Langsung ke konten utama

First Love Story 1

Pagi ini Cleo terlambat bangun lagi. Semalam dirinya baru saja meng-update fanfic yang ditulisnya sejak dua hari lalu. Papanya sudah berangkat ke Jakarta untuk bekerja seperti setiap hari yang dilakukannya. Sementara, kedua adiknya sudah pergi ke kampus. Mamanya yang cantik berdiri di depan cermin sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam berkilau.
Sepotong roti yang ada di meja diambil Cleo sebelum duduk di kursi ruang makan dengan melipat kedua kakinya di atas kursi seperti sedang semedi. Segelas susu hangat di depannya tersaji setelah pembantu keluarganya menyiapkan untuknya. Cleo sibuk melirik blognya dari smartphonenya. Jumlah orang yang mengunjungi blognya bertambah lagi. Satu comment yang sama kembali ditemukannya pada update cerita kali ini. Meskipun hanya satu, hal itu cukup mengganggu Cleo karena isi dari comment tersebut membuatnya kesal.
"Tulislah yang sesuai dengan kenyataan. Jangan hanya berkhayal." Itulah tulisan yang sejak dua tahun lalu dilihatnya muncul di blognya setiap kali meng-update cerita baru.
"Shh, kenapa harus menulis comment seperti ini? Ini adalah fanfic. Hal yang biasa kan, kalau fanfic itu khayalan. Mana mungkin menulis kenyataan. Memangnya aku bertemu artisnya langsung?" Keluh Cleo sambil menaruh smartphonenya.
Cleo berusaha tetap tersenyum lebar dan membuka facebooknya dari Iphone yang ada di pangkuannya. Jari-jarinya mulai mengetik share di facebooknya dan mempostingnya.
"Sebentar lagi." Desis Cleo sambil melirik jam dinding yang menggantung di tembok ruang makan.
Seperti dugaan Cleo sang Mama keluar dari kamarnya dengan sebuah tas tangan dan kunci mobil sedan yang biasa dibawanya.
"Cleo, mama akan pergi ke salon. Kau tidak berencana pergi kemana pun, kan?" Tanya Mamanya.
"Hmm." Ujar Cleo sambil mengangguk dan menelan roti yang dimakannya.
"Kalau begitu Mama akan membawa mobil. Oke?" Ujar sang Mama sambil berjalan ke arah pintu depan tanpa menunggu kata-kata dari anak perempuan satu-satunya ini.
Cleo hanya bisa terdiam dan membiarkan Mamanya pergi. Setiap hari, sang Mama akan beralasan pergi, entah kemana. Cleo tidak lagi peduli pada kedua Orangtuanya, atau pada kedua adik laki-lakinya. Tujuh tahun lalu, saat Cleo lulus dari universitas, Tidak ada seorangpun dari anggota keluarganya yang datang. Hanya mantan kekasihnya, Juan yang datang dan berfoto bersamanya untuk mengenang keberhasilannya meraih suma-cumlaude saat lulus strata satunya.
Cleo tidak ingin berlama-lama mengenang masa lalunya. Wanita berusia 30 tahun ini lebih memilih untuk bermain game, atau menonton dorama terbaru dari Jun Matsumoto, idolanya. Sesampainya di kamar, Cleo tidak mengarahkan pandangannya ke atas tumpukan pakaian yang baru saja diantarkan pembantunya setelah dilipat dengan rapih, melainkan segera melirik PSP dan menariknya. Lalu, tangannya mengambil DVD drama Jun Matsumoto dengan tangan lainnya. Matanya bergantian bergerak ke arah dua benda yang ada di kedua tangannya. Setelah beberapa menit memusatkan perhatiannya hanya pada kedua benda itu, Cleo memutuskan untuk memutar DVD dorama yang baru saja sampai dua hari lalu itu.
Sebenarnya Cleo tidak menyukai dorama Detektif seperti yang kali ini dimainkan oleh idolanya. Wanita ini hanya ingin melihat wajah pemeran utama dari dorama ini yang tak lain adalah Jun Matsumoto. Cleo mulai memegangi kedua pipinya sambil memperhatikan sang idola yang memerankan tokoh detektif tampan itu.
“Ahh, ... tampannya.” Ujar Cleo sambil menarik bungkus DVD dorama itu.
Tangannya mulai membelai foto Jun Matsumoto yang ada di sampul DVD dorama itu dan memajukan bibirnya seolah ingin mencium foto yang diarahkan ke wajahnya.
“Jun....” Desisnya sambil tertawa sendiri.
Setiap orang yang melihatnya saat ini mungkin akan mengira dia sudah gila. Seorang wanita yang menonton dorama dengan hebohnya memanggil nama idolanya, hingga mengeluarkan ekspresi aneh. Hanya orang yang memiliki idola, yang tahu kalau hal seperti ini sebenarnya biasa terjadi pada kebanyakan gadis yag tergila-gila pada idolanya.
“Matsumoto-san....” Ujar Cleo lagi sambil mengarahkan tangan kanannya ke layar televisi yang berjarak sekitar satu setengah meter dari ranjang tempatnya duduk, seolah ingin meraih idolanya yang ada di layar TV.
“Matsumoto Jun ....” Pekik Cleo lagi sambil memeluk bantal yang ada di sebelahnya.
Mungkin pemandangan seperti ini adalah pemandangan aneh di mata pria. Terutama pria yang tidak pernah merasa punya idola selama tigapuluh lima tahun hidupnya seperti Joshia Alexander. Pria itu kebetulan harus menunggu temannya yang sedang mandi. Karena tidak ada hal yang bisa dilakukannya di rumah teman baiknya, Steve yang terlihat besar tapi tidak ada isinya itu, Josh memilih untuk menghidupkan sebatang rokok dan menghisapnya di balkon rumah Steve yang kebetulan menghadap ke kamar tetangga Steve, yang tak lain dan tak bukan adalah Cleo.
“Kau lihat apa?” Tanya Steve yang masih mengenakan bath robe saat menghampiri Josh yang terlihat tertawa sendiri di balkon rumah Steve.
Bukannya menjawab, Josh justru tertawa terbahak-bahak karena fokus melihat Cleo yang mulai menggigit bantalnya dan kembali meneriakkan nama idolanya dengan keras. Steve melirik ke arah di mana Josh melemparkan pandangannya. Steve segera menutup kepala Josh dengan handuk yang dipakainya untuk mengeringkan rambut.
“Pervert!” Desis Steve. “Apa tidak ada hal yang lain yang bisa kau lakukan selain mengintip tetangga ku?” Tanya Steve yang kini ikut duduk di samping Josh.
“Apanya yang mengintip? Jendela selebar itu terbuka, artinya tidak ada satu hal pun yang tetangga mu ingin sembunyikan. Justru seperti mengajak orang lain untuk melihat ke dalam.” Ujar Josh.
“Si-aneh itu, dia tidak bisa tidur dengan jendela tertutup. Aku dengar dia penulis seperti mu. Tapi, aku tidak pernah membaca karyanya.” Ujar Steve.
“Apa tetangga mu selalu seperti itu? Apa dia sedikit, ....” Ujar Josh sambil menaruh telunjuknya bergerak menyamping di atas dahinya, yang menunjukkan isyarat yang berarti gila.
Steve segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah dalam kamarnya sambil tertawa kecil.
“Sepertinya begitu.” Ujar Steve. “Aku tidak mengenalnya. Dia tidak pernah keluar rumah atau bergaul dengan orang lain. Setiap hari hanya menghabiskan waktu di rumahnya.” Ujar Steve lagi.
Josh hanya menganggukan kepalanya seolah mengerti apa yang dikatakan temannya itu, lalu mengikuti Steve masuk ke dalam kamarnya.
“Bagaimana dengan novel terbaru mu? Apa editor mu menyetujuinya?” Tanya Steve sambil memakai kaos putih dan kembali duduk di tempat tidurnya.
“Editor ku?” Ulang Josh dengan nada sinis. “Jangan bicarakan si-cerewet itu. Aku bosan mendengar ocehannya di telephone setiap hari.” Ujar Josh lagi.
“Ayolah, ‘Hot Mom’ seperti editor mu, ...” Steve melirik Josh yang sudah duduk di kursi yang berada di dekatnya. “Jika aku setiap hari harus mendengar suaranya dan mendapatkan sms darinya, aku akan sangat bersyukur.” Ujar Steve lagi.
“Ayolah, dia teman ku sejak kuliah. Jangan berpikir macam-macam.” Ujar Josh pada Steve yang terkenal playboy itu.
“Apa salahnya?” Tanya Steve. “Lagipula, dia itu memang seksi. Sudah berusia empatpuluh dua tahun tapi sangat cantik. Gayanya juga sangat up to date. Yang lebih penting lagi, suaranya itu, lembut dan tegas. Perpaduan antara gadis lemah lembut dan wanita keibuan. Apalagi, kau bilang dia masih single. Hanya beda lima tahun dengan ku, apa salahnya? Sekarang ini orang sudah tidak mempermasalahkan umur dalam hubungan seperti pacaran atau menikah.” Ujar Steve lagi.
“Aku sudah bilang dia teman ku.” Ujar Josh sambil melemparkan kaleng spray collogne ke arah Steve yang segera menangkap dengan tangannya.
“Kau tidak ingin teman mu yang single itu mendapatkan pendamping yang sepadan?” Tanya Steve dengan gaya serius. “Atau, kau tidak rela perhatiannya untuk mu terbagi?” Bisik Steve meledek Josh.
Josh segera berdiri dari kursi dan memukul dada Steve cukup keras walaupun tidak sungguh-sungguh ingin memukul teman sejak sekolah dasarnya itu.
“Jangan bermain-main dengan Antiokhia Dean. Kecuali, kau mau aku dapat masalah.” Ujar Josh menyebutkan nama editornya.
“Baiklah.” Ujar Steve akhirnya. “Aku tidak sungguh-sungguh juga ingin mengejar editor mu itu. Aku dengar dia hamil di luar nikah dan memiliki anak berusia tigabelas tahun. Bagaimana mungkin aku mendekatinya. Ayah ku pasti mati berdiri saat mendengarnya.” Ujar Steve.
“Dia memang memiliki anak berusia tigabelas tahun, dan dia juga hamil di luar nikah.” Ujar Josh sambil berjalan keluar kamar Steve yang diikuti oleh Steve.
***
Pada salah satu sisi gedung V Media, perusahaan yang bergerak di bidang Publishing ini, seorang wanita sedang mencoba menghubungi kembali seseorang yang sejak tadi tidak juga mengangkat sambungan teleponnya. Naskah baru Josh yang diterimanya dua hari lalu membuatnya kesal. Selama lima belas tahun menjadi editor, penulis yang sedang berusaha dihubunginya ini memang selalu membuat wanita berusia empatpuluh dua tahun ini jengkel. Meskipun Joshia Alexander adalah temannya sejak kuliah, pria itu tidak mudah untuk dibujuk olehnya. Tampaknya kesabaran editor yang dijuluki ‘Hot Mom’ ini sedang diuji. Sejak dua hari lalu, Josh tidak kembali ke apartemennya, atau pun rumah orangtuanya. Penulis favoritnya ini juga tidak ada di setiap cafe, restaurant, taman, dan perpustakaan tempat Josh biasa mengerjakan naskah seperti yang diketahui wanita bernama Antiokhia Dean ini. Josh tidak membalas e-mailnya, tidak mengangkat teleponnya, juga tidak membalas SMS-nya.
Sudah sejak enam bulan lalu Josh uring-uringan untuk membahas novel terbarunya. Permintaan pasar yang menginginkan cerita romantis membuat Josh menyerah sebelum berperang. Josh benci membaca cerita cinta apalagi menulisnya. Karena baginya, cinta itu tidak bisa dituliskan di atas kertas, dan menghasilkan uang untuknya. Josh tidak merasa ingin mengganti cerita dalam novelnya kali ini, atau menambahkannya dengan bab berisi kisah cinta. Seperti biasainya, salah satu penulis pria yang sudah terkenal ini memutuskan untuk membuat pemeran utamanya yang lagi-lagi detektif, mati dalam dinginnya kasus misteri yang sedang ditanganinya, tanpa kisah cinta apapun.
“Apa kau bisa menghubunginya?” Tanya Anti pada Viena, asistennya.
“Sepertinya Josh sengaja menghindari kita.” Ujar Viena. “Apa benar bos marah saat mengetahui tokoh utamanya mati tanpa ada hubungan cinta dalam ceritanya?” Tanya Viena untuk kesekian kalinya pada Editor yang dikenalnya sebagai Editor kejam.
“Tidak untuk yang masalah pemeran utama mati.” Ujar Anti akhirnya. “Bos besar kesal karena sudah delapan belas novel Josh selalu tidak ada tokoh utama wanita atau cerita cintanya.” Ujar Anti lagi.
“Ah, kenapa susah sekali meminta Josh membuat cerita yang ada cinta-cintaannya?” Keluh Viena.
“Aku juga tidak mengerti kenapa rasanya sulit sekali membujuknya menulis satu sesi saja di mana tokoh utamanya memiliki hubungan cinta. Seluruh novelnya selalu menggambarkan tokoh kesepian yang tidak memiliki kekasih. Akhir dari ceritanya juga sudah terbaca. Tokoh utama akan mati pada kasus terakhir tanpa berhasil menyelesaikan hipotesanya.” Ujar Anti terus bicara sambil mengangkat gagang teleponnya.
Viena hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan editor wanita yang dikenal prefeksionis itu.
“Ah, kenapa kau tidak mengangkatnya juga sih?” Pekik Anti pada gagang teleponnya yang mengeluarkan suara wanita yang menyatakan nomor yang dihubungi Anti sedang tidak aktif, atau berada di luar area.
Sebelum keluar dari ruangan itu, Viena memberikan sebuah amplop cokelat ke arah Anti. Anti membuka amplop itu dan menemukan sebuah naskah yang terlihat biasa-biasa saja, bahkan tidak ada nama pengarang dan judul di halaman depannya.
“Apa ini?” Tanya Anti dengan suara kerasnya sebelum Viena menutup pintu.
Viena berbalik sebentar lalu berusaha tersenyum. “Bacalah dulu.” Ujar Viena.
“Apa kau berencana jadi penulis juga?” Tanya Anti sambil mengeluarkan naskah itu dari amplop.
“Teman ku yang menulisnya.” Ujar Viena. “Dia menulis fanfic di blog pribadinya dan beberapa waktu lalu menulis cerpen untuk majalah kita. Itu adalah novel pertamanya.” Viena menerangkan sambil meremas-remas ujung kemeja yang dikenakannya untuk mengurangi kegugupannya.
“Lalu?” Tanya Anti dengan nada sinis.
“Kalau kau tidak suka, kau bisa membuangnya.” Ujar Viena sambil tertunduk. “Sudahlah. Jangan pedulikan.” Ujarnya lagi sambil cemberut.
Anti menghela nafas karena melihat asistennya itu seperti sedang bersungut-sungut. “Aku akan membacanya. Meskipun kau tidak menaruh profile penulis, setidaknya kau menaruh nama penulisnya dan judulnya, kan?” Tanya Anti.
Viena baru menyadari kalau dirinya terlupa akan hal itu. “Maaf aku lupa.” Ujar Viena sambil menyengir dan kembali melangkah ke arah meja atasannya.
“Tulis saja di post-it.” Ujar Anti.
“Oke.” Ujar Viena sambil menulis nama pengarang dan judul karangan yang diberikannya tadi, lalu pergi dari ruangan itu.
Anti kembali mencoba menghubungi Josh tanpa mempedulikan post it yang ditulis Viena. Kali ini dia mencobanya dari ponsel. Tampaknya, menghubungi Josh akan jadi pekerjaan rutinnya selama beberapa hari ini. Teman semasa kuliahnya ini memang pria yang keras kepala di mata Anti. Menulis cerita cinta mungkin memang bukan keahlian Josh. Tetapi, melihat Josh menolak untuk menulis cerita mengenai cinta walau hanya di satu sesi pada bab novelnya tanpa alasan apa-apa membuat Anti kesal. Anti tidak tahu harus mengatakan apa pada bosnya jika Josh tidak memberikan alasan yang masuk akal.
***
Cleo membuka panci berisi air mendidih dan memasukan mie instan ke dalamnya. Melihat makanan yang tersaji di atas meja yang sudah disiapkan pembantunya justru membuat Cleo tidak berselera makan. Sudah lama Cleo merindukan masakan buatan Mamanya, tetapi tetap saja Mamanya sepertinya sudah tidak memiliki waktu untuk menyiapkannya makanan untuknya. Cleo selalu berpikir mungkin Mamanya sudah tidak mempedulikannya lagi. Cleo merasa keluarganya sudah tidak harmonis seperti dulu lagi ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Papanya kini sibuk bekerja. Sementara, kedua adiknya lebih sering bermain di luar rumah sepulang sekolah, atau kampus.
Cleo melirik ke sekeliling rumahnya yang besar dan mewah. “Sepi sekali. Dulu rumah tidak sebesar ini, tapi kami selalu berkumpul.” Desis Cleo seolah bicara pada dirinya sendiri. Mungkin itu adalah kata-kata yang ingin disampaikan Cleo pada keluarganya.
Cleo segera duduk setelah menyajikan semangkuk penuh mie instan untuk dinikmatinya sendiri. Wanita itu beberapa kali meniup mie instan yang diangkatnya dengan garpu sebelum melahapnya. Seperti hari lainnya, Cleo tidak menyentuh makanan yang tersedia di atas meja. Hanya meliriknya saja bisa membuat Cleo teringat masa lalunya dan kebersamaan keluarganya, dan itu membuat Cleo merasa semakin kesepian.
“Benar-benar membosankan.” Desis Cleo lagi.
Tidak ada teman untuk berbicara. Tidak ada orang lain yang merespon kata-katanya. Setiap hari hanya menghabiskan waktu seharian untuk menulis dan bermain. Suasana rumah yang dingin itu terkadang membuat Cleo tidak tahu harus melakukan apa. Itu sebabnya, Cleo hanya menghabiskan waktu di kamarnya sendiri dan menyibukkan dirinya sebisa mungkin. Meskipun, terkadang wanita ini merasa seperti seorang putri yang terkurung di dalam istananya.
Cleo kembali ke kamarnya dan melirik DVD yang di pause olehnya dan di layar TV masih ada wajah Jun Matsumoto yang akan berciuman dengan tokoh utama wanita dalam film tersebut. Cleo merebahkan dirinya di atas ranjang dan menutup kedua matanya. Khayalannya terbang entah ke dimensi mana, yang pasti ada Jun Matsumoto dalam khayalannya itu. Wajah Jun Matsumoto yang tersenyum muncul di dalam pikiran Cleo. Jun Matsumoto seolah mencoba menjangkau tangannya yang terulur ke depan dalam impiannya.
“Jun.” Desis Cleo lagi.
Steve yang berdiri di beranda kamarnya segera memanggil Josh yang ada di dalam kamarnya, seolah ingin membagi berita besar dengan teman dekatnya itu.
“Oi, Josh.” Panggil Steve.
“Kenapa?” Tanya Josh.
Steve menunjuk ke arah jendela kamar Cleo yang sejak tadi masih terbuka. Pemandangan di dalam kamar Cleo yang menunjukan Cleo tidur di atas ranjang sambil menggapaikan tangannya ke atas seolah mencoba meraih sesuatu terlihat dengan jelas dari beranda kamar Steve. Kedua pria itu berpandangan sesaat dan terkikih melihat ulah Cleo. Namun, mereka tetap mencoba menahan suara tawa mereka yang mungkin akan terdengar Cleo.
“Apa tetangga mu itu baik-baik saja?” Tanya Josh sambil menahan tawa.
“Entahlah. Aku rasa dia memang sakit jiwa.” Balas Steve, lalu menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
Cleo masih sibuk mengkhayalkan Jun Matsumoto yang meraih tangannya dan memeluknya dengan erat. Meskipun kenyataannya Cleo sendiri menarik bantal guling dan memeluknya dengan kencang, seolah memeluk Jun Matsumoto yang ada dalam khayalannya. Cleo meneruskan dengan mencium bantal gulingnya dengan mesra seperti sedang mencium Jun Matsumoto di dalam pikirannya. Hal itu membuat Josh dan Steve tertawa terbahak-bahak, hingga Cleo akhirnya menyadari ada orang lain yang sedang memperhatikannya. Cleo segera bangkit dari tempat tidurnya dan melirik ke arah beranda kamar tetangganya. Cleo segera mendekati jendela kamarnya yang terbuka lebar dan mendapati Steve sedang tertawa seorang diri.
Josh sudah menunduk, bersembunyi saat menyadari Cleo bangkit dari tidurnya. Steve yang belakangan sadar, tertangkap basah oleh Cleo saat sedang tertawa terbahak-bahak sendirian. Cleo tidak mengerti apa yang dilakukan oleh Steve. Steve segera berpura-pura melambaikan tangan. Cleo terkejut melihat anak tetangga sebelah rumahnya itu melambaikan tangan ke arahnya seolah sedang menyapanya. Cleo segera bersembunyi di balik gordyn, dan mencoba mengintip ke arah Steve. Steve semakin tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Cleo yang semakin aneh baginya. Cleo akhirnya berlari ke arah luar kamarnya dan menuruni tangga. Sementara, Steve terpingkal-pingkal sendirian di balkon karena Josh sudah merangkak masuk ke kamar Steve.
“Kau lihat itu?” Tanya Steve di antara tawanya.
“Kau keterlaluan.” Ujar Josh. “Jangan mempermainkan tetangga mu sendiri.” Ujar Josh lagi.
Cleo berjongkok sendirian di ruang tengah rumahnya sambil mengingat pria yang tertawa terbahak-bahak, seorang diri pula tanpa menyadari penyebabnya. Cleo segera mengusap kedua pipinya kemudian memeluk kedua kakinya yang tertekuk di depan dadanya.
"Aneh sekali orang itu. Apa dia gila?" Tanya Cleo pada dirinya sendiri sambil bergindik.
***
Anti berjalan ke arah pantry dan membawa naskah yang baru saja diberikan Viena padanya. Cerita tentang cinta yang cenderung menyedihkan seperti roman picisan. Anti tidak begitu menyukai cerita jenis ini. Tapi, entah mengapa novel seperti ini yang biasanya akan mendapatkan respon positif dari pembaca. Anti baru membaca setengah dari naskah itu secara acak. Viena senang melihat Anti yang serius membaca karya temannya.
Walaupun terkadang Anti terkesan bossy dan menyebalkan, dibalik pandangan itu, Viena mengagumi atasannya yang duabelas tahun lebih tua darinya itu. Anti bekerja dengan serius dan akan menanggapi setiap cerita yang dibacanya dengan jujur. Viena yakin Anti memiliki radar untuk mencari naskah yang akan laris di pasaran. Tapi, Viena tidak  mengerti mengapa Anti masih mempertahankan Joshia Alexander yang penjualan karyanya tidak pernah meroket. Sampai hari ini, Viena terus berasumsi, kalau Josh bertahan sebagai penulis, dan karyanya bisa terus mendapatkan sokongan dari perusahaan mereka hanya karena Josh adalah teman dekat Anti. Sementara, Anti adalah cheif editor senior yang juga penulis andalan di perusahaan ini.
"Bagaimana?" Tanya Viena saat Anti melewatinya.
Anti menganggukan kepalanya dan menatap tajam ke arah Viena. Hal itu mengejutkan Viena. Wanita itu memundurkan kursi yang didudukinya menjauh ke belakang saat Anti menatapnya dengan wajah serius.
"Apa kau tidak suka ceritanya?" Tanya Viena.
Anti belum juga menjawab pertanyaan Viena. Anti berjalan berputar-putar di depan meja Viena, tetapi matanya terpaku pada lembaran naskah yang dipegangnya.
"Bagaimana menurut mu sendiri?" Tanya Anti.
Viena terdiam sesaat setelah Anti balik bertanya padanya.
"Bagus." Ujar Viena. "Ceritanya mengenai wanita dan pria yang sempat berpisah karena hubungan mereka yang ditentang. Namun, mereka bertemu kembali di reuni sekolah saat pemeran utama pria sudah mengetahui dirinya akan meninggal beberapa bulan kemudian, karena mengidap AIDS. Menurut ku ceritanya sedih. Tapi sangat menyentuh." Ujar Viena lagi sambil menyentuh dadanya sendiri.
"Aku rasa kau mulai memiliki radar pencium untuk menentukan cerita yang laris." Ujar Anti.
Viena tersenyum senang mendengar pujian dari Anti yang terkenal jarang memuji.
"Apa kau mau memakainya?" Tanya Viena.
"Tidak." Jawab Anti secepatnya.
Viena baru saja merasa senang, kini dengan cepat Anti memutarbalikan perasaannya. Ini biasa terjadi. Dalam pikiran Viena, Anti memang tidak akan membiarkannya senang lebih lama lagi.
"Kenapa?" Tanya Viena.
"Aku tidak melihat ceritanya fokus. Membacanya tidak akan menarik jika semua hal sudah bisa ditebak sejak awal." Anti menjelaskannya dengan singkat dan jelas.
"Apa benar-benar tidak menarik?" Desis Viena.
Anti tertawa sinis. "Kalau semua orang bisa membuat cerita menarik, maka semua orang bisa menjadi penulis novel hebat." Ujar Anti. "Katakan pada teman mu untuk jangan banyak mengkhayal mengenai cinta. Kalau dia tidak pernah tahu apa itu ciuman, sebaiknya jangan menggambarkan sesuatu seperti itu dengan seenaknya." Ujarnya lagi.
Viena hanya bisa terdiam melihat Anti masuk kembali ke ruangannya. Anti mengatakan dengan jelas mengenai komentarnya pada naskah itu. Sebenarnya tak ada yang salah dari pendapat Anti kecuali satu hal bag Viena, yaitu cara penyampaiannya yang terlalu jujur.
"Ah, dasar nenek sihir." Desis Viena saat Anti masuk ke ruangannya.
Anti kembali duduk di depan komputernya dan mengetik e-mail untuk Josh. Kali ini, Anti tidak bisa membantu temannya itu mendapatkan persetujuan dari bosnya untuk mempublikasikan karya novel detektif terbaru yang dikirimkan Josh. Anti segera mengirimkan e-mail berisi penolakan naskah novel berjudul Mr. E itu. Meskipun, cerita kali ini adalah cerita terbaik Josh menurut Anti.
"Gomen ne." Desis Anti sambil menekan mousenya. "Apa boleh buat, aku tidak mungkin membiarkan mu kehilangan kesempatan. Tapi, kau sendiri tidak ingin disebut sebagai penulis yang hanya menggantungkan harapan pada koneksi, kan?" Ujar Anti sambil melirik foto Josh dan dirinya saat berwisata ke Osaka bersama Steve dan anak laki-lakinya, Junior.
Anti memang berteman akrab dengan Josh. Tapi, sepertinya kata 'teman' itu hanya ada di pikirannya saja. Josh seringkali tidak mau membicarakan masalah pribadinya pada Anti. Tidak seperti wanita yang sudah menjadi editor selama limabelas tahun ini, yang tidak memiliki rahasia apa pun pada Josh. Empatbelas tahun lalu, saat Anti memutuskan untuk memilih inseminasi buatan dan melahirkan seorang anak tanpa menikah, Josh-lah yang membantu wanita ini untuk mendapatkan sperma. Josh adalah orang yang menandatangani form persetujuan untuk Anti agar bisa memiliki anak.
Anti terkadang merasa mereka bukanlah teman seperti yang dipikirkannya. Sejak awal mengenal Josh, Anti selalu merasa Josh yang akan selalu menolongnya. Tapi, Josh tidak mau menerima apapun dari Anti untuk membalas kebaikannya pada Anti. Bahkan, Josh menolak kata terima kasihnya, atau pertolongan balasan yang ingin Anti lakukan untuk Josh. Dalam pemikiran Anti, teman seharusnya saling membantu dan saling peduli satu sama lain. Jika hanya satu orang saja yang terus menerima tanpa memberi, baginya itu tidak terlihat seperti teman.
***
“Apa di rumah baik-baik saja?” Tanya Josh pada Mamanya di ujung telepon.
“Kau tahu, orang dari penerbit mencari mu. Anti juga datang ke rumah kemarin dan hari sebelumnya. Sebenarnya ada apa? Kenapa kau tidak mendatangi kantor penerbit? Apa ada masalah?” Tanya Mamanya segera tanpa mempedulikan pertanyaan sang anak.
“Jangan pikirkan mereka, Ma.” Keluh Josh. “Aku tidak menanyakan soal mereka. Tapi, menanyakan kalian. Apa Papa dan Mama baik-baik saja?” Tanya Josh.
Sang Mama segera membalas dengan suara yang dipaksakan keluar. “Ba..ik.” Ujar Mamanya.
“Kalau begitu ya sudah.” Ujar Josh. “Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menginap di tempat Steve. Mama dan Papa akan baik-baik saja, kan? Sudah dulu ya.” Lanjut Josh mengakhiri pembicaraannya dengan sang Mama.
Josh menaruh ponselnya kembali di atas meja, dan merogoh saku belakang celananya, mengeluarkan dompet yang sudah lusuh dari sana. Josh melirik foto lama yang disimpannya dengan sangat hati-hati di dalam dompetnya. Setiap kali memandangi foto tersebut, Josh merasa ada seseorang yang akan segera datang saat dirinya berteriak meminta pertolongan. Foto Almarhum Kakaknya, yang juga tunangan dari editornya Anti. Di balik foto ada lima lembar kertas yang sudah menguning berisi tulisan tangan Kenta yang terakhir. Josh duduk di pojok kamar Steve seorang diri, dan meletakan lembaran kertas yang disimpannya selama ini di atas kedua belah pahanya yang menekuk. Sudah sekian lama di simpan di dalam dompetnya, tulisan pada kertas mulai terlihat memudar. Namun, Josh masih dapat membacanya dengan pasti. Bahkan, Josh hafal seluruh bagian cerita yang ditulis sang Kakak untuk orang spesialnya itu.
Jika tidak ada Almarhum Kenta Jo, saat ini dirinya pasti tidak akan menjadi penulis novel. Kenta adalah kakak laki-laki Josh yang meninggal limabelas tahun lalu di arena motor saat sedang bertanding. Kenta menjalin kasih dengan Anti saat itu. Di arena pertandingan terakhir sang kakak, mereka bertemu dan berfoto untuk terakhir kalinya. Saat itu, Kenta juga meminta Josh untuk mentranslasikan sebuah cerita pendek ke dalam bahasa Jepang yang ditulis Kenta untuk Anti, yang kebetulan berkuliah bahasa Jepang di tempat yang sama dengan Josh.
Cerita pendek mengenai bagaimana Kenta bertemu dengan Anti, kemudian kencan pertama Anti dan Kenta, dilanjutkan dengan ciuman pertama mereka, lalu pertama kali mereka bertengkar dan mencoba untuk berpisah, hingga pernyataan cinta resmi berupa lamaran bertunangan dari Kenta pada Anti di depan kampus. Hari itu, sebelum Kenta menyelesaikan pertandingannya, Kenta terjatuh dan terlindas motor lain di depan mata Josh dan Anti yang menonton pertandingannya. Anti berteriak histeris saat Kenta terjatuh dan berusaha masuk ke lintasan arena pertandingan. Anti bahkan memukul beberapa petugas yang menghalanginya saat melihat Kenta terlindas motor dibelakangnya yang tidak berusaha menghindari tubuh Kenta yang tergeletak di lintasan.
Saat penuh emosi itu, membuat Josh tersadar betapa Anti mencintai Kakaknya. Hingga saat terakhir Kenta dirawat di rumah sakit, Josh dapat melihat bagaimana cinta tulus Anti pada sang Kakak. Josh juga tahu alasan lain Anti tidak ingin menikah. Selain karena Anti tidak pernah ingin menikah sejak kecil disebabkan traumanya pada pernikahan kedua orangtua Anti, wanita itu juga mengatakan pada Josh bahwa, tidak akan ada pernikahan bagi dirinya jika mempelai prianya bukanlah Kenta.
Saat itu mendengar pernyataan Anti, Josh berpikir bahwa cinta tidak bisa dituliskan di atas kertas, melainkan harus ditunjukan dan dibuktikan dalam kenyataan. Setiap kali memandangi kertas penuh cerita yang ditulis Kenta, yang tidak ditranslasikan Josh untuk Anti hingga detik ini, Josh merasa sesak. Josh tidak bisa mentranslasikan cerita itu untuk Anti, karena takut Anti akan merasa sedih saat membacanya. Josh juga menyembunyikan kertas ini dari Anti, agar wanita itu tidak teringat pada Kenta di saat memulai kehidupan barunya sebagai seorang ibu dari anak hasil inseminasi.
Lamunan panjang Josh membuat Steve yang sejak awal sibuk dengan chattingnya, mulai mengalihkan perhatian pada temannya yang berlutut di pojok kamarnya.
“Apa itu?” Tanya Steve. “Kertas itu lagi.” Desis Steve saat menyadari benda yang digengam erat Josh.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Anti.” Ujar Josh.
“Kenapa dengan editor mu itu?” Tanya Steve. “Sebenarnya itu kertas apa?” Tanya Steve.
“Aku pernah cerita kalau Anti itu adalah calon kakak ipar ku kan?” Tanya Josh.
Steve mengangguk. “Kau bilang, waktu aku kuliah di Australia, kau mengenalkan Anti pada Almarhum kakak mu, lalu mereka melanjutkan hubungan hingga hampir menikah.” Ujar Steve.
“Tiga hari lalu, saat bertemu dengan Anti di kantor untuk mengantarkan naskah novel, aku melihat dia baru saja kembali makan siang dengan seorang pria.” Ujar Josh.
“Lalu?” Tanya Steve yang bingung dengan perkataan Josh.
“Aku kesal padanya.” Ujar Josh lagi.
Steve mengernyitkan keningnya. “Kenapa? Apa editor mu itu tidak biasanya makan siang dengan pria?” Tanya Steve. “Kau menyukai editor mu?” Tanya Steve segera.
Steve selalu menduga Josh menyukai Anti. Sehingga cerita Josh dianggap seperti rengekan cemburu Josh, karena Anti makan siang dengan pria lain.
Josh menatap Steve dengan tatapan kesal. “Aku tidak ada hubungan seperti itu dengannya.” Ujar Josh mencoba meluruskan cerita.
Steve hanya mengangguk, tapi terlihat seperti tidak yakin dengan kata-kata Josh. Josh menghela nafas dan bangkit dari duduknya mendekati Steve.
“Dengar, cerita ku belum selesai.” Keluh Josh.
Steve mencoba mendengarkan kembali Josh. “Baiklah. Teruskan cerita mu.” Ujar Steve.
“Anti tidak pernah makan siang hanya berdua dengan pria lain, selain dengan aku atau anak laki-lakinya. Dia biasanya akan membawa Viena atau asisten lainnya. Dia selalu bilang, wanita akan mendapati dirinya sebagai target gosip saat pergi hanya berdua dengan seorang pria. Jadi, dia tidak pernah mau melakukan hal seperti itu. Tapi, kemarin dia melakukannya.” Ujar Josh.
“Melakukan apa? Hanya makan siang, apa salahnya?” Tanya Steve. “Seperti yang aku bilang kemarin, dia masih cantik dan seksi, pria mana pun bisa saja jatuh cinta padanya. Apa salahnya editor mu berkencan dengan pria lain.” Ujar Steve.
“Itu tidak seperti biasanya saja.” Desis Josh. “Itu sebabnya, tiga hari lalu aku menyangka kalau dia sedang kencan dengan pria itu.” Ujar Josh.
“Jadi? Aku benar kan, kau cemburu?” Tanya Steve.
Josh menghela nafasnya lagi. Sepertinya Steve tidak pernah berhenti mencurigai hubungannya dengan Anti yang diakui mereka hanya sebatas teman sejak kuliah.
“Aku tidak cemburu.” Ujar Josh.
“Lalu, kenapa kau begitu menganggap penting hal seperti itu?” Tanya Steve.
“Dia pernah bilang, kalau bukan dengan kakak ku, dia tidak akan menikah.” Ujar Josh akhirnya.
Steve mengerutkan dahinya dan mencoba mengerti kata-kata Josh. “Lalu?” Tanya Steve. “Berubah pikiran itu hal yang biasa terjadi pada manusia. Apa editor mu itu bukan manusia?” Tanya Steve.
“Ya, manusia memang suka berubah pikiran.” Desis Josh. “Aku mulai merasa, sepertinya aku terlalu egois untuk berharap Anti tidak akan menikah seumur hidupnya.” Ujar Josh.
Steve tertawa kecil. “Anti juga manusia. Setiap manusia membutuhkan seseorang untuk bersandar dan mengeluh sesekali. Apalagi dia wanita yang memang tidak menikah. Sudah empatpuluh tahunan, tidak menikah, kau tidak tahu kalau mungkin saja dia kesepian.” Ujar Steve.
“Tapi, ada Junior yang menemaninya selama ini. Kenapa kesepian?” Pikir Josh sambil bergumam sendiri. “Aku tidak pernah marah pada Anti selama belasan tahun mengenalnya. Tiga hari lalu, aku baru mengatakan hal yang benar-benar buruk dan jahat padanya. Dia pasti masih marah pada ku.” Desis Josh lagi.
“Junior adalah anaknya. Biar bagaimana pun, seorang wanita membutuhkan seorang pria di sisinya.” Desis Steve. “Memangnya apa yang kau katakan?” Tanya Steve.
Josh tidak menjawabnya. Steve menunggu cukup lama agar pria yang dikenalnya sejak Sekolah dasar ini mau bercerita. Josh memang bukan tipe orang yang ingin ber-curhat ria seperti umumnya teman lain yang dikenal Steve. Hal yang biasa jika melihat Josh tidak menjawab pertanyaannya seperti saat ini. Josh menghela nafasnya lagi dan keluar dari kamar Steve tanpa sepatah kata pun.
Ingatan Josh kembali pada saat tiga hari lalu, dirinya menunggu Anti di ruang kerja Anti untuk mengantarkan naskah terbarunya. Saat itu, Anti tertawa berjalan masuk bersama seorang pria yang terlihat lebih muda darinya. Saat menyadari keberadaan Josh di ruangan itu, Anti segera memperkenalkan Josh dengan teman barunya, Edy yang juga penulis muda berbakat, menurut Anti. Josh hanya terdiam saat Anti berbincang dengan Edy sambil bercanda tawa. Josh tetap duduk di kursi yang berada di depan meja kantor Anti, meski Anti mengajak Josh untuk berbincang bersama Edy di sofa yang terletak di belakang ruang kantor Anti. Josh terus memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Edy yang akhirnya pamit dan meninggalkan ruangan Anti.
“Ada apa? Kenapa hari ini seperti mayat hidup? Apa kau tidak bisa lebih ramah sedikit saja pada tamu ku?” Tanya Anti.
Josh tetap terdiam dan tidak bergeming sedikit pun untuk menjawab pertanyaan Anti.
“Ini naskah mu?” Tanya Anti. “Kau baik-baik saja?” Tanya Anti lagi sambil mengarahkan telapak tangannya pada kening Josh, seolah memeriksa suhu tubuh Josh.
Josh menangkis tangan Anti dan menatap wanita itu dengan tatapan kesal. “Kau berpacaran dengan bocah ingusan tadi?” Tanya Josh begitu saja sambil berdiri di hadapan Anti seolah ingin menunjukan bahwa dirinya sedang marah.
“Kenapa jadi bertanya seperti itu?” Tanya Anti. “Edy adalah penulis baru yang akan ku tangani. Bukankah tadi aku sudah mengatakannya?” Tanya Anti lagi.
“Apa kau harus makan siang berdua dengannya? Bukankah kau sendiri yang bilang, kau tidak mau berduaan dengan pria, karena harus menghindari gosip. Kau merasa muak karena sudah banyak gosip sebelumnya tentang mu. Jadi, apa kau dan bocah ingusan itu berkencan, dan kau ingin mengatakannya ke seluruh dunia kalau kalian sedang jatuh cinta?” Pekik Josh.
Anti tertawa sinis dan menghela nafas saat Josh menyentuh kedua bahunya dengan genggaman keras. Tangan Josh yang bergetar memperlihatkan kekesalan dan kemarahan Josh yang tertahan dalam hatinya. Anti segera menatap mata Josh dengan tegas.
“Aku tidak berkencan. Jangan berdelusi.” Ujar Anti segera.
“Kalau begitu, kenapa kau harus makan siang dengan bocah ingusan itu, bercanda seperti tadi. Benar-benar terlihat konyol. Kau ingin semua orang melihat mu dengan bocah itu?” Tanya Josh. “Kau benar-benar ingin dianggap sebagai pelacur?” Tanya Josh.
Pertanyaan Josh seperti menginjak harga diri Anti. Kekesalan Anti tidak kalah dari Josh saat ini. Anti menghela nafasnya lagi, lalu menepis kedua tangan Josh.
“Aku juga manusia biasa, Josh. Aku butuh teman untuk bercerita, teman yang bisa mengerti aku dan bisa menemani ku saat aku membutuhkan orang untuk sekedar menyadarkan ku kalau aku tidak sendirian di dunia ini.” Ujar Anti. “Aku tidak mengerti kenapa kau marah-marah seperti ini. Kalau kau memang sedang begitu sensitifnya, lebih baik hari ini kau menyuruh Steve untuk mengantarkan naskah.” Ujar Anti lagi.
“Kau lebih suka Steve yang mengantarkannya? Apa kau begitu kesepiannya? Kau mengirimkan e-mail yang mengganggu setiap hari untuk ku, sms, telepon, tanpa peduli jam berapa itu, atau apakah aku sedang senggang. Apa semua itu tidak cukup? Apa kau sebegitu kesepiannya?” Tanya Josh. “Apa kau berpikir untuk memiliki suami sekarang?” Tanya Josh lagi.
Anti yang duduk di kursi kerjanya menatap Josh dengan pandangan dingin. Anti seperti kehabisan kata-kata, dan tidak tahu mengapa Josh tiba-tiba marah padanya. Anti mencoba menahan kemarahannya yang tidak ingin dilampiaskannya karena takut perbuatannya itu akan disesalinya nanti. Anti juga tidak ingin merusak hubungan pertemanan mereka selama ini.
“Tidak.” Ujar Anti. “Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan pria mana pun. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak pernah mengkhianati Kenta.” Ujar Anti berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan Josh yang masih terlihat marah. “Aku juga akan berhenti menghubungi mu, kalau itu mengganggu mu.”
Ekspresi Josh seolah tidak percaya dengan kata-kata Anti saat itu. “Benarkah?” Tanya Josh.
Anti mencoba tersenyum kecil. “Aku sudah bilang, bukan? Aku tidak akan menikah kalau mempelai prianya bukanlah Ken.” Ujar Anti yang sebenarnya teringat pada kisah cintanya yang telah usai dengan Pria bernama Kenta, setelah pria itu meninggal dunia.
Josh masih tidak mempercayai kata-kata Anti yang baginya terlihat sedang berbohong. “Kau mengatakan hal itu, hanya agar terlihat setia di depan kakak ku kan? Kenta sudah meninggal dan hal yang biasa jika seorang wanita berpaling pada pria lain. Apalagi kau punya anak, tapi tidak punya suami. Kau hanya akan mengatakan kalau kau ingin memberikan ayah untuk Jun.” Desis Josh tanpa mempedulikan perasaan Anti lagi.
Anti merasa kesal dan tidak bisa menerima perkataan Josh yang seolah menghakiminya sebagai seseorang yang berpura-pura terlihat baik dan setia. Anti menekan kedua rahangnya yang nyaris memaki pria yang baru saja merusak moodnya hari ini. Pria ini bahkan sudah merendahkannya tanpa alasan yang jelas, ketika Anti berusaha menundukan kepala menghormati hubungan pertemanan mereka.
“Aku memang tidak punya suami.” Ujar Anti sambil menatap tajam pada Josh.
Josh sepertinya baru menyadari kalau perkataannya sudah keterlaluan, dan menyakiti perasaan Anti. Josh terdiam tanpa bisa mengatakan apa-apa.
“Aku memang tidak punya suami.” Ulang Anti. “Maaf kalau aku begitu mengganggu. Mulai sekarang, kita tidak perlu saling berhubungan, kecuali untuk pekerjaan. Kau hanya perlu mengabaikan ku saat aku mengirim berita mengenai Jun, atau hal lain yang bersifat pribadi.” Ujar Anti. “Tidak. Salah.” Anti menggelengkan kepalanya sendiri dan menghela nafas untuk kesekian kalinya. “Aku tidak akan mengganggu mu, dan kau tidak perlu takut kalau aku akan berubah pikiran masalah pernikahan.” Ujar Anti lagi.
“Anti...” Desis Josh yang serba salah.
Josh menyesal sudah melepaskan emosinya begitu saja. Anti bukanlah orang yang bisa berubah begitu saja. Josh menyadari kalau dirinya telah melakukan kesalahan dengan menuduh Anti akan berkhianat pada kata-katanya sendiri untuk tidak menikah. Josh bahkan mengeluarkan kata-kata kasar dan menghina Anti. Sekarang, Anti balik marah padanya. Anti pasti melakukan apa yang dikatakannya seperti selama ini, dan hal itu membuat Josh takut. Josh merasa takut, kalau suatu saat Anti akan memutuskan hubungan pertemanan mereka.
“Keluarlah kalau sudah tidak ada urusan lagi. Aku akan meminta Viena menghubungi mu kalau naskah mu disetujui oleh bos.” Ujar Anti sambil membuka beberapa lembaran naskah lain yang sudah ada sejak tadi di atas mejanya.
Anti berusaha tidak memperlihatkan kemarahannya. Tapi, ini justru yang ditakutkan Josh. Saat Anti berubah menjadi wanita dingin yang tidak memiliki senyum sama sekali. Anti akan jadi terlihat menyebalkan dan membuat orang marah dengan wajah dinginnya itu, tanpa harus melakukan hal lain untuk membuat orang yang melihatnya kesal. Selama ini, Anti tidak pernah melakukan hal itu pada Josh. Cukup satu kali saja Anti marah. Siapa pun yang membuatnya kesal maka akan diperlakukan dengan dingin oleh wanita itu, dan mereka yang diperlakukan seperti itu  akan merasa kesal dan tak berdaya. Josh sering melihat Anti seperti itu pada beberapa orang lain, tetapi tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh Anti.
Josh kembali berpikir entah bagaimana dia menghadapi Anti kalau mereka bertemu lagi. Anti memang menghubunginya berulang kali sejak dua hari lalu. Tapi, Josh tidak tahu harus bicara apa saat dia menerima telepon dari editornya itu. Akhirnya, Josh memutuskan untuk mengabaikan telepon itu. E-mail dan SMS yang masuk ke ponselnya pun tidak di balas oleh Josh. Baru saja e-mail dari kantor Anti masuk ke inbox Josh. Josh memutuskan untuk membacanya.
“Apa itu e-mail dari Anti?” Tanya Steve. “Apa isinya?”
“Dia bilang naskah ku ditolak untuk naik cetak.” Ujar Josh sambil membaca e-mail dari kantor penerbit buku yang selama ini menerbitkan novel karyanya.
“Apa?” Tanya Steve. “Ditolak? Kau yakin tidak salah baca?” Tanya Steve lagi.
Josh menunjukkan e-mail yang dibacanya dari layar ponselnya. “Kau baca saja sendiri.” Ujar Josh sambil menyodorkan Ponselnya pada Steve.
“Apa mereka tidak salah? Ini karya mu yang paling bagus menurut ku. Anti juga berpikir sama waktu kau memberikan plot awalnya kan? Tapi, kenapa harus ditolak kalau masalahnya hanya tidak ada cerita cinta dalam novel mu?” Tanya Steve. “Atau, jangan-jangan ini karena hal yang terjadi tiga hari lalu.” Tebak Steve.
“Anti bukan orang seperti itu.” Ujar Josh.
“Aku kan sudah bilang. Anti itu manusia juga. Dia pasti sudah berubah.” Ujar Steve. “Kenapa kau begitu yakin dia tidak akan menolak naskah mu setelah kau meributkan masalah dia berkencan dengan penulis lain?” Tanya Steve.
“Dia tidak akan seperti itu.” Ujar Josh. “Pekerjaan adalah hal yang berbeda dengan kehidupan pribadi untuk Anti.” Ujar Josh.
“Dia kan wanita. Sama seperti wanita lain, terkadang wanita tidak menggunakan logikanya melainkan mendahulukan perasaannya.” Ujar Steve.
“Dia memang wanita. Tapi, dia bekerja seperti seorang pria.” Ujar Josh akhirnya. “Wanita.” Desis Josh lagi.
“Kenapa? Kau baru sadar kalau Editor mu itu juga seorang wanita?” Tanya Steve.
“Tapi, aku tahu dia tidak akan menolak naskah ku begitu saja, hanya karena masalah pribadi.” Ujar Josh dengan yakin.
Steve hanya menganggukan kepalanya seolah mengerti. Walaupun, dalam hatinya Steve tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Josh. Bagi Steve, semua wanita sama seperti wanita lain yang dikenalnya. Tidak ada wanita yang akan menggunakan logika lebih dahulu kalau perasaannya sudah bicara. Steve yakin, ada sesuatu yang besar terjadi pada Josh dan Anti tiga hari lalu. Menurut Steve, hal itulah yang pastinya menjadi penyebab hari ini Anti menolak naskah Josh.
***
Anti dan Viena bergegas merapihkan beberapa naskah yang terpilih untuk naik cetak bulan ini. Viena melirik naskah yang ditulis teman dekatnya yang tergeletak di atas meja Anti. Entah mengapa tangannya membawa naskah itu bersamaan dengan naskah lain dan mengantarkannya ke meja meeting. Bos besar mereka sudah menunggu di dalam ruang rapat dengan sekertarisnya yang setia mendampinginya selama duapuluh empat jam. Hal itu dikarenakan mereka adalah suami-istri yang tidak memiliki anak.
“Ini semuanya? Hanya lima saja?” Tanya bos besar mereka.
“Pak Tedja, maaf seharusnya hanya empat.” Ujar Anti sambil melirik Viena yang tadi mengangkat tumpukan naskah.
Pria tua itu menghitung lagi jumlah tumpukan naskah yang ternyata tetap terdiri atas lima naskah. Bos besar mereka itu mengerutkan dahinya dan memandangi Anti.
“Kau tidak bisa berhitung, yaa? Atau karena terlalu banyak membaca, kau jadi tidak bisa berhitung?” Tanya Pak Tedja dengan gaya gamblangnya seperti biasa.
“Benar kok hanya empat.” Ujar Viena segera menarik sebuah naskah yang dilihatnya paling atas. Dia yakin itu adalah naskah temannya yang dikomentari jelek oleh Anti.
“Itu naskah yang ditolak. Kau membawanya juga?” Bisik Anti.
“Maaf.” Ujar Viena sambil mencoba menjauhkan naskah itu dari tumpukan lainnya.
Pak Tedja melihat ke arah naskah itu sekali lagi dan menatap Anti yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Lalu menghela nafasnya lagi sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi ruang rapat yang di dudukinya.
“Kenapa sepertinya kau masih memberi harapan pada karya tulis itu?” Tanya Pak Tedja.
Anti melirik Viena sekali lagi dengan tatapan kesal. “Itu bukan naskah penulis yang biasa bekerjasama dengan kita.” Ujar Anti.
“Apa naskah itu menurut mu menarik?” Tanya Bu Tedja yang melihat perubahan wajah Viena yang menunduk dengan wajah pucat.
“Ti..tidak. Bukan begitu.” Ujar Viena dengan gugup.
“Bagaimana mungkin kau membawa naskah yang sudah ditolak editor ke ruangan ini. Kau meragukan penilaian Anti?” Tanya Bu Tedja.
Viena semakin tidak bisa menjawab pertanyaan sekertaris bos besar perusahaan publishing itu. Anti segera menghela nafas dan mencoba menengahi.
“Naskah itu tidak benar-benar buruk.” Ujar Anti. “Aku hanya tidak menyukai penggambarannya yang terlalu didasarkan pada khayalan saja.” Terang Anti lagi.
“Maaf.” Desis Viena pada Anti lagi.
“Jadi, kau membaca naskah ini dan menganggap naskah ini tidak begitu buruk.” Desis Pak Tedja sambil menganggukan kepalanya berkali-kali. “Lalu, kenapa kau tidak menghubungi penulisnya dan meminta dia memperbaiki cerita yang kau anggap hanya berdasarkan khayalan?” Tanya Pak Tedja.
“Ini adalah cerita ber-genre cinta. Tapi, penulisnya menggambarkan adegan dengan berdasarkan khayalan saja. Pembaca tidak akan bisa membayangkan khayalan aneh yang kekanakan seperti cerita yang ditulis temannya ini.” Ujar Anti lagi. “Kau tahu kan pak, belakangan ini pembaca menuntut banyak dari penerbit untuk menerbitkan cerita yang tidak membuat mereka merasa rugi sudah mengeluarkan sejumlah uang dan waktu mereka.”
Pak Tedjo dan Bu Tedjo tersenyum sambil berpandangan sesaat. “Aku tahu kau penulis dan Editor berbakat yang dapat diandalkan di perusahaan ini. Aku yakin, kau bisa membantu penulis lain untuk bisa diharapkan seperti mu.” Ujar Pak Tedjo.
“Aku tidak ada waktu untuk mengurusi semuanya itu.” Ujar Anti dengan segera. “Penulis naskah ini adalah penulis amatiran yang hanya mem-posting karyanya di blog pribadi. Aku tidak mungkin membantu orang yang terlihat tidak pernah mengalami cerita cinta dalam hidupnya untuk menulis cerita cinta.” Jelas Anti.
“Kau pasti bisa membantu mereka.” Ujar Bu Tedjo.
“Mereka?” Ulang Anti.
“Yang dimaksudkan adalah Josh dan penulis naskah baru itu.” Ujar Pak Tedjo. “Kau pernah membantu Josh sebelumnya untuk menulis novel. Kau pasti bisa membantu keduanya sekarang ini. Sama seperti waktu karya pertama Josh, kau pasti berhasil mengorbitkan dua penulis baru untuk perusahaan seperti lima belas tahun lalu.” Lanjut Pak Tedjo.
Anti menghela nafasnya. Wanita ini tidak tahu harus mengatakan apa untuk menolak permintaan bos besarnya itu. Viena sendiri hanya bisa tertunduk malu sepanjang meeting. Saat rapat berakhir, Viena hanya berani mengikuti Anti dari belakang tanpa mengatakan sepatah kata pun. Anti terlihat kesal dan seperti akan menelan Viena hidup-hidup. Hal itu membuat langkah Viena terhenti di depan ruangan atasannya itu. Anti berbalik sambil melemparkan naskah yang diberikan Viena pagi tadi ke atas meja kerjanya.
“Apa kau sudah gila?” Pekik Anti pada Viena. “Kenapa belakangan ini pekerjaan mu sering tidak bisa diterima akal sehat ku?”
“Maaf.” Ujar Viena yang tetap menunduk.
“Besok kau panggil teman mu itu ke kantor. Atur agar pertemuan ku dengan Edy bisa pindah ke lain hari. Jangan lupa untuk menghubungi percetakan agar mereka mengirim sample keempat buku itu. Malam ini pergi kesana untuk melihat pembuata sample.” Ujar Anti akhirnya. “Ingat, tidak boleh bekerja seperti sambil melamun begitu lagi. Kau bahkan tidak bisa mengatakan apa-apa untuk bertanggung jawab selain maaf.”
Viena hanya tertunduk tak berani menjawab Anti yang marah besar. Ini adalah hal yang biasa diterima Viena selama Tujuh tahun bekerja untuk Anti. Bahkan, menurut Viena kemarahan Anti lebih mengerikan dari biasanya. Karena hari ini Anti tidak melemparnya dengan kertas naskah, atau memaki dengan kata-kata kasar. Viena lebih memilih menerima kemarahan Anti daripada melihat Anti yang bisa berubah jadi cuek padanya.
“Aku bahkan tidak bisa mengharapkan mu untuk ke percetakan malam ini.” Desis Anti. “Kau pulang duluan saja. Biar aku yang ke percetakan.” Ujar Anti sambil menarik jaket hitam yang menggantung di sandaran kursi kerjanya.
Viena benar-benar merasa semakin ketakutan. Entah bagaimana besok pagi Anti akan mendiamkannya seperti pertama kali Viena berbuat kesalahan besar. Viena tidak mau Anti melakukan aksi diamnya seperti waktu itu lagi. Butuh waktu dua tahun untuk mengembalikan kepercayaan Anti padanya jika Viena sudah melakukan kesalahan besar seperti apa yang dilakukannya hari ini.
“Aku benar-benar menyesal.” Ujar Viena akhirnya. “Aku tidak akan salah membawa naskah lagi.” Lanjut Viena saat Anti mencoba melewatinya yang berdiri di depan pintu ruangan, menghalangi langkah Anti yang akan keluar.
“Tidak perlu mengatakan apa-apa lagi.” Ujar Anti. “Ayo ke percetakan.” Ujar Anti akhirnya.
Viena terkejut untuk beberapa saat mendengar kata-kata Anti. Atasannya itu tidak marah dan memakinya, tapi justru mengajaknya pergi ke percetakan bersama. Viena segera tersenyum dan mengangguk dan memberi Anti jalan untuk keluar. Viena mengikuti Anti dari belakang dengan wajah gembira. Entah kenapa Anti tidak seperti biasanya. Tapi yang jelas, Viena merasa Anti yang saat ini jauh lebih baik daripada Anti pemarah yang suka membentaknya.
***
Pagi ini seperti hari sebelumnya, Cleo sendirian di dalam kamarnya dan memandangi comment dari pembaca yang mengunjungi blognya setelah semalam dia meng-update cerita. Seperti biasa Comment pertama yang muncul adalah comment dari chipo_anzai yang tertulis, "Tulislah yang sesuai dengan kenyataan. Jangan hanya berkhayal."
“Dia lagi.” Keluh Cleo. “Siapa sih ini orang? Dia bahkan tidak mengijinkan orang mengakses blognya, tapi berani mengomentari orang seperti ini. Benar-benar mengesalkan.” Keluh Cleo.
Cleo kembali menghapus komentar itu dari blognya seperti biasanya. Cleo segera mematikan komputernya dan menarik handuk di sandaran kursinya. Cleo bersiap untuk mandi dan membersihkan dirinya setelah dua hari tidak mandi. Sejenak Cleo menatap ruangan kamar mandi di kamarnya yang terbuka di depannya.
“Hanya mandi, kenapa harus merasa takut.” Desis Cleo pada dirinya sendiri.
Cleo masuk ke dalam kamar mandinya. Namun, tangannya tidak ingin menutup pintu kamar mandi itu. Akhirnya Cleo teringat lagi tentang masa kecilnya. Mamanya seringkali mengurungnya di dalam kamar mandi hanya karena kesalahan kecil. Hali itulah yang membuatnya hingga hari ini tidak berani menutup pintu atau jendela di ruangannya. Setiapkali mencoba menutup pintu atau jendela rasa sesak di dadanya membuatnya kesulitan bernafas. Cleo membiarkan pintu kamar mandinya setengah terbuka, lalu mulai membuka bajunya. Wanita tigapuluh tahun ini juga tidak tahu sampai kapan dia takut pada ruangan yang tertutup. Sudah berkali-kali dirinya bersumpah dalam hati, suatu hari nanti saat dia memiliki anak, dia tidak akan membiarkan anak itu dikurung. Karena Cleo tidak ingin anak itu menjadi penakut seperti dirinya. Selain itu, ketakutan itu sulit sekali untuk dihilangkan olehnya. Hal itu membuat Cleo kembali mengumpat Mamanya sendiri.
“Kenapa kau harus melakukan hal ini kepada ku? Apa kau itu mama kandung ku?” Tanya Cleo. “Apa anak kecil yang mengompol di malam hari itu, harus mendapatkan hukuman kurungan? Apa aku ini narapidana? Kenapa dulu harus mengurung ku? Aku jadi takut pintu itu tidak akan terbuka lagi seperti saat itu. Aku kedinginan. Aku lapar. Aku haus.” Cleo mulai menangis di bawah pancuran air yang mengalir dari shower-nya.
Cleo mencurahkan seluruh kekesalannya pada sang Mama, sambil terus menggosok tubuhnya, dan membersihkan seluruh tubuhnya. Jika orang lain tahu apa yang dilakukannya. Maka, orang lain akan menganggapnya semakin aneh. Atau, mungkin mereka menganggap Cleo sudah gila.
Sebuah nada dering sayup-sayup terdengar dari kamar Cleo. Cleo segera berlari dengan hanya melilitkan handuk, menggapai smartphone yang tergeletak di atas meja di dalam kamarnya. Cleo tidak memperhatikan dua pasang mata memperhatikannya dari balkon kamar anak tetangganya.
“Halo?” Ujar Cleo begitu mendekatkan smartphone-nya ke arah telinga.
“Ini aku.” Bisik Viena dari ujung sambungan telepon.
“Oh, kenapa Vi?” Tanya Cleo sambil melirik cermin yang tergantung di dinding depan meja tempatnya berdiri.
“Jam satu siang ini, editor ku menunggu mu di kantor. Editor ku ingin membicarakan masalah naskah yang waktu itu kau tulis.” Bisik Viena lagi.
“Apa naskahnya diterima?” Tanya Cleo dengan senyum lebar di depan cermin.
“Kau datang saja dulu.” Ujar Viena dengan suara sekecil mungkin. “Jangan lupa, jam satu siang ini, dan jangan telat.” Ujar Viena.
“Baiklah. Aku harus memakai baju seperti apa?” Tanya Cleo sambil bergaya di depan cermin dengan banyak ekspresi di wajahnya.
“Tidak penting.” Ujar Viena. “Yang pasti, kau datang jam satu tanpa terlambat.” Viena menekankan kembali waktu di mana Cleo harus datang.
“Sip.” Ujar Cleo sambil mengarahkan jempolnya ke arah cermin seolah memberi isyarat ‘bagus’ pada dirinya sendiri.
“Jam satu.” Ulang Viena menutup pembicaraan mereka.
Cleo segera meloncat kegirangan, dan menari dengan gembira di depan cermin kamarnya tanpa memperhatikan sekeliling. Cleo bahkan tidak peduli dengan apa yang dipakainya saat ini, dan mulai loncat di atas ranjangnya.
Steve dan Josh yang sejak tadi memperhatikan wanita itu terkikih dan mencoba menahan suara tawa mereka. Cleo yang terus menerus menari tak jelas itu sudah seperti hiburan tersendiri untuk mereka berdua. Mereka sepertinya akan menjadikan balkon kamar Steve sebagai tempat favorit baru. Setidaknya tingkah wanita aneh yang tinggal di rumah sebelah itu bisa sedikit menghibur mereka, dan membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.
“Apa setiap wanita seperti itu ya, saat di kamar mereka?” Pikir Steve.
“Di luar, mereka akan terlihat menjaga image mereka, tapi di kamar mereka bisa melakukan apa pun. Dulu, aku juga pernah melihat wanita seperti itu.” Ujar Josh.
“Oh ya? Apa ada wanita yang dekat dengan mu sampai kau bisa melihat kamar dan tingkahnya saat di kamar?” Tanya Steve.
“Anti tidak melakukannya hanya di kamar. Dia akan sibuk berjoget sendiri di kampus. Dia akan melakukan apapun yang dia mau.” Ujar Josh lalu menghela nafas. “Dia bahkan dijuluki si-gila di kampus dulu. Siang hari saat tidak ada dosen, dia akan bermain ‘Daruma san ga koron da’, atau petak umpet seperti anak kecil. Terkadang dia akan tidur di pojok kelas saat mata kuliah kewarganegaraan. Saat iseng, dia akan bernyanyi bersama beberapa teman lainnya seperti sedang ada di karaoke centre.” Cerita Josh.
“Wah, kau mengatakannya seperti hal itu baru kemarin terjadi.” Ujar Steve.
“Aku baru sadar.” Desis Josh lagi. “Hal itu yang membuat kakak ku jatuh cinta padanya.” Lanjut Josh.
“Mungkin hal itu juga yang membuat mu, ... falling in love....” Ujar Steve seperti sedang bernyanyi.
Josh segera mengapit kepala Steve dengan sebelah tangan, lalu menekan kepalan tangannya pada kepala Steve. Steve mencoba menghindar dan mereka mulai seperti anak kecil, berlarian di sekeliling kamar. Cleo yang mendengar suara Steve yang antara seperti sedang bernyanyi dan berteriak, melirik balkon kamar tetangganya itu. Melihat Steve dan Josh berlarian lalu saling menindih membuat khayalan liar Cleo bangkit.
“Apa mereka itu Yaoi (gay dalam bahasa Jepang)? Sepertinya si-kurus, anak tetangga itu yang sheme, dan uke-nya adalah pria yang satunya lagi.” Ujar Cleo sambil manggut-manggut sendiri.
***
Anti berjalan ke arah pasar tempat Josh biasanya membantu kedua Orangtua angkatnya untuk berjualan. Wanita itu berharap, pagi ini dia dapat menemui Josh untuk membujuknya agar memasukan cerita cinta dalam novelnya. Meskipun, sebenarnya Anti tidak tahu harus melakukan apa agar Josh mau mendengarnya. Anti sendiri memutuskan hanya ingin menjalin hubungan kerja dengan Josh. Setelah kejadian tiga hari lalu, Anti yakin kalau Josh tidaklah bisa untuk dijadikan teman. Pria itu membuatnya kesal belakangan ini. Josh mungkin sudah berubah, tidak seperti Josh yang dulu Anti kenal. Setidaknya, Josh yang dulu dikenal Anti adalah Josh yang akan mendengarkannya walaupun di awal marah padanya. Josh juga tidak akan memarahinya begitu saja tanpa alasan, atau menyalahkannya tanpa bukti. Josh juga bukan tipe teman yang akan berkata kasar padanya bahkan saat marah sekalipun.
Tapi, Anti tidak menyerah untuk meminta Josh sekali lagi memikirkan masalah menulis cerita cinta meskipun hanya bagian kecil dalam novelnya. Anti akhirnya sampai pada sebuah toko besar yang dikenalnya sebagai tempat Orangtua Josh berjualan segala macam barang, seperti layaknya kebanyakan toko yang dimiliki orang-orang keturunan Cina. Entah mengapa hari ini situasinya terlihat janggal dan tidak memungkinkan untuk Anti memasukinya, bahkan cenderung menyeramkan. Beberapa petugas berpakaian cokelat muda memblokir jalan di depan toko. Beberapa dari mereka melempar keluar barang-barang dari dalam toko. Pegawai toko terlihat ketakutan saat diseret beberapa orang berpakaian sama. Mereka segera menarik dua orang yang familiar bagi Anti. Keduanya dilempar ke jalanan begitu saja seperti barang yang juga dilemparkan dari dalam. Mereka menangis berpelukan dan meminta tolong agar toko itu tidak ditutup. Tapi, percuma saja, beberapa petugas itu menggeser rolling-door dan menggembok pintu itu. Sebuah surat segel diberikan pada pasangan tua itu, dan gembok itu pun disegel oleh petugas.
Anti terus mencoba mendorong petugas yang ada di depannya, berusaha untuk berlari ke arah dua Orang tua yang masih terlihat menangis histeris. Anti merasa dadanya sesak saat melihat kedua orang itu diperlakukan begitu kasarnya, di depan matanya, tapi tidak ada hal yang bisa dilakukannya kecuali berteriak memanggil mereka. Sekilas Anti melihat seperti ada sesosok orang yang sangat dikenalnya berdiri di belakang pasangan tua itu menatapnya dengan pandangan sedih. Pria yang dicintainya sejak dulu hingga sekarang itu seperti nyata hadir di sana berteriak meminta pertolongannya.
“Anti, tolong ....” Kira-kira itu kata yang dikatakan pria itu.
Pria itu terlihat menangis dan memandangi kedua Orang tua itu, lalu menghilang dari sana begitu saja. Bayangan itu menghilang tepat saat petugas membiarkan Anti melewatinya. Anti tersadar saat mendapati hanya pasangan tua yang diusir keluar dari tokonya itu yang bersimpuh menangis di atas aspal jalanan. Melihat Kenta berdiri di sana, meminta tolong, dan menangis melihat kedua orangtuanya diperlakukan dengan buruk oleh petugas itu, memang hanya delusi Anti saja. Anti tersadar saat tangan wanita tua yang menangis di depannya meraih celananya dan menangis sejadi-jadinya.
“Tante, ...” Ujar Anti sambil bersimpuh di depan keduanya.
Anti tidak tahu harus berkata apa. Anti membiarkan wanita tua itu memeluknya dengan erat, sambil menangis keras. Pria tua itu menangis menatap Anti dengan mata penuh kesedihan yang pernah dilihat Anti saat anak tunggal mereka meniggal di arena pertandingan balap motor itu. Anti mencoba menahan air matanya yang sebentar lagi sepertinya akan mengalir begitu saja. Wajahnya panas dan nafasnya mulai tersengal-sengal ketika seorang petugas kembali dengan tampang seramnya berkata, “Toko ini sudah jadi milik bank. Kalian tidak punya hak lagi berjualan di sini.” Ujar Petugas itu, lalu pergi dari sana.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kedua Orang tua itu sepanjang perjalanan mereka. Dari barang yang di bawa mereka, Anti dapat menduga kalau mereka sudah tidak tinggal di rumah mereka lagi. Dua buah koper dan sebuah tas besar yang sepertinya berisi pakaian itu tidak hentinya dipandangi pria tua yang duduk di bangku belakang mobil yang dikendarai Anti. Anti membawa keduanya ke rumah pribadinya, dan tidak tahu harus melakukan apa. Setelah Anti meletakan koper dan tas itu di salah satu kamar kosong, Anti menarik gagang telepon sambil meminta pembantunya untuk menyiapkan kamar untuk keduanya.
“Bi, tolong siapkan kamar dan buatkan teh untuk om dan tante.” Perintah Anti pada pembantunya yang segera melaksanakan tugasnya itu.
“Jangan.” Ujar Wanita tua itu pada Anti.
“Josh harus tahu mengenai ini Tante.” Ujar Anti.
“Kau tidak mengerti.” Ujar Pria tua yang sejak tadi duduk di sofa dengan tatapan kosong. “Josh, bukan anak kandung kami. Kami tidak bisa membiarkan dia menanggung kesalahan kami.” Ujar pria tua itu lagi sambil menatap Anti.
“Kalau Josh tahu, dia akan berusaha membantu kami. Walaupun dia tidak bisa, dia tetap akan ngotot membantu kami. Dia belum menikah sampai sekarang juga, karena dia belum bisa meninggalkan kami. Kami tidak bisa melakukan ini.” Ujar orang yang Anti panggil dengan sebutan Tante itu.
“Josh pasti akan pulang mencari kalian. Bagaimana kalau saat dia pulang, kalian tidak ada di sana dan dia mendengar hal buruk terjadi pada kalian? Apa kalian pikir Josh tidak akan tahu selamanya?” Tanya Anti yang tetap berusaha menghubungi Josh.
Kedua Orang tua itu hanya bisa berpandangan dan menunduk sedih. Mereka tertipu oleh orang dan harus kehilangan rumah serta toko mereka. Sekarang Keduanya tidak merasa punya harga diri untuk bertemu dengan putra angkat mereka yang sudah sejak kecil dirawat mereka. Anti tidak menyerah untuk menghubungi Josh yang tetap tidak mau menerima panggilan teleponnya. Pasangan tua itu berpandangan sekali lagi saat menyadari Anti sudah mencoba menghubungi Josh, putra mereka untuk kesekian kalinya.
“Percuma.” Ujar Wanita tua itu. “Josh memang sengaja menghindari mu. Kau pasti tahu itu. Tidak mungkin dia mengangkatnya.”
Anti tidak peduli dengan kata-kata yang di dengarnya. Wanita itu tetap berusaha menghubungi Josh meskipun suara yang di dengarnya tetap sama. Suara yang menyatakan nomor yang dihubunginya tidak aktif atau berada di luar area servis itu tidak menghentikan Anti untuk terus me-redial Josh berulang kali, dengan harapan Josh entah dengan sengaja, atau mungkin tidak sengaja menekan tombol ‘yes’ atau tombol berwarna hijau yang ada pada ponselnya.
Setelah meminta kedua Orang tua itu untuk beristirahat di kamar, akhirnya Anti memutuskan untuk mengirimkan pesan dari ponselnya dengan nomor pribadi yang biasa dipakainya untuk menghubungi Josh jika ada masalah pribadi. Di luar dugaan, pesan terkirim dengan cepat. Anti mulai berjalan kesana-kemari, gelisah menunggu balasan SMS dari Josh. Beberapa menit kemudian, Josh membalas SMS tersebut dengan singkat.
“Aku kesana sekarang.” Itu yang ditulis oleh Josh.
Anti tersenyum menatap layar ponselnya dan kembali duduk menanti kedatangan Josh. Anti bahkan tidak ingat akan ada janji untuk bertemu dengan penulis baru di kantornya siang ini.
***
Cleo segera merapihkan kemejanya dan menutup pintu lemari yang menghalangi pandangan luar untuk melihatnya saat berganti pakaian. Rambut se-bahu-nya di sisir dengan tangan, dan di rapihkan kembali dengan sisir yang baru ditemukannya di bawah tumpukan bantal di atas ranjangnya. Cleo menarik tas kecilnya, dan memasukan dompetnya yang sempat menyembul keluar dari bukaan atas tasnya. Hari ini, Cleo merasa seperti ada bunga sakura yang berjatuhan perlahan di sekitarnya, sebagai tanda musim semi di hatinya. Sejak menerima kabar dari Viena, Cleo tak henti-hentinya tersenyum ceria. Dalam khayalannya, seseorang akan memanggilnya di pinggiran jalan dan menanyakan namanya.
“Ya, aku adalah Cleo. Apa kabar? Kau mau minta tanda tangan? Aku akan menandatanganinya. Wah, ini buku terbaru ku. Apa kau menyukai ceritanya?” Cleo sibuk mengoceh entah kepada siapa sambil berakting seolah sedang menyapa penggemarnya.
Mungkin hal seperti khayalannya akan terjadi setelah dirinya menjadi penulis terkenal. Cleo menari-nari dengan riangnya tanpa peduli pada sekitarnya. Wanita yang sudah kepala tiga, alias berusia tigapuluh tahun itu tidak hanya mengkhayal saat bertemu penggemarnya saat dia terkenal nanti. Tapi, Cleo juga membayangkan saat dirinya diminta untuk wawancara seperti penulis terkenal lainnya. Cleo duduk di atas meja tempat komputernya yang masih menyala itu berada, lalu mulai mengambil sisir dan berlagak seperti seseorang yang sedang diwawancarai.
“Aku memang menulisnya untuk Jun Matsumoto. Aku membayangkan Matsumoto-san saat aku menulisnya. Tentu saja, tokoh utama wanitanya adalah aku. Maksud ku, saat menulisnya aku membayangkan tokoh utama wanitanya adalah aku. Kau juga salah satu penggemar ku? Ah, kau membuat ku malu. Aku memang terkenal. Hahahaha....” Cleo tertawa terbahak-bahak saat membayangkan apa yang terjadi jika dia diwawancarai ketika novelnya laris di pasaran bak kacang goreng.
Cleo akhirnya berhenti tertawa saat menyadari jam dindingnya sudah menunjukan pukul sepuluh lewat. Cleo segera menarik flashdisk yang menempel di komputernya setelah itu mematikan komputernya, dan melangkah keluar kamarnya.
Di balkon kamarnya, Steve hanya bisa tertawa sampai perutnya merasa sakit karena sejak tadi menertawakan aksi Cleo yang terlihat di kamarnya, di seberang balkon kamar Steve. Sementara, Josh dengan segera menarik kunci motornya dan keluar dari kamar Steve.
“Aku pinjam motor mu.” Ujar Josh saat itu sambil menuruni anak tangga.
“Kau mau kemana?” Tanya Steve yang mengejar Josh turun ke lantai dasar rumahnya.
“Urgent.” Ujar Josh sambil mencari helm di lokasi biasanya Steve menaruh helm. “Di mana helm?”
Steve menarik kunci motornya dari tangan Josh. “Motor ku tidak bisa di pakai. Nanti sore aku ada kencan. Gunakan saja mobil ku.” Ujar Steve sambil mengganti kunci motor yang tadi ada di tangan Josh dengan kunci mobil.
“Ayolah, kali ini saja.” Bujuk Josh. “Aku harus secepatnya ke rumah.” Ujar  Josh.
“Pakai mobil saja.” Ujar Steve lalu naik ke lantai atas lagi.
“Kau tahu kan, Jakarta macet sekali. Kali ini saja.” Rengek Josh.
Steve hanya melambaikan tangannya dan masuk ke kamarnya, menghilang dari pandangan Josh pada anak tangga terakhir di atas. Josh memandangi kunci di tangannya. Sudah tidak ada pilihan lain. Josh segera membuka pintu depan rumah Steve dan berlari membuka gerbang rumah Steve seorang diri. Pembantu Steve baru saja datang dan membantu Josh beberapa saat kemudian untuk menutup gerbang itu.
Josh segera mencari celah pada setiap kali dia menemui jalan yang padat merayap. Perasaannya kacau saat ini. Awalnya, melihat SMS yang dikirimkan oleh Anti dari nomor pribadinya, membuat Josh berharap temannya itu akan mengatakan akan melupakan kata-kata Josh yang kasar karena mereka teman, atau sekedar SMS rengekan Anti yang sedang bercerita mengenai betapa menyebalkannya hari ini. Tapi, berita mengejutkan dari Anti membuat Josh merasa ‘beku’. Mendengar berita bahwa Orangtua Josh telah ditipu orang dan selama ini menyembunyikan permasalahan ini darinya, membuat Josh kesal, marah, dan tentunya sedih. Josh tidak dapat menerima kenyataan bahwa selama ini Orangtuanya menyembunyikan masalah besar darinya. Terlebih lagi harus menerima kabar ini dari Anti, yang dianggap sebagai orang ‘luar’ di keluarganya.
Josh berusaha secepat mungkin untuk sampai ke rumah Anti dan menemui kedua Orangtuanya yang mungkin sedang shock dan depresi. Anti sudah menunggunya di depan rumah saat Josh masuk ke komplek perumahan tempat di mana Anti tinggal. Tanpa banyak bicara, Anti membuka pintu rumahnya dan berjalan mendahului Josh yang baru saja tiba.
“Mereka di kamar bawah.” Ujar Anti sambil menunjuk pintu kamar yang memang satu-satunya terletak di lanati dasar rumah itu.
Josh mengangguk dan segera mengetuk pintu kamar itu, lalu masuk ke dalam kamar setelah Mamanya membukakan pintu. Anti tidak berencana untuk mengikuti Josh masuk ke dalam, karena dirinya menyadari betul posisinya sebagai orang ‘luar’ keluarga itu. Anti hanya duduk di sofa ruang tengah, menunggu hasil pembicaraan Josh dengan Orang tuanya. Anti terdiam menatap foto yang dikeluarkannya dari dompetnya. Gambar yang sama dengan yang ada pada foto yang disimpan Josh dalam dompetnya itu. Di dalam foto terakhir yang diambil pada pertandingan terakhir yang diikuti Kenta saat itu ada Kenta, dirinya dan Josh yang berpose saling merangkul satu sama lain. Kata-kata Kenta saat itu seperti rekaman suara yang terdengar sayup-sayup di telinga Anti.
“Aku mencintai mu.” Bisik Kenta saat itu.
Anti tersenyum mendengar pernyataan cinta Kenta yang nyaris setiap hari didengar olehnya. Kenta mengarahkan kamera polaroidnya ke atas dan mengajak Anti serta Josh untuk berfoto bersama. Dua kali kamera itu mengeluarkan blits-nya dan dua lembaran foto polaroid keluar dari dalam kamera itu. Anti mencoba berfoto sekali lagi dan mengajak kedua pria itu berpose lagi. Tapi, lembaran negatif filmnya tidak menunjukan foto mereka. Anti sedikit kecewa saat itu, tapi Kenta segera membelai rambutnya dan mengacak-acak rambut Anti yang terikat karet.
“Dua orang yang penting bagi ku sudah datang, itu sudah cukup. Sayangnya, Mama dan Papa tidak mau ikut. Kalau aku tidak ada, kau harus menjaga mereka, oke?” Ujar Kenta.
Anti membalas perkataan Kenta dengan senyum lebar. Wanita itu mencium pipi Kenta dan memeluknya dari samping.
“Aku mencintai mu.” Bisik Anti di telinga Kenta saat itu.
Kenta tersenyum dan membalas pelukan Anti. Josh segera mengingatkan Kenta untuk masuk ke dalam arena pertandingannya. Dengan gagah, Kenta mengendarai motornya pada sesi foreplay pertama sebelum pertandingan. Kenta terlihat berdoa dan mencium kalung salib yang diberikan Anti untuknya sebagai hadiah kencan yang mereka lakukan di hari valentine dua tahun lalu. Sejak hari itu, kalung salib itu selalu menjadi ‘lucky charm’ di mata Kenta.
“Terima kasih.” Josh menyadarkan Anti dari lamunannya.
Anti melirik ke arah pintu kamar yang kembali tertutup. “Biarkan mereka di sini.” Ujar Anti.
“Mereka juga ingin seperti itu.” Ujar Josh.
Anti dapat melihat kekecewaan pada wajah Josh. Anti segera menghela nafas panjang dan tersenyum kecil. “Mereka tidak ingin kau menanggung permasalahan ini. Karena mereka tidak mau kau memaksakan diri mu untuk membantu mereka.” Terang Anti.
“Aku merasa seperti orang asing.” Desis Josh. “Mereka bahkan lebih suka untuk menghubungi mu saat ada masalah, daripada aku, anaknya sendiri.” Keluh Josh.
“Aku ke toko pagi ini untuk mencari mu. Tapi, tidak disangka terjadi hal ini. Mereka tidak menghubungi ku seperti dugaan mu.” Ujar Anti. “Aku ingin mereka di sini, tidak apa-apa kan kalau begitu?” Tanya Anti lagi.
“Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka memaksa ku untuk pulang dan tidak usah mengkhawatirkan mereka.” Ujar Josh. “Bagaimana mungkin tidak mengkhawatirkan Orangtua sendiri.” Desis Josh lagi.
“Aku akan mengurus mereka.” Ujar Anti.
“Kau seharusnya tidak perlu mengurus mereka. Seharusnya, kau menikah dan tidak terikat oleh Kakak lagi. Dia sudah meninggal sejak belasan tahun lalu.” Desis Josh.
Anti menatap wajah Josh dengan tatapan sedih karena teringat Kenta. Belakangan ini, entah mengapa bayangan Kenta sepertinya lebih sering muncul daripada biasanya. Anti sendiri tidak bisa mengatakan apa-apa dan hanya menggigit bibir bawahnya.
“Aku rasa, aku egois karena sudah meminta mu untuk tidak berkencan dan menikah.” Ujar Josh.
“Tidak ada yang meminta ku untuk tidak berkencan dan menikah.” Tegas Anti. “Aku yang tidak bisa melupakan semuanya. Kau juga sudah tahu itu dari dulu. Jadi, tolong jangan mengatakan hal bodoh lagi.” Ujar Anti seolah memelas pada Josh.
Josh menatap Anti lekat tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ingatannya kembali pada saat hari pertandingan yang merengut nyawa Kenta. Sejak awal putaran pertama di mulai, Josh sibuk mem-video-kan kenta yang berada pada posisi ke lima saat start awal dengan camcordernya. Anti terlihat gugup dan berdoa sejak awal foreplay sambil tak hentinya melihat ke arah arena. Putaran kedua dilewati dengan mulus. Kenta berada di posisi ketiga sampai pada putaran kedua terakhir. Pada putaran akhir, sebuah motor yang ada di samping motor yang dikendarai Kenta menyenggol ban belakang motor. Kenta kehilangan keseimbangan dan terjatuh di dalam arena pertandingan. Anti berteriak dan berlari ke arah arena dengan kalap. Hanya dalam hitungan detik, pemandangan mengerikan terjadi di arena. Tubuh Kenta tertabrak dua buah motor yang tidak mampu menghindarinya. Salah satu motor lain entah mengapa melindas tubuh Kenta. Semua orang yakin, pembalap yang melindas tubuh Kenta, sebenarnya bisa menghindari hal itu, karena saat itu posisinya cukup jauh. Tapi, Kenta akhirnya terlindas dengan cepat di depan mata Anti dan Josh.
Kenta tidak pernah sadarkan diri sejak hari itu. Meskipun sempat dirawat di ruang ICU selama tiga hari, Kenta akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Sejak saat itu, Anti tidak lagi bisa ceria seperti dulu saat pertama Josh mengenalnya. Anti tidak mengencani pria mana pun dan menolak pernyataan cinta siapa pun. Anti bahkan mengatakan tidak ingin menikah pada Josh, dan meminta pria itu untuk membantunya mendapatkan donor sperma untuk proses inseminasi buatan yang ingin dilakukan Anti.
“Maaf merepotkan mu.” Ujar Josh pada Anti yang duduk di sofa ruang tengah rumahnya.
“Biar bagaimana pun, mereka nyaris menjadi mertua ku. Kau tidak perlu mengucapkan terima kasih pada ku.” Balas Anti.
Josh hanya bisa terdiam, duduk di ruang itu sendirian setelah Anti meninggalkannya. Anti tidak ingin berbicara dengan Josh yang sekarang terlihat seperti orang asing di matanya. Wanita itu lebih memilih menyiapkan makan siang di dapur dan membiarkan Josh di ruang tengah rumahnya. Ponsel Anti berbunyi dan di layar ponsel tertera tulisan ‘sekolah’. Anti segera menerima panggilan itu saat Josh beranjak dari duduknya dan mendekati dapur tempat Anti berada.
“Halo, Benar aku ibunya.” Ujar Anti tanpa menghentikan kegiatannya yang sedang menggoreng. “Berkelahi? Apa Jun baik-baik saja?” Tanya Anti yang segera mematikan kompor dan menghentikan kegiatannya. “Baiklah, aku akan segera kesana.” Ujar Anti yang mulai gemetaran mematikan sambungan telepon di ponselnya.
“Bi, tolong teruskan. Aku ada urusan.” Ujar Anti sambil berjalan ke arah pintu dapur, di mana josh berdiri menatapnya dengan pandangan seolah ingin bertanya ada apa.
“Aku harus ke sekolah dulu. Kau tunggu saja di sini. Makan siang-lah bersama Om dan Tante.” Ujar Anti dengan langkah terburu-buru melewati Josh dan mengambil kunci mobilnya.
Tangan Anti masih gemetar saat kakinya sudah berada di ruang tamu. Anti segera meletakan kunci mobil dan berlari ke arah luar tanpa mempedulikan apapun yang ada di depannya. Selama Josh mengenal wanita itu, tidak pernah melihatnya gemetar seperti itu kecuali saat Kenta menghembuskan nafas terakhirnya. Josh segera mengejar Anti keluar dari rumah, tapi Anti sudah tidak terlihat lagi. Josh segera menaiki mobil yang dipinjamkan Steve padanya, berusaha mengejar Anti yang terlihat gemetaran, dan sendirian pergi ke sekolah Junior, putranya.
***
Anti segera menundukan kepala seperti sedang melakukan ojigi di depan orangtua anak lain dan suster sekolah. Junior memandanginya dengan tatapan kesal. Anti segera melirik ke arah putra satu-satunya itu dan memelototinya.
“Jun cepat minta maaf!” Perintah Anti.
Junior tidak juga mengatakan sepatah kata pun. Anti merasa serba salah. Kedua suster sekolah berpandangan satu sama lain. Sementara, Ibu dari anak yang dipukul Junior bertolak pinggang dengan tatapan sinisnya.
“Aku benar-benar minta maaf.” Ujar Anti lagi sambil kembali menunduk di depan Ibu dari anak yang terlihat babak belur berdiri di sebelahnya. “Kenta Junior, cepat minta maaf!” Perintah Anti lagi.
Junior tidak mempedulikan kata-kata Anti dan membuang pandangannya ke arah lain. Anti segera menarik tangannya dan mencoba menundukan kepala Junior di depan anak yang sudah dipukuli Junior sampai babak belur. Junior tetap menolak untuk meminta maaf. Mata Junior terarah pada anak yang babak belur di depannya dan mengepalkan tangannya di samping kedua tubuhnya.
“Junior.” Ujar Anti lagi mencoba meminta agar Junior mau meminta maaf pada korban pemukulannya. “Kau harus belajar bertanggung jawab. Setidaknya mulailah dari meminta maaf pada orang yang sudah kau lukai.” Pekik Anti pada Junior.
Junior menatap wajah Anti dengan tatapan kesal dan menepis tangan Anti dari bahunya. Junior segera berjalan keluar dari ruangan itu dan menendang bak sampah di dekat pintu sebelum akhirnya berlari menjauhi Anti.
“Kenta Junior!” Panggil Anti dengan keras. “Jun!” Panggil Anti sekali lagi, tetapi itu tidak menghentikan langkah Junior yang sudah tidak terlihat lagi.
Anti berusaha menebalkan wajahnya dan kembali tertunduk untuk meminta maaf.
“Maaf. Aku tidak bisa mengajari anak ku dengan baik. Aku akan mengajarinya lagi agar dia tidak melakukan kesalahan kelak.” Janji Anti di depan kedua suster, Ibu korban dan korban pemukulan Junior.
“Sh, seharusnya kau itu tidak menaruh anak mu di sekolah, tapi di ring tinju.” Ujar Ibu korban itu dengan nada sinis. “Aku mengerti. Wajar saja dia seperti itu, karena tidak punya ayah untuk mengajarinya. Anak nakal seperti itu, entah bagaimana wanita seperti mu bisa membuat dia lebih baik.” Ujar Ibu korban lagi.
“Aku benar-benar minta maaf.” Ujar Anti lagi.
“Apa gunanya meminta maaf sekarang? Anak ku sudah babak belur seperti ini, apa kau bisa tanggung jawab? Benar kata anak ku, anak haram seperti itu, tidak pantas berada di sekolah ini. Jangankan mendengarkan perkataan orang lain, ibunya sendiri tidak didengar. Seharusnya kau punya suami untuk menghajar anak itu.” Keluh Ibu korban itu tanpa berhenti menghina Junior.
Kesabaran manusia memang ada batasnya. Anti sudah tidak lagi peduli kali ini dia berada di sekolah atau pasar, baginya kata-kata yang baru didengarnya tidak bisa di terima lagi. Anti segera menatap wanita itu dengan tatapan penuh kemarahan.
“Maaf.” Desis Anti. “Tapi, Junior bukanlah anak haram.” Ujar Anti dengan segera sambil mendekat ke arah wanita itu. “Kenta Junior adalah anak ku, dan dia bukan anak haram. Tolong jaga kata-kata anda.” Ujar Anti seolah mengancam wanita itu.
“Apa?” Desis Ibu korban membalas tatapan Anti dengan mata mendelik.
“Kau tuli?” Tanya Anti begitu saja.
Wanita itu mulai terlihat kebingungan dan menatap ke arah kedua suster seolah ingin mencari alasan mengapa dirinya mendapat perlakuan seperti itu dari Anti.
“Dua bulan lalu, Jun memukul kakak kelasnya yang tubuhnya lebih besar dari anak mu karena anak itu sudah menghina Jun dan menyebut aku sebagai pelacur. Aku rasa, hari ini kasus yang sama terulang lagi. Apa kau tidak punya orangtua?” Tanya Anti di depan wajah wanita itu. “Kalau seorang anak menyebut anak mu sebagai anak haram dan ibunya pelacur, apa anak mu begitu bodohnya menerima perkataan itu?” Anti kembali bertanya pada wanita itu dengan tatapan yang sama. “Kalau kau tidak mau diejek dengan kata-kata itu, maka jangan perlakukan orang lain seperti itu. Pelacur pun tidak mau diejek sebagai pelacur. Tidakkah kau mengajari anak mu untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bicara? Mulut itu bukan bokong yang tidak bisa menahan untuk buang angin.”
Wanita itu terdiam dan tidak bisa mengatakan apapun untuk membela diri. Bocah yang berdiri di sampingnya terlihat menunduk ketakutan.
“Sebaiknya kau yang mengajari putra mu untuk menjaga mulutnya agar tidak seperti mulut mu yang bau itu.” Ujar Anti dengan nada tegas. “Permisi.” Ujar Anti sambil melangkah meninggalkan ruangan itu dengan segera.
Anti akhirnya melepaskan sedikit emosinya. Meskipun tubuhnya masih gemetar karena menahan emosi, matanya tidak berhenti mencari anak satu-satunya itu. Junior sepertinya sudah berlari jauh dari sekolah. Anti mencoba menelusuri jalan raya dan mencari Junior di setiap sisi jalanan yang dilaluinya. Sesekali Anti menggigit kuku jempol kanannya sambil mencoba mengatur nafasnya. Di perempatan yang dilaluinya, Anti memilih jalan yang biasa ditempuh Junior untuk pulang-pergi ke sekolahnya, dan mata Anti akhirnya menemukan Junior yang berjalan menyusuri pinggiran trotoar memanggul tasnya dan menunduk memandangi setiap langkah kakinya sendiri.
Anti tidak segera berlari ke arah Junior, melainkan mengikuti anak yang belum genap berusia tiga belas tahun itu dari belakang. Anti mencoba mengeluarkan nafasnya yang berat dari hidung beberapa kali untuk menghilangkan rasa sesak di dada akibat gejolak emosinya yang baru saja keluar. Junior menyadari kehadiran Anti dari cermin di dalam toko tempat cukur. Anak itu segera berlari menjauh dari Anti karena merasa malu pada Mamanya karena sudah membuat masalah. Dua bulan lalu setelah Junior memukul kakak kelasnya, Mamanya berusaha tersenyum dan tidak mengungkit masalah yang dilakukannya di sekolah. Junior merasa sudah menyakiti perasaan Mamanya yang tidak pernah mau terlihat marah di depannya.
Anti berhenti sejenak saat Junior yang mencoba berlari menjauhinya, terjatuh karena kakinya menabrak hydran di pinggir jalan. Anti segera berlari saat melihat pundak Junior bergetar seolah menahan tangisan atau memang sudah menangis. Anti segera memeluk erat Junior yang ternyata sudah menangis terduduk di atas trotoar.
“Maaf.” Bisik Anti pada Junior.
Tangisan Junior semakin menjadi keras. Anti menarik dagu anaknya dan menghapus air mata yang turun dari mata bocah itu dengan kedua tangannya.
“Jangan menangis lagi. Mama yang salah. Jangan menangis, kau bukan anak kecil lagi, kan?” Bisik Anti pada Junior sambil memeluk tubuh Junior lagi.
Anti mencoba untuk tersenyum lebar di depan Junior, dan menghapus air mata Junior yang masih membasahi pipinya. Anti segera memeluk Junior lagi dengan lebih erat. Josh yang sudah melihat mereka dari kejauhan segera memberhentikan mobilnya dan menghampiri mereka.
“Naiklah ke mobil. Kita ke rumah dulu.” Ujar Josh.
Anti tersenyum menatap Junior dan menarik tangannya. Junior masih terdiam dan tidak melakukan apa-apa. Josh membukakan pintu belakang mobil, dan Junior segera masuk ke dalam mobil dengan wajah yang masih penuh kekesalan. Josh melajukan mobilnya setelah Anti duduk di bangku samping tempatnya duduk. Dua bulan lalu, atmosfer seperti ini terjadi di mobil Anti yang saat itu juga di kendarai Josh. Junior terdiam sepanjang jalan, sementara tangan Anti tidak hentinya gemetar. Semua terdiam dan tidak berusaha untuk menciptakan suatu pembicaraan.
Ponsel Anti kembali berdering. Anti baru menyadari bahwa ada seseorang yang tengah menunggunya di kantor. Kemarin, dia meminta Viena untuk menghubungi penulis baru yang tampaknya menarik perhatian bos besar perusahaan publishing tempatnya bekerja. Anti segera menekan tombol hijau pada ponselnya dan mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Viena, maaf. Aku ada urusan penting di sekolah Jun hari ini. Bisakah kau mengatur ulang pertemuan ku dengan penulis baru itu?” Tanya Anti segera. “Jam satu besok siang. Baiklah.” Ujar anti mengakhiri pembicaraannya dengan Viena.
Suasana di dalam mobil kembali sepi. Junior mendapati tangan Anti yang masih gemetar menahan emosi sesaat setelah mengembalikan ponselnya ke dalam tas. Josh juga masih memperhatikan tangan Anti yang terus saja gemetaran sesekali. Josh yakin, minggu ini Anti banyak memiliki masalah yang mungkin membuatnya marah besar, sampai harus menahan emosi sebanyak itu hingga hari ini. Junior segera berlari keluar dari mobil saat mereka sudah sampai di rumah. Anak itu naik ke lantai atas dan mengurung dirinya di kamar.
“Jun.” Panggil Anti.
Junior tidak menghiraukan panggilan Anti yag masih menatap anak tangga, berdiri dengan tubuh gemetaran di ruang tengah. Entah mengapa pemandangan ini membawa ingatan Josh pada hari di mana Kenta Jo menghembuskan nafas terakhir. Tanpa sadar Josh sudah melangkah dan memeluk tubuh Anti dari belakang. Anti tertunduk dan menangis untuk waktu yang lama. Josh mempererat pelukannya pada bahu temannya itu. Mereka tidak berbicara satu sama lain.
***
“Maaf ya.” Ujar Viena pada Cleo yang sudah menunggu Anti di ruangannya selama beberapa menit.
Cleo merasa sedikit kecewa, tapi tidak ada yang dapat dilakukan kecuali pulang. Toh, besok siang Viena meyakinkan Cleo, kalau atasannya tidak akan ingkar janji.
“Tidak apa-apa.” Ujar Cleo sambil melangkah keluar bersama Viena. “Besok aku akan datang lagi.”
“Maaf. Aku benar-benar tidak enak pada mu karena kau sudah datang tepat waktu, tapi atasan ku ada urusan dengan anaknya secara tiba-tiba.” Ujar Viena dengan wajah menahan rasa malu.
“Ini waktu makan siang mu kan? Bagaimana kalau kita makan siang saja?” Ajak Cleo tiba-tiba. “Kita kan sudah lama tidak makan siang bersama.”
Viena segera tersenyum dan menarik dompetnya yang tergeletak di atas meja. “Baiklah. Ayo. Biar aku yang traktir.” Ujar Viena.
“Benar?” Tanya Cleo. “Asik. Kenapa tidak sering-sering saja kau begini?” Canda Cleo.
Mereka segera berjalan ke arah elevator dan Viena menekan tombol turun pada dinding di sebelah pintu elevator. Cleo segera teringat pada sebuah cerita lama yang di bacanya entah di mana.
“Lift ini kusebut ‘elevator cinta’. Disinilah pertemuan perdana untuk aku dan dia berpapasan, bertemu dan berkenalan. Tempat bersejarah dalam kehidupan cinta kami, cinta yang membuat ku sadar, cinta inilah yang harus ku miliki.” Desis Cleo mengutip salah satu awal cerita dari salah satu karya tulis seseorang yang pernah dibacanya.
Viena yang mendengar suara desisan Cleo segera mengarahkan pandangannya pada Cleo. Saat itu, putra bos besar perusahaan publishing itu terlihat sekilas tersenyum padanya. Viena seringkali jadi salah tingkah karena senyuman itu, dan hari ini pun begitu. Cleo menatap wajah Viena yang memerah dan sedang mengarahkan pandagannya pada orang yang berada di sebelah kanan Cleo. Cleo segera melirik ke arah pria yang ada di sebelah kanannya dan menatap wajah pria setengah tua yang mengenakan setelan jas dan tampak masih tampan. Lalu, Cleo mengalihkan pandangannya ke arah Viena yang masih terpaku pada pria itu. Cleo mulai celingak-celinguk tidak tahu harus mengatakan apa.
“Itu kutipan awal dari novel berjudul ‘Hati Beku’ yang ditulis salah satu penulis andalan kami.” Ujar Pria itu pada Cleo secara tiba-tiba.
Cleo melirik ke arah pria itu dan mengangguk-angguk sendiri. Viena segera tersadar dari lamunannya saat suara pintu elevator di depannya terbuka. Mereka masuk ke dalam elevator yang sama dan suasana terlihat sepi untuk sesaat.
“Apa kau suka kutipan itu?” Tanya pria itu pada Cleo.
Cleo segera tersenyum. “Aku tidak tahu di mana membaca kutipan itu, tapi sejak pertama membacanya sepertinya kata-kata itu sudah menempel di otak ku.” Ujar Cleo.
"Itu adalah kutipan favorit ku juga. Gaya bahasa yang dipakai benar-benar sederhana, dan itu sungguh membuat ku kagum padanya." Ujar Pria itu.
Viena masih terdiam menatap pria itu dengan tatapan penuh rasa kagum dan terdiam dengan wajah memerah, dan mulut terbuka. Cleo menyadari ekspresi wajah Viena yang tampak seperti orang bodoh itu bisa terbaca oleh Pria di sebelahnya.  Cleo segera menyikut pinggang Viena sebelum pria di sebelahnya menyadari tatapan aneh Viena. Tepat sebelum pria itu menyadari keberadaan Viena  yang berdiri di samping Cleo, Viena menutup mulutnya dan tersenyum pada pria itu.
"Mbak Viena." Sapa pria itu. "Apa kabar?" tanya pria itu dengan senyum lebar.
"Baik." Ujar Viena dengan segera. "Makan siang juga, pak Dennis?" Tanya Viena mencoba berbasa-basi.
Pria itu tersenyum lagi. "Tadi baru saja selesai meeting, jadi baru bisa makan sekarang." Ujar pria itu yang di sebut Dennis itu. "Kalian juga baru makan siang?" Tanyanya.
"Ah, iya." Ujar Viena segera.
"Teman mu?" Tanya Pak Dennis sambil mengarahkan pandangannya pada Cleo.
"Bu Anti sebenarnya ingin bertemu dengan dia hari ini. Tapi, karena ada urusan mendadak, dibatalkan." Ujar Viena.
"Oh." Balas Dennis singkat. "Panggil saja Dennis." Ujarnya lagi sambil mengarahkan tangannya di depan Cleo sambil memperkenalkan diri.
"Cleo." Ujar Cleo gantian memperkenalkan diri sambil menyalam pria itu.
"Apa kau yang menulis naskah yang diperbincangkan Ayah dan Ibu ku? Ku dengar Anti akan membantu mu untuk proses edit agar karya pertama mu bisa naik cetak." Ujar Dennis. "Semangat, ya." Ujar Dennis mengakhiri pembicaraan saat mereka melangkah keluar elevator.
"Terima kasih." Ujar Cleo sambil menundukan kepalanya.
Viena segera menahan suara memekik yang hampir keluar dari mulutnya saat Dennis sudah berjarak cukup jauh dari mereka.
"Ahh, ..." Pekik Viena saat Cleo menarik tangan temannya itu.
"Apa itu tadi? kenapa menunjukan wajah seperti orang bodoh begitu di depan pria yang kau suka?" Tanya Cleo.
Viena segera menatap Cleo dengan lekat. "Apa iya seperti orang bodoh?" Tanya Viena segera. "Aduh, aku malu sekali." Ujar Viena lagi.
Cleo hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Lain kali sepertinya aku harus menunjukan cermin di depan wajah mu saat kau membuat ekspresi wajah seperti tadi. Apa kau tidak bisa menahan ekspresi normal mu? Di mana harga diri mu yang tinggi dulu sewaktu masih menjadi ketua Himpunan jurusan bahasa Jepang?" Tanya Cleo, lalu wanita itu mendengus.
"Kau tidak tahu apa-apa. Pria yang tadi itu adalah anak dari pemilik perusahaan ini. Hal yang jarang bisa ngobrol dan satu elevator dengannya. Dia kan super sibuk." Ujar Viena memberi alasan. "Tapi, dari mana kau tahu aku menyukai pria itu?" Tanya Viena.
"Entahlah, mungkin dari ekspresi wajah bodoh mu tadi. Tapi, kalau dia anak bos mu, sebaiknya lupakan saja." Ujar Cleo.
"Kenapa? Memangnya tidak boleh menyukai anak bos?" Protes Viena. "Aku sadar diri kok, aku tidak sepadan dengannya." Ujar Viena lagi.
"Kalau begitu segera lupakan saja perasaan seperti itu. Untuk apa menahan cinta yang bertepuk sebelah tangan seperti itu?" Balas Cleo.
"Itulah mengapa dia bilang kau tidak realistis terhadap cinta." Desis Viena mengulang perkataan Anti sewaktu mengomentari karya Cleo.
"Apa maksudnya?" Tanya Cleo. "Yang tidak realistis itu adalah orang yang seperti katak dalam tempurung." Ujar Cleo.
"Pungguk merindukan bulan." Ujar Viena membetulkan peribahasa yang seharusnya dipakai Cleo.
"Ya, apalah itu. Intinya, kau seharusnya tahu kalau cinta yang seperti itu tidak akan bisa kau raih. Percuma saja." Ujar Cleo tak mau kalah.
"Aku tahu. Tapi, perasaan tidak bisa dilupakan begitu saja seperti ingatan. Lupa ingatan sekalipun, tetap tidak bisa lupa perasaan." Ujar Viena.
Cleo hanya bisa terdiam mendengar perkataan Viena. Menurut Cleo, cinta adalah hal yang seharusnya masuk akal, memakai logika, dan tidak mengesampikan fakta. Tapi, Viena sepertinya memiliki pendapatnya sendiri.
***
Junior tidak kunjung membuka pintu kamar meskipun, Anti mengetuk pintu dan memanggil namanya berkali-kali. Anti belum juga menyerah dan terus mengetuk sambil memanggil Junior agar mau membukakan pintu kamarnya yang terkunci dari dalam. Josh yang melihatnya sejak tadi akhirnya menghentikan gerakan tangan Anti.
"Biar aku yang bicara padanya." Ujar Josh. "Kau makan siang bersama Orangtua ku saja. hmm?" Bujuk Josh.
Anti mengangguk perlahan tapi tidak juga beranjak dari sana sampai akhirnya Josh mendorongnya bahu Anti ke dekat tangga.
"Cepat sana." Ujar Josh dengan nada lembut.
Anti sekali lagi mengarahkan pandangannya pada pintu kamar bertuliskan nama Junior. Lalu, wanita itu melirik ke arah Josh yang segera mengisyaratkannya untuk turun. Akhirnya Anti menuruni anak tangga itu dengan langkah perlahan. Di wajahnya masih menempel ekspresi antara tak berdaya dan kemarahan yang ditahannya. Anti menghela nafasnya seolah ingin mengeluarkan beban yang sedang diangkut hatinya. Josh memang selalu bisa mengajak Junior untuk bicara dari hati ke hati. Entah karena mereka sama-sama pria, atau karena selama ini Josh-lah yang menggantikan sosok ayah yang mungkin diinginkan Junior.
"Kami jadi menyusahkan mu." Desis Pria tua yang sudah duduk di depan meja makan bersama istrinya, menunggu Anti untuk turun sejak tadi.
"Tidak. Sama sekali tidak, Om. Ayo, kita makan." Ajak Anti pada kedua orang itu.
Anti segera duduk di depan meja makan dan berusaha untuk tidak menunjukan ekspresi wajah lain, selain senyum yang dibuatnya se-alami mungkin. Pasangan tua itu memang tidak membuatnya merasa kesulitan, atau kesal. Jadi, Anti berusaha agar keduanya merasa nyaman untuk tinggal di rumahnya.
Josh mengetuk pintu kamar Junior dan memanggil nama Junior dengan suara kecil. Junior segera membuka pintu kamarnya dan membiarkan pria itu masuk. Bagi Junior, Josh adalah sosok pria dewasa yang ingin sekali diajaknya untuk tinggal di rumah itu, agar mereka bisa lebih sering untuk saling berbicara layaknya sesama pria.
Josh berjongkok di depan ranjang tempat Junior duduk. Mereka mulai saling menatap dan tersenyum satu sama lain.
"Kenapa kau melakukannya lagi? Paman bilang waktu itu kan, lain kali kalau kau mau menghajar orang seperti itu, lakukanlah di luar sekolah." Ujar Josh sambil mengacak-acak rambut Junior.
"Bocah tengik itu menyebut Mama sebagai pelacur. Aku tidak tahu kenapa aku memukulnya. Aku hanya merasa kesal. Aku lupa kalau itu masih di sekolah. Dia langsung berlari mengadu pada suster." Ujar Junior. "Paman, apa Mama marah?" Tanya Junior.
"Kau ingin melihat Mama mu marah?" Tanya Josh.
Junior tertunduk dan kembali memandang Josh saat Josh menggelengkan kepalanya.
"Mama mu bukan orang yang bisa marah pada anaknya." Ujar Josh. "Apalagi, Mama mu juga tahu, kalau kau tidak sepenuhnya bisa disalahkan." lanjut Josh.
"Aku tahu, aku hanya bisa membuatnya sedih. Aku tahu setiap kali tangannya bergetar saat menahan kemarahannya, Mama sebenarnya marah pada dirinya sendiri." Ujar Junior.
"Kau juga bisa melihat kebiasaan Mama mu kan. Dia tidak akan marah pada mu. Hanya suaranya saja yang keras, tapi sebenarnya hatinya tidak sekeras itu." Ujar Josh. "Dia akan semakin sedih kalau kau mengurung diri seperti ini. Sebaiknya kau keluar dan makan bersama kami." Ujar Josh lagi.
"Aku tidak suka melihat Mama menahan kemarahannya sendiri, lalu menangis di dalam bathtub sendirian. Lebih baik kalau dia marah pada ku." Ujar Junior.
Josh merangkul kepala Junior dan tertawa kecil. "Itu kebiasaannya. Mana mungkin kita bisa mengharapkan kebiasaan yang bertahun-tahun dilakukan, hilang begitu saja." Ujar Josh. "Menurut Mama mu, air bisa menghilangkan emosi di hatinya walau hanya untuk sesaat. Dia tidak ingin orang lain, terutama kau untuk melihat ekspresi sedih atau marah di wajahnya. Itu sebabnya, jangan membuatnya khawatir lagi." lanjut Josh.
Junior mengangguk dan mengikuti langkah Josh yang merangkulnya untuk keluar dari kamarnya. Junior memandangi pria di sebelahnya ini dan tersenyum.
"Paman, bisakah paman tinggal bersama kami? Aku ingin paman ada di rumah ini. Hanya paman yang bisa menghibur Mama saat sedih." Ujar Junior sambil menuruni anak tangga.
Josh hanya tersenyum menanggapi permintaan Junior. Tangan Josh lagi-lagi mengacak rambut Junior.
"Permintaan apa itu? mengatasnamakan Mama mu." Desis Josh pada Junior.
Dalam hatinya, Josh mengerti mengapa Junior beranggapan seperti itu. Selama ini, Anti tidak pernah mengencani pria, apalagi berpikir untuk menikah. Satu-satunya pria yang selalu datang saat masalah muncul dalam kehidupan Anti ataupun Junior adalah Josh. Josh sendiri tidak mengerti mengapa dirinya begitu peduli pada Anti dan Junior, walaupun terkadang Josh merasa jenuh pada dua orang itu. Mungkin karena Anti adalah temannya, atau karena Anti terlihat begitu kesepian, atau juga karena Junior adalah anak yang didapatkan Anti dari proses inseminasi dengan tanda tangan Josh sebagai penjamin yang membuat Josh merasa memiliki tanggung jawab yang sama dengan Anti untuk merawatnya.
***
Sesampainya di rumah Steve, Josh hanya berbaring di kasur extension dan menutup matanya. Steve sibuk menceritakan wanita yang tadi sore dikencaninya sambil mengotak-atik komputer.
"Aku mengajaknya makan di restauran korea tadi. Kau tahu, wanita itu bilang apa saat merasakan kimchi? Dia bilang sayur itu sudah busuk dan bau. Bagaimana mungkin di zaman ini ada orang yang tidak tahu Kimchi." Ujar Steve. "Yang lebih, benar-benar memalukan adalah saat wanita itu menggunakan sumpit dengan kedua tangannya seolah itu adalah garpu dan sendok. Aku rasa semua pengunjung restauran itu melihat ke arah kami." Lanjut Steve.
Josh tidak menanggapi kata-kata steve sama sekali. Tapi, Steve tetap bercerita mengenai kencannya terus.
"Kau tahu, wanita yang wajahnya cantik, biasanya memang tidak memiliki pengetahuan se-cantik wajahnya. Sama seperti wanita berdada besar, umumnya otak mereka tidak sebesar dada mereka yang menggoda." Ujar Steve lagi sambil menggerakan jari tangannya di depan, seolah sedang meremas sesuatu. "Lihat foto ini. Wanita ini adalah kencan ku hari ini. Wajahnya cukup manis, kan?" Tanya Steve lalu berbalik melihat Josh yang tetap berbaring tanpa menghiraukannya.
Steve segera meraih bantal dan melempar wajah Josh dengan bantal itu. Josh membuka mata dan melihat Steve dengan tatapan seolah tidak tahu apa yang dilakukan Steve. Josh kembali menutup matanya setelah melemparkan bantal itu ke arah ranjang.
"Kau itu kenapa sih?" Tanya Steve. "Aku sedang cerita, kau malah pura-pura tidak dengar." Keluh Steve.
"Aku tidak mau tahu bagaimana kencan mu." Ujar Josh.
Steve memegang kedua belah lengannya sendiri. "Brr, dinginnya." Ledek Steve. "Itulah mengapa selama tigapuluh lima tahun kau tidak pernah kencan. Pria saja tidak suka melihat cara mu yang dingin memperlakukan orang." Desis Steve.
Josh tidak bergeming sedikit pun. Steve segera mendekati Josh.
"Bagaimana kalau kau mulai kencan? Mungkin sikap dingin mu itu bisa berubah perlahan dengan berkencan. Biar aku carikan wanita yang kira-kira tepat untuk bisa mengimbangi mu. Bagaimana kalau wanita yang 'hot'? Kau suka wanita yang seperti apa? Katakan saja, kita kan teman. Aku akan carikan yang sesuai." Ujar Steve.
"Besok aku akan ke penerbit." Ujar Josh singkat.
Steve menunggu kata-kata Josh selanjutnya. Tapi, pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Steve kembali melemparkan bantal ke arah Josh. Josh justru membalikan badan memunggungi Steve setelah melemparkan bantal yang mengenainya tadi ke arah Steve.
"Kau tahu, aku rasa kau harus bilang pada ku sekarang juga. Apa kau gay?" Tanya Steve.
Josh yang sejak tadi terdiam memunggungi Steve, akhirnya berbalik menatap Steve dengan pandangan kesal.
"Aku sudah pernah kencan dengan wanita, pacaran dengan wanita, dan aku bukan gay. Kau puas?" Tanya Josh.
"Tapi menurut penelitian straight juga bisa jadi homoseksual. Kau sudah belasan tahun tidak pacaran, mungkin saja kan kau sudah berubah haluan? Sebaiknya kau kencan." Ujar Steve. "Dan kau harus ingat aku masih masih jadi penyuka lawan jenis. Jangan meraba tubuh ku saat aku tidur nanti ya." Canda Steve.
Josh segera berbalik memunggungi Steve.
"Ku carikan yang seksi, mau?" Goda Steve lagi.
"Tidak usah. Terima kasih." Ujar Josh.
"Atau, ku carikan yang pintar dan terlihat cerdas?" Tanya Steve. "Atau, sebenarnya kau ingin wanita yang seperti editor mu? Pintar mengurus semua hal, strata dua, menguasai tiga bahasa asing, seksi, dan aku rasa di usianya sekarang Anti terlihat cantik." Lanjut Steve. "Kalau ada yang seperti itu dan lebih muda sedikit saja dari ku, aku pasti sudah mengejarnya."
"Berisik." Desis Josh yang segera menutup telinganya dengan bantal.
***
Cleo berlari ke arah stasiun kereta api secepatnya dan membeli tiket untuk perjalanan ke Jakarta. Di saat bersamaan Josh mengantri di line yang sama dengannya. Josh sempat terkejut melihat Cleo, tetangga Steve yang dianggapnya aneh itu berdiri di sampingnya saat menunggu kereta. Tapi, Josh memutuskan untuk berpura-pura tidak mengenali wanita di sampingnya itu.
Saat kereta datang dan beberapa orang berebut menaiki kereta itu, Cleo tampak kesulitan karena tidak terbiasa dengan angkutan umum seperti kereta. Sudah lama sekali dia tidak menaiki kereta yang mengharuskannya bersaing dengan ibu-ibu yang membawa barang dan suka sekali melanggar antrian, atau dengan bapak-bapak yang diam-diam menyelam sambil minum air, alias mencari kesempatan berdempetan dengan wanita yang terlihat masih muda. Cleo tidak mendapatkan tempat untuk duduk dan berdiri di gerbong yang sama dengan Josh. Beberapa kali, Cleo melirik kanan-kiri dan mencoba mengingat di mana dia harus turun. Dengan kedua tangan terangkat, Cleo memegangi tiang yang ada di kereta agar dirinya tidak terjatuh atau kehilangan keseimbangannya saat berdesakan di antar penumpang kereta pagi itu.
Cleo memang masih memiliki banyak waktu untuk pergi ke kantor penerbit yang memanggilnya. Tapi, Cleo merasa lebih nyaman jika datang lebih cepat dan lebih baik menunggu daripada harus membuat orang lain menunggunya. Lagipula, rasanya sudah nyaris tujuh tahun dia tidak menggunakan transportasi umum seperti hari ini. Sesekali Cleo ingin mencari suasana baru yang memungkinkan dia untuk memperhatikan sekitarnya. Cleo teringat seorang wanita pernah mengatakan hal itu sebelumnya pada wanita tigapuluh tahun ini.
“Melihat sekeliling, memperhatikan, dan memahami hal yang terkadang tidak dipikirkan oleh orang lain akan membantu kalian membuat karya tulis yang akan merubah pandangan dunia orang yang membacanya. Itu sebabnya orang mengatakan kalau buku adalah jendela dunia. Karena di dalam sebuah buku penulisnya akan mencurahkan seluruh tenaga, usaha, pikiran, dan perasaan mereka tentang hal yang ingin dibaginya dengan pembaca.” Wanita itu mengatakannya di depan kuliah umum yang diadakan di kampusnya belasan tahun lalu.
Perkataan itu membuat Cleo yang awalnya malas membaca, menjadi pembaca yang rajin memperhatikan buku-buku baru. Cleo bukan hanya mengoleksi buku-bukunya, tapi juga memiliki impian baru sebagai penulis. Cleo yakin, dirinya bisa merubah pandangan dunia dengan menuliskan karya yang baik bagi pembaca.
“Karya ku kelak akan bisa merubah dunia dalam pandangan orang yang membacanya. Aku yakin itu.” Bisik hati kecil Cleo sambil mengepalkan sebelah tangannya di depan dada sambil komat-kamit seorang diri.
Josh yang sesekali melirik ke arah Cleo tersenyum-senyum sendiri karena melihat tingkah Cleo. Dalam pikirannya, Josh merasa wanita itu sudah gila. Tidak hanya di kamarnya, bahkan di tempat umum seperti ini, wanita aneh itu masih saja melakukan gerakan-gerakan aneh seperti yang dilihatnya beberapa hari ini. Josh menyadari stasiun berikutnya adalah tempatnya untuk berhenti. Josh tidak lagi memperhatikan sekitar. Pria itu hanya berharap secepatnya sampai di kantor penerbit, dan bertemu dengan Anti.
Josh segera turun ketika kereta berhenti di stasiun Dukuh Atas, Jakarta dan siap untuk berjalan keluar dari stasiun saat seorang terjatuh di depan pintu kereta. Josh awalnya tidak begitu peduli pada suara jatuh itu. Dilihatnya kereta sudah jalan kembali, dia berpikir seorang petugas stasiun pasti sudah menyelamatkannya. Meskipun berpikir seperti itu, akhirnya Josh tetap saja berbalik untuk melihat seseorang di belakangnya tadi yang terjatuh saat kereta sudah mulai berjalan.
Wanita yang dianggapnya aneh itu masih terduduk sambil mengusap-usap lututnya yang terjatuh saat keluar dari kereta. Josh merasa sedikit kasihan dan menyesal tidak berbalik menolong wanita itu. Tapi, perasaan itu segera ditepisnya. Josh melanjutkan langkahnya, dan memutuskan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Tak berapa lama, Josh dapat mendengar teriakan wanita itu seperti sedang meneriaki seseorang.
“Copet.” Pekik wanita itu sambil berusaha berdiri, mengejar pria tinggi besar yang mengambil tas pinggangnya yang tadi terjatuh di depan wanita itu.
Josh merasa hati nuraninya tidak dapat berbohong lagi. Wanita itu mungkin tidak mengenalnya, tapi dia jelas pernah mengetahui wanita itu sebelumnya. Walaupun ingin berpura-pura tidak mendengar teriakan itu seperti orang lain yang tidak berani menolong, Josh tidak bisa menghentikan gerakan spontannya yang segera berbalik dan mencari pria yang mengambil tas pinggang wanita itu. Josh melihat wajah pria yang mencurigakan membawa tas pinggang berwarna pink mencolok, yang dirasa tidak pantas untuk dibawa pria berwajah garang itu. Josh mengarahkan kakinya ke arah tulang kering yang berada di bawah lutut pria itu, menohok leher pria itu hingga pria itu menjatuhkan tas pinggang yang diambilnya. Cleo yang mencoba berjalan meskipun lututnya masih terasa perih, terkagum melihat seorang pria menghajar pria bertubuh besar yang mengambil tas pinggangnya dengan cepat, dan membuat pria sangar itu terjatuh.
“Tidak apa-apa, kan?” Tanpa sadar Josh mengatakan hal itu pada Cleo yang segera bertepuk tangan di depannya.
Josh langsung menyadari orang di sekeliling mereka mulai memperhatikannya. Beberapa orang memuji tindakan Josh yang berani. Mereka mulai berkerumun dan tersenyum menatap Josh, seolah adegan tadi adalah tontonan. Beberapa lainnya mengarahkan ponsel mereka ke wajah Josh, seolah pria ini adalah artis yang sedang melakukan syuting film action. Pria bertubuh besar itu pun menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Tapi kaki Josh segera menginjak tangan pria itu. Beberapa petugas pengamanan stasiun mulai datang dan menangkap pria bertubuh besar itu. Cleo dan Josh terpaksa harus ikut ke ruangan kepala stasiun untuk ditanya-tanya oleh polisi. Mereka juga harus menunggu pihak kepolisian untuk membuat berita acara.
“Mungkin ini salah satu alasan mengapa orang-orang tidak mau menolong orang lain saat mereka berteriak meminta tolong. Karena setelah menolong orang, mereka masih harus menyediakan waktu untuk menjadi saksi mata dari kasus itu. Cukup membuang waktu.” Pikir Josh saat menunggu proses pembuatan berita acara selesai.
Cleo tampak seru menceritakan bagaimana kejadian tadi sebenarnya terjadi. Josh melirik jam tangannya berulang kali dan mencocokannya dengan jam dinding yang tergantung di ruang kepala stasiun kereta. Berapa kali pun mencoba mencari perbedaan jam tangan dan jam dinding itu tetap menunjukan sekitar pukul 10.35. Josh hanya bisa menahan rasa kesal karena setelah menolong orang pun, dia masih harus membuang waktunya di tempat itu. Sesekali Josh melirik ke arah Cleo dan menyadari bahwa wanita yang ditolongnya itu bukan gila, hanya saja wanita ini overacting, dan mungkin sudah tingkat dewa. Hal itu pun terpikirkan jika memang dewa overacting itu ada. Josh memegangi kepalanya sendiri karena sudah bosan menunggu lama di tempat itu. Karena menunggu memang merupakan pekerjaan yang paling melelahkan di dunia ini bagi Josh.
“Jika menolong orang itu, tidak boleh setengah-setengah.” Kata-kata Mamanya-lah yang berusaha diulang Josh dalam hatinya berkali-kali untuk menghindari perasaan menyesal karena sudah menolong orang.
“Kenapa juga harus memakan waktu se-lama ini?” Pikir Josh saat mendapati mata polisi yang sedang mengetik surat berita acara sibuk memperhatikan ke arah selain wajah wanita yang sempat kehilangan tas pinggangnya itu.
Saat mengalihkan pandangannya ke arah salah satu petugas stasiun, Josh juga mendapati petugas itu memandangi wanita itu dengan tatapan nakal. Mata mereka sama-sama tertuju pada bagian yang menonjol di balik kemeja yang dikenakan wanita itu. Josh menghela nafas saat mendapati arah pandangan sama yang ditujukan beberapa pria lainnya di ruangan itu. Josh akhirnya merasa terlalu penasaran dan mulai mengarahkan pandangannya ke arah yang sama. Kini, semua mata kecuali mata wanita yang sibuk bercerita dengan semangat berapi-api itu, tengah memandangi bagian di bawah leher wanita itu.
“Hah. Pantas saja mereka melihatnya dengan tatapan seolah nyaris mengeluarkan air liur.” Desis Josh saat melihat salah satu kancing bagian atas kemeja yang dikenakan wanita itu terlepas.
Entah mengapa, beberapa menit kemudian Josh merasa tidak nyaman untuk memperhatikan wanita seperti itu. Biar bagaimana pun juga, orang yang melahirkannya adalah wanita. Rasanya sungguh tidak sopan jika harus bersenang-senang memelototi bagian itu saat orang yang memilikinya tidak tahu. Mungkin kalau wanita ini tahu, mereka pasti malu, dan terlebih lagi wanita ini.
“Kenapa aku malah ikut-ikutan?” Pikir Josh.
Tangan Josh langsung mencari sesuatu yang biasa diletakannya di salah satu loop celananya. Kebiasaan yang didapatnya setelah bertahun-tahun mengenal Anti. Karena, Anti selalu mengatakan kalau terkadang peniti memiliki fungsi lebih daripada yang dipikirkan orang. Setelah mencopot satu peniti yang ada di loop celananya, Josh hanya bisa memandanginya.
“Bagaimana caranya, ya?” Tanya Josh pada dirinya sendiri.
Kalau wanita itu Anti, Josh merasa pastinya tidak akan canggung untuk memperingatkan temannya saat kancingnya terlepas. Tapi, mereka bahkan tidak saling mengenal satu sama lain. Josh akhirnya bangkit berdiri dan melepaskan jaket kulit yang dipakainya. Josh mendekati meja tempat petugas kepolisian membuat berita acara.
“Aku ada pekerjaan dan janji hari ini. Apakah berita acaranya sudah selesai?” Tanya Josh denga segera.
Petugas itu menyadari kalau dirinya tertangkap basah memperhatikan bagaian tubuh yang tidak seharusnya dari wanita yang menjadi korban itu. Josh bahkan sengaja menghalangi pandangan pria-pria itu dengan jaket yang disampirkannya di lengan kanannya. Para pria di ruangan itu saling berpandangan untuk beberapa saat, sampai akhirnya mereka berdiri dari tempat duduk mereka.
“Sudah. Anda dan Saudari Ratu bisa menandatangani berkas berita acara ini.” Ujar petugas yang tadi mengetik berita acara tersebut.
Josh segera menandatangani berkas, diikuti oleh Cleo. Josh segera berjalan keluar dari ruangan itu dan memberikan kode agar Cleo mengikutinya. Cleo menyalahartikan kode yang diberikan Josh dan menyalami satu persatu petugas yang ada di tempat itu. Seperti mendapatkan durian runtuh mereka bisa memandangi dari dekat bagian tubuh Cleo yang tidak sengaja menyembul dibalik kemeja yang kehilangan kancing bagian atas itu. Josh segera menarik tangan Cleo sebelum seluruh petugas disalaminya satu persatu. Cleo terkejut dan hanya bisa mengikuti Josh yang tengah menariknya dan mengajaknya jalan hingga pintu depan toilet wanita.
Cleo segera tersenyum lebar dan berterima kasih pada Josh. Wanita itu bahkan melakukan hal yang sama seperti saat di ruangan tadi, menyalami tangan Josh dengan kedua tangannya, dan mendekatkan pandangan Josh pada bagian tubuhnya yang terbuka. Cleo bahkan menunduk sehingga Josh dapat melihat dengan jelas belahan dada Cleo yang memang masih terbungkus bra berwarna pink. Josh segera menarik tangannya dan mendorong Cleo ke arah pintu toilet.
“Ini.” Ujar Josh dengan wajah yang merah padam.
Cleo tidak mengerti, mengapa pria yang tadi menolongnya mendorongnya dan memberikan sebuah peniti padanya. Josh menghela nafas dan menarik tangan Cleo, lalu menaruh peniti itu di tangan Cleo. Josh mengarahkan tangannya ke arah dadanya sendiri, dan menunjuk ke arah kancing atas kemajanya.
“Kancing mu terlepas.” Ujar Josh sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Cleo segera tersadar dan menutupi belahan dadanya dengan tangan yang mengapit kemejanya. Cleo segera masuk ke dalam toilet dan memandangi kaca toilet sambil mencoba memasangkan peniti tersebut untuk menggantikan kancing kemajanya yang hilang entah kemana. Setelah peniti tersebut terpasang dengan baik pada kemejanya, Cleo segera keluar untuk berterima kasih pada Josh karena sudah membantunya dua kali dalam beberapa jam ini. Tapi, Josh sudah menghilang dari sana dan Cleo tidak dapat menemukannya.
“Sudah pergi.” Keluh Cleo. “Aku bahkan belum berterima kasih. Aku juga tidak tahu siapa namanya, dan di mana dia bekerja.” Ujar Cleo lagi.

Cleo akhirnya menyadari jam di tangannya sudah menunjukan pukul 11.30. Wanita itu akhirnya berjalan dengan terburu-buru keluar dari stasiun dan menunggu minibus yang biasa lewat disekitar sana, yang mengarah ke kantor penerbit yang dituju olehnya.

=to be continued=
First Love Story 2
An a.k.a ^Inriani Sianipar^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Jepang Kimi Shinita Mou Koto Nakare karya Akiko Yosano

Kimi Shinita M ou K oto N akare karya Akiko Yosano あゝをとうとよ君を泣く a , wo o touto yo kun wo naku 君死にたまふことなかれ kun shi ni tamafu koto nakare 末に生れし君なれば matsu ni umareshi kun nareba 親のなさけはまさりしも oya nonasake w a masarishi mo 親は刃(やいば)をにぎらせて oya ha ha ( yaiba ) wo nigirasete 人を殺せとをしへしや nin wo korose to wo shiheshiya 人を殺して死ねよとて nin wo koroshi te shine yo tote 二十四までをそだてしや nij y ushi made wo sodateshiya 堺の街のあきびとの sakai no machi noakibito no 旧家をほこるあるじにて kyuuka wo hokoru arujinite 親の名を継ぐ君なれば oya no mei wo tsugu kun nareba 君死にたまふことなかれ kun shi ni tamafu koto nakare 旅順の城はほろぶとも ryojun no shiro w a horobutomo ほろびずとても何事か horobizu totemo nani goto ka 君知るべきやあきびとの kun shiru bekiya akibitono 家のおきてに無かりけり ie no okiteni naka rikeri 君死にたまふことなかれ kun shini tamafu koto nakare すめらみことは戦ひに sumera mikoto w a tatakahi ni おほみづからは出でまさね o homi z ukara w a idemasane かたみに人の血を流し katami  ni nin no chi wo nagashi 獣の道に死ねよとは kemono no michi ni sh...

Mora .vs. Haku .vs. Syllable

Pembuka Menurut para ahli bahasa Jepang ada dua aliran ilmu bahasa di Jepang yaitu, Kokugogaku (Ilmu bahasa Jepang Tradisional) dan Gengogaku (Ilmu bahasa Jepang Masa Kini) . Kokugogaku memiliki tradisi khas Jepang dalam penyusunan kata pada bahasa Jepang yang terlepas dari ilmu bahasa Barat, termasuk gramatika yang sudah ada sejak zaman Edo. Sementara, Gengogaku mengadaptasi konsep bahasa dari Barat yang diterapkan pada bahasa Jepang mulai dari gramatika, fonologi, morfologi, dan sintaksis. Namun , ada sedikit perbedaan dalam struktur kata bahasa jepang dengan bahasa lain . Pada umumnya kata dalam bahasa Inggris maupun Indonesia mengenal adanya Syllable sebagai satuan ucapan terkecil dalam pengucapan sebauh kata. A kan tetapi, bahasa Jepang menggunakan Mora sebagai satuan ucapan terkecil dalam sebuah kata. Namun, ada pendapat lain mengenai penggunaan Haku yang dianggap sebagai satuan ucapan terkecil yang dipakai dalam bahasa Jepang. Beberapa hasil penelitian dari pene...

Jakarta And Jakarta

Did you know 33 Provinces in Indonesia has a great places to explore. I don't know weather i could post about all places in Indonesia. But, how about to start with Jakarta? Let's see some Places you could enjoy here. But first of all let's see the 33 Provinces. 33Province Indonesia Intereresting Places DKI Jakarta Banten West Java Central Java DI Jogjakarta East Java Lampung Bengkulu South Sumatra – Palembang Bangka-Belitung Riau Riau Island West Sumatra Jambi North Sumatra -Nias DI Aceh West Borneo - Kalimantan Barat Central Borneo - Kalimantan Tengah South Borneo - Kalimantan Selatan East Borneo - Kalimantan Timur South Celebes - Sulawesi Selatan Southeast Celebes - Sulawesi Tenggara Central Celebes - Sulawesi Tengah Gorontalo North Celebes - Sulawesi Utara North Maluku Maluku West Papua Central Papua East Papua East Nusa Tenggara West Nusa Tenggara Bali  Okay. Now shall we begin with Jakarta.  And then below here there's some ...