Siang ini, Bibi mau masak apa?”
Tanya Ben.
“Ben. Jangan
memilih-milih makanan.” Ujar Kyla mengingatkan putranya.
Ben mengangguk
dan segera melambaikan tangan pada Kyla yang sudah berada di mobil CRV-nya.
“Dah Mama…” Ujar Ben sambil melambaikan tangan di depan kaca samping mobil yang terbuka, dengan senyuman riangnya.
“Ma pergi
dulu. kau harus dengar kata-kata Uncle Dennis dan Aunty Grace. Okay?” Ujar Kyla
sebelum menjalankan mobilnya.
“Hmm.” Ben
segera mengangguk-angguk seperti kakek kakek tua.
Kyla tersenyum
selama perjalanan. Senyuman putra kecilnya itu adalah hal yang tidak bisa
ditukarkan oleh apa pun. Asalkan Ben senang, meskipun hal itu tidak
menyenangkan untuk Kyla, dia pasti melakukannya.
Kyla segera
memencet tombol naik di luar lift sambil memandangi angka yang tertera pada
layar. Jay yang sebenarnya berharap tidak bertemu atasannya itu benar-benar kecewa saat melihat Kyla
berdiri di depan lift sambil membaca koran pagi. Kyla menyadari mata yang sejak
tadi memandanginya. Jay mau tidak mau menunduk mmberi hormat pada atasannya
itu.
“Pagi, Bu.”
Ujar Jay.
“Hmm,” Balas
Kyla dengan setengah hati. “Apakah pengajuan dana atas iklan baru dari Mr. Jo
sudah kau buat?” Tanya Kyla segera.
Jay sedikit
tidak percaya pada kata-kata yang di dengarnya ini. Sepertinya, Kyla selalu
ingat seluruh pekerjaan tiap karyawannya. Bahkan, se-pagi ini sudah menanyakan
‘pengajuan dana’.
“Sudah bu.”
Ujar Jay. “Kemarin sudah saya letakkan di meja ibu sebelum saya pulang.” Ujar
Jay lagi dengan sedikit gugup.
“Okay. Kamu
juga harus secepatnya mengurus ijin dan kontrak yang kemarin saya minta untuk
kamu tangani. Itu iklan besar. Kalau sampai jatuh ke perusahaan lain, saya bisa mendapatkan
masalah.” Ujar Kyla.
“Baik bu.”
Jawab Jay dengan tegang.
Kyla menyadari
atmosphere sekitarnya saat berbicara dengan Jay yang tampak ketakutan entah
kenapa. Kyla segera melangkah masuk ke ruangan departemen Marketing yang
dipimpinnya setelah Lift terbuka. Kyla berbalik sesaat dan menatap Jay.
“Jay tolong ke
ruangan saya sebentar.” Ujar Kyla akhirnya setelah berpikir dan menimbang,
haruskah dia menanyakan sesuatu yang mengganjal hatinya itu.
Jay menahan
dengusannya agar tidak terdengar Kyla yang baru saja masuk ke ruangannya.
Sementara, beberapa rekan se-departemen-nya termasuk Gaby dan Brenda sudah
saling bisik. Roby hanya bisa menepuk pundak Jay beberapa kali.
“Sabar ya
Bro.” Ujar Roby.
Jay hanya bisa
melangkah masuk ke ruangan Manager Marketing-nya itu dengan langkah gontai. Kyla
sudah terlihat duduk manis dengan Revisi kontrak dengan Ms. Guntara dan Mr. Jo
yang semalaman di kerjakan Jay hingga harus lembur sampai tengah malam. Kyla
terlihat mengangguk beberapa kali dan kemudian menaruh dokumen itu di mejanya.
“Bagus. Aku
puas dengan hasil kerja mu. 2 Kontrak ini sudah OK.” Ujar Kyla dengan tenang.
“Oh iya, Jay. kenapa sepertinya kau sedang tidak sehat?” Tanya Kyla.
Jay segera
menahan nafasnya sejenak. “Tidak bu. Saya baik-baik saja.” Ujar Jay dengan
gugup.
“Apa kau tidak
bisa jika tidak se-gugup itu? Apa aku akan menelan mu?” Tanya Kyla. “Entah
kenapa dari satu departemen kita hanya Gaby yang bisa berbicara dengan normal
tanpa harus gugup?” Tanya Kyla.
Jay tidak
percaya bos-nya yang galak itu bertanya seperti itu. “Bukan begitu, bu.” Kilah
Jay segera.
“Well. It’s
Okay.” Ujar Kyla. “Aku hanya penasaran saja. Oh iya, Kontrak-kontrak ini harus
kau follow up, okay? Aku rasa kau sudah bosan dipindahkan dari satu departemen ke departemen yang lain,
kan?” Ujar Kyla.
Kyla segera
menandatangani 2 Kontrak itu dan menyodorkannya pada Jay.
“Itu saja. Kau
bisa keluar sekarang.” Ujar Kyla lagi.
Rasanya
benar-benar mengejutkan melihat Kyla yang tiba-tiba terlihat tidak se-sinis
biasanya. Namun, Jay hanya bisa menunduk sambil mengambil kontrak-kontrak itu
dari tangan Kyla dan segera keluar.
“Bagaimana?”
Tanya Brenda.
“Bro, ngak
apa-apa, kan? Apa digigit sama Ms. Cly?” Tanya Roby sambil merangkul pundak Jay.
“Done.” Balas
Jay dengan pelan.
“Maksudnya apa
tuh?” Tanya Gaby. “Kamu mau dipindahkan lagi sama bos?” Tanya Gaby lagi.
“No.” Ujar Jay
dengan santai. “She’s already sign this.” Ujar Jay.
“What? For
sure? Really?” Tanya Brenda.
“She Did it?”
Tanya Gaby lagi.
“Well. Harus
kita rayakan nih, Bro.” Ujar Roby. “Congrats yaa…” Celotehnya.
***
Setelah
kejadian kemarin, saat Sue menitipkan Ben pada Jun, Glen dengan gusarnya datang
ke kantor dan segera masuk ke ruangan ku. Glen hanya terdiam beberapa saat
sambil menatap ke arah luar. lebih tepatnya, ke arah Jay yang kini memang duduk
bersebrangan dengan pintu ruangan ku, tempat salah satu senior staff marketing
yang sedang cuti melahirkan.
“Ada apa?”
Tanya ku dengan santai.
“Kenapa Sue
menitipkan Ben pada teman dari Jay?” Tanya Glen.
Aku terkikih
kecil. Sepertinya, bos kecil-ku ini masih saja cemburu pada Jay dan jadi
paranoid sendiri.
“Kok malah
ketawa?” Tanya Glen.
“Jangan tanya
aku. Langsung saja tanya pada Sue.” Ujar ku sambil tetap meneruskan pekerjaan
ku yang belum selesai.
“Sudah.” Ujar
Glen. “Tapi, maling mana yang mau mengaku?” Celoteh Glen dengan santai.
“Apa Sue itu
maling?” Tanya ku.
“Bukan begitu.
Dia,…” Glen sepertinya bingung untuk mengatakan kalau dirinya curiga pada Sue
dan Jay.
“Apa kau tidak
percaya calon istri mu? Begitu?” Tanya ku.
“Aku bukannya
tidak percaya.” Ujar Glen lagi. “Kau tahu mereka bersama sejak Sue masih umur
20 tahun. selama 5 tahun. Sementara, aku dan Sue baru saja 2 tahun.” Lanjutnya.
“5 tahun, 2
tahun, lalu kenapa?” keluh ku. “Kau yang akan menikahi Sue bukannya Jay. yang
lamarannya diterima itu lamaran mu. Jadi kenapa masih begitu cemas berlebihan
dan cemburu tidak jelas begitu?” sambung ku dengan nada serius.
“Aku tidak tahu
kenapa, dia sungguh mencurigakan,Ky.” Ujar Glen.
“Kau saja yang
berlebihan. Menurut ku, Sue dan Jay sudah tidak ada perasaan seperti yang kau
takutkan itu.” Ujar ku. “Jangan ‘galau’ terus. Seperti ABG saja.” goda ku.
Glen hanya
menghela nafas dan duduk di bangku tepat di depan meja ku.
“Kau sendiri
kesal saat Sue menitipkan Ben pada orang lain.” Desis Glen.
Sepertinya
kecemburuan Glen sudah menyebar entah kemana. Glen mulai mengatakan semua hal
yang bahkan tidak ada hubungannya.
“Itu hal
beda.” Ujar Ku singkat.
Glen
sepertinya tidak puas dengan jawaban ku. Glen hanya menghela nafas lagi dan
lagi sambil memutar-mutar bangku duduknya.
“Kenapa kau
begitu membela pria bernama Jay itu? Setiap kali aku ingin memecatnya, kau
selalu menghalangi ku. Apa jangan-jangan ada hubungan spesial di antara
kalian?” Tanya Glen.
“Spesial pakai
Telor?” Celoteh ku bercanda sambil terkikih kecil lalu kembali menatap Glen. “Aku
sudah bilang, kan? Alasan mu mengeluarkan dia dari satu departemen ke
departemen lain itu tidak pernah masuk akal. Apalagi saat kau bilang untuk
memecatnya. Kau bahkan sengaja mencari-cari kesalahannya sekecil apa pun hanya
untuk mencoba mengeluarkannya dari sini. Itu kekanakan sekali.” Ujar Ku. “Lagipula,
bersikaplah sebagaimana seorang pria. Be Gentle.” Ujar ku.
Glen segera
memasang wajah kesalnya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala ku. Aku tidak
tahu, kapan pria yang satu ini bisa menjadi sedikit lebih dewasa dan berwibawa
seperti Ayahnya.
an a.k.a inriani sianipar
Komentar
Posting Komentar