Pagi ini Cleo terlambat bangun lagi.
Semalam dirinya baru saja meng-update fanfic yang ditulisnya sejak dua hari
lalu. Papanya sudah berangkat ke Jakarta untuk bekerja seperti setiap hari yang
dilakukannya. Sementara, kedua adiknya sudah pergi ke kampus. Mamanya yang
cantik berdiri di depan cermin sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam
berkilau.
Sepotong roti yang ada di meja diambil
Cleo sebelum duduk di kursi ruang makan dengan melipat kedua kakinya di atas
kursi seperti sedang semedi. Segelas susu hangat di depannya tersaji setelah
pembantu keluarganya menyiapkan untuknya. Cleo sibuk melirik blognya dari
smartphonenya. Jumlah orang yang mengunjungi blognya bertambah lagi. Satu
comment yang sama kembali ditemukannya pada update cerita kali ini. Meskipun
hanya satu, hal itu cukup mengganggu Cleo karena isi dari comment tersebut membuatnya
kesal.
"Tulislah
yang sesuai dengan kenyataan. Jangan hanya berkhayal." Itulah tulisan yang
sejak dua tahun lalu dilihatnya muncul di blognya setiap kali meng-update
cerita baru.
"Shh,
kenapa harus menulis comment seperti ini? Ini adalah fanfic. Hal yang biasa kan,
kalau fanfic itu khayalan. Mana mungkin menulis kenyataan. Memangnya aku
bertemu artisnya langsung?" Keluh Cleo sambil menaruh smartphonenya.
Cleo
berusaha tetap tersenyum lebar dan membuka
facebooknya dari Iphone yang ada
di pangkuannya. Jari-jarinya mulai mengetik share di facebooknya dan
mempostingnya.
"Sebentar lagi." Desis Cleo
sambil melirik jam dinding yang menggantung di tembok ruang makan.
Seperti dugaan Cleo sang Mama keluar
dari kamarnya dengan sebuah tas tangan dan kunci mobil sedan yang biasa
dibawanya.
"Cleo, mama akan pergi ke salon.
Kau tidak berencana pergi kemana pun, kan?" Tanya Mamanya.
"Hmm." Ujar Cleo sambil
mengangguk dan menelan roti yang dimakannya.
"Kalau begitu Mama akan membawa
mobil. Oke?" Ujar sang Mama sambil berjalan ke arah pintu depan tanpa
menunggu kata-kata dari anak perempuan satu-satunya ini.
Cleo hanya bisa terdiam dan membiarkan
Mamanya pergi. Setiap hari, sang Mama akan beralasan pergi, entah kemana. Cleo
tidak lagi peduli pada kedua Orangtuanya, atau pada kedua adik laki-lakinya.
Tujuh tahun lalu, saat Cleo lulus dari universitas, Tidak ada seorangpun dari
anggota keluarganya yang datang. Hanya mantan kekasihnya, Juan yang datang dan
berfoto bersamanya untuk mengenang keberhasilannya meraih suma-cumlaude saat
lulus strata satunya.
Cleo tidak ingin berlama-lama
mengenang masa lalunya. Wanita berusia 30 tahun ini lebih memilih untuk bermain
game, atau menonton dorama terbaru dari Jun Matsumoto, idolanya. Sesampainya di
kamar, Cleo tidak mengarahkan pandangannya ke atas tumpukan pakaian yang baru
saja diantarkan pembantunya setelah dilipat dengan rapih, melainkan segera
melirik PSP dan menariknya. Lalu, tangannya mengambil DVD drama Jun Matsumoto
dengan tangan lainnya. Matanya bergantian bergerak ke arah dua benda yang ada
di kedua tangannya. Setelah beberapa menit memusatkan perhatiannya hanya pada
kedua benda itu, Cleo memutuskan untuk memutar DVD dorama yang baru saja sampai
dua hari lalu itu.
Sebenarnya Cleo tidak menyukai dorama
Detektif seperti yang kali ini dimainkan oleh idolanya. Wanita ini hanya ingin
melihat wajah pemeran utama dari dorama ini yang tak lain adalah Jun Matsumoto.
Cleo mulai memegangi kedua pipinya sambil memperhatikan sang idola yang
memerankan tokoh detektif tampan itu.
“Ahh, ... tampannya.” Ujar Cleo sambil
menarik bungkus DVD dorama itu.
Tangannya mulai membelai foto Jun
Matsumoto yang ada di sampul DVD dorama itu dan memajukan bibirnya seolah ingin
mencium foto yang diarahkan ke wajahnya.
“Jun....” Desisnya sambil tertawa
sendiri.
Setiap orang yang melihatnya saat ini
mungkin akan mengira dia sudah gila. Seorang wanita yang menonton dorama dengan
hebohnya memanggil nama idolanya, hingga mengeluarkan ekspresi aneh. Hanya
orang yang memiliki idola, yang tahu kalau hal seperti ini sebenarnya biasa terjadi
pada kebanyakan gadis yag tergila-gila pada idolanya.
“Matsumoto-san....” Ujar Cleo lagi
sambil mengarahkan tangan kanannya ke layar televisi yang berjarak sekitar satu
setengah meter dari ranjang tempatnya duduk, seolah ingin meraih idolanya yang ada
di layar TV.
“Matsumoto Jun ....” Pekik Cleo lagi
sambil memeluk bantal yang ada di sebelahnya.
Mungkin pemandangan seperti ini adalah
pemandangan aneh di mata pria. Terutama pria yang tidak pernah merasa punya
idola selama tigapuluh lima tahun hidupnya seperti Joshia Alexander. Pria itu
kebetulan harus menunggu temannya yang sedang mandi. Karena tidak ada hal yang
bisa dilakukannya di rumah teman baiknya, Steve yang terlihat besar tapi tidak
ada isinya itu, Josh memilih untuk menghidupkan
sebatang rokok dan menghisapnya di balkon rumah Steve yang kebetulan menghadap
ke kamar tetangga Steve, yang tak lain dan tak bukan adalah Cleo.
“Kau lihat apa?” Tanya Steve yang
masih mengenakan bath robe saat menghampiri Josh yang terlihat tertawa sendiri
di balkon rumah Steve.
Bukannya menjawab, Josh justru tertawa
terbahak-bahak karena fokus melihat Cleo yang mulai menggigit bantalnya dan
kembali meneriakkan nama idolanya dengan keras. Steve melirik ke arah di mana
Josh melemparkan pandangannya. Steve segera menutup kepala Josh dengan handuk
yang dipakainya untuk mengeringkan rambut.
“Pervert!” Desis Steve. “Apa tidak ada
hal yang lain yang bisa kau lakukan selain mengintip tetangga ku?” Tanya Steve
yang kini ikut duduk di samping Josh.
“Apanya yang mengintip? Jendela
selebar itu terbuka, artinya tidak ada satu hal pun yang tetangga mu ingin
sembunyikan. Justru seperti mengajak orang lain untuk melihat ke dalam.” Ujar
Josh.
“Si-aneh itu, dia tidak bisa tidur
dengan jendela tertutup. Aku dengar dia penulis seperti mu. Tapi, aku tidak
pernah membaca karyanya.” Ujar Steve.
“Apa tetangga mu selalu seperti itu?
Apa dia sedikit, ....” Ujar Josh sambil menaruh telunjuknya bergerak menyamping
di atas dahinya, yang menunjukkan isyarat yang berarti gila.
Steve segera bangkit dari tempat
duduknya dan berjalan ke arah dalam kamarnya sambil tertawa kecil.
“Sepertinya begitu.” Ujar Steve. “Aku
tidak mengenalnya. Dia tidak pernah keluar rumah atau bergaul dengan orang
lain. Setiap hari hanya menghabiskan waktu di rumahnya.” Ujar Steve lagi.
Josh hanya menganggukan kepalanya
seolah mengerti apa yang dikatakan temannya itu, lalu mengikuti Steve masuk ke
dalam kamarnya.
“Bagaimana dengan novel terbaru mu?
Apa editor mu menyetujuinya?” Tanya Steve sambil memakai kaos putih dan kembali
duduk di tempat tidurnya.
“Editor ku?” Ulang Josh dengan nada
sinis. “Jangan bicarakan si-cerewet itu. Aku bosan mendengar ocehannya di
telephone setiap hari.” Ujar Josh lagi.
“Ayolah, ‘Hot Mom’ seperti editor mu,
...” Steve melirik Josh yang sudah duduk di kursi yang berada di dekatnya.
“Jika aku setiap hari harus mendengar suaranya dan mendapatkan sms darinya, aku
akan sangat bersyukur.” Ujar Steve lagi.
“Ayolah, dia teman ku sejak kuliah.
Jangan berpikir macam-macam.” Ujar Josh pada Steve yang terkenal playboy itu.
“Apa salahnya?” Tanya Steve.
“Lagipula, dia itu memang seksi. Sudah berusia empatpuluh dua tahun tapi sangat
cantik. Gayanya juga sangat up to date. Yang lebih penting lagi, suaranya itu,
lembut dan tegas. Perpaduan antara gadis lemah lembut dan wanita
keibuan. Apalagi, kau bilang dia masih
single. Hanya beda lima tahun dengan ku, apa salahnya? Sekarang ini orang sudah
tidak mempermasalahkan umur dalam hubungan seperti pacaran atau menikah.” Ujar
Steve lagi.
“Aku sudah bilang dia teman ku.” Ujar
Josh sambil melemparkan kaleng spray collogne ke arah Steve yang segera
menangkap dengan tangannya.
“Kau tidak ingin teman mu yang single
itu mendapatkan pendamping yang sepadan?” Tanya Steve dengan gaya serius.
“Atau, kau tidak rela perhatiannya untuk mu terbagi?” Bisik Steve meledek Josh.
Josh segera berdiri dari kursi dan
memukul dada Steve cukup keras walaupun tidak sungguh-sungguh ingin memukul
teman sejak sekolah dasarnya itu.
“Jangan bermain-main dengan Antiokhia
Dean. Kecuali, kau mau aku dapat masalah.” Ujar Josh menyebutkan nama
editornya.
“Baiklah.” Ujar Steve akhirnya. “Aku
tidak sungguh-sungguh juga ingin mengejar editor mu itu. Aku dengar dia hamil
di luar nikah dan memiliki anak berusia tigabelas tahun. Bagaimana mungkin aku
mendekatinya. Ayah ku pasti mati berdiri saat mendengarnya.” Ujar Steve.
“Dia memang memiliki anak berusia
tigabelas tahun, dan dia juga hamil di luar nikah.” Ujar Josh sambil berjalan
keluar kamar Steve yang diikuti oleh Steve.
***
Pada
salah satu sisi gedung V Media, perusahaan yang bergerak di bidang Publishing
ini, seorang wanita sedang mencoba menghubungi kembali seseorang yang sejak
tadi tidak juga mengangkat sambungan teleponnya. Naskah baru Josh yang
diterimanya dua hari lalu membuatnya kesal. Selama lima belas tahun menjadi
editor, penulis yang sedang berusaha dihubunginya ini memang selalu membuat
wanita berusia empatpuluh dua tahun ini jengkel. Meskipun Joshia Alexander
adalah temannya sejak kuliah, pria itu tidak mudah untuk dibujuk olehnya.
Tampaknya kesabaran editor yang dijuluki ‘Hot Mom’ ini sedang diuji. Sejak dua
hari lalu, Josh tidak kembali ke apartemennya, atau pun rumah orangtuanya.
Penulis favoritnya ini juga tidak ada di setiap cafe, restaurant, taman, dan
perpustakaan tempat Josh biasa mengerjakan naskah seperti yang diketahui wanita
bernama Antiokhia Dean ini. Josh tidak membalas e-mailnya, tidak mengangkat
teleponnya, juga tidak membalas SMS-nya.
Sudah
sejak enam bulan lalu Josh uring-uringan untuk membahas novel terbarunya.
Permintaan pasar yang menginginkan cerita romantis membuat Josh menyerah
sebelum berperang. Josh benci membaca cerita cinta apalagi menulisnya. Karena
baginya, cinta itu tidak bisa dituliskan di atas kertas, dan menghasilkan uang
untuknya. Josh tidak merasa ingin mengganti cerita dalam novelnya kali ini,
atau menambahkannya dengan bab berisi kisah cinta. Seperti biasainya, salah
satu penulis pria yang sudah terkenal ini memutuskan untuk membuat pemeran
utamanya yang lagi-lagi detektif, mati dalam dinginnya kasus misteri yang sedang
ditanganinya, tanpa kisah cinta apapun.
“Apa
kau bisa menghubunginya?” Tanya Anti pada Viena, asistennya.
“Sepertinya
Josh sengaja menghindari kita.” Ujar Viena. “Apa benar bos marah saat
mengetahui tokoh utamanya mati tanpa ada hubungan cinta dalam ceritanya?” Tanya
Viena untuk kesekian kalinya pada Editor yang dikenalnya sebagai Editor kejam.
“Tidak
untuk yang masalah pemeran utama mati.” Ujar Anti akhirnya. “Bos besar kesal
karena sudah delapan belas novel Josh selalu tidak ada tokoh utama wanita atau
cerita cintanya.” Ujar Anti lagi.
“Ah,
kenapa susah sekali meminta Josh membuat cerita yang ada cinta-cintaannya?”
Keluh Viena.
“Aku
juga tidak mengerti kenapa rasanya sulit sekali membujuknya menulis satu sesi
saja di mana tokoh utamanya memiliki hubungan cinta. Seluruh novelnya selalu
menggambarkan tokoh kesepian yang tidak memiliki kekasih. Akhir dari ceritanya
juga sudah terbaca. Tokoh utama akan mati pada kasus terakhir tanpa berhasil
menyelesaikan hipotesanya.” Ujar Anti terus bicara sambil mengangkat gagang
teleponnya.
Viena
hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan editor wanita yang dikenal
prefeksionis itu.
“Ah,
kenapa kau tidak mengangkatnya juga sih?” Pekik Anti pada gagang teleponnya
yang mengeluarkan suara wanita yang menyatakan nomor yang dihubungi Anti sedang
tidak aktif, atau berada di luar area.
Sebelum
keluar dari ruangan itu, Viena memberikan sebuah amplop cokelat ke arah Anti.
Anti membuka amplop itu dan menemukan sebuah naskah yang terlihat biasa-biasa
saja, bahkan tidak ada nama pengarang dan judul di halaman depannya.
“Apa
ini?” Tanya Anti dengan suara kerasnya sebelum Viena menutup pintu.
Viena
berbalik sebentar lalu berusaha tersenyum. “Bacalah dulu.” Ujar Viena.
“Apa
kau berencana jadi penulis juga?” Tanya Anti sambil mengeluarkan naskah itu
dari amplop.
“Teman
ku yang menulisnya.” Ujar Viena. “Dia menulis fanfic di blog pribadinya dan
beberapa waktu lalu menulis cerpen untuk majalah kita. Itu adalah novel
pertamanya.” Viena menerangkan sambil meremas-remas ujung kemeja yang dikenakannya
untuk mengurangi kegugupannya.
“Lalu?”
Tanya Anti dengan nada sinis.
“Kalau
kau tidak suka, kau bisa membuangnya.” Ujar Viena sambil tertunduk. “Sudahlah.
Jangan pedulikan.” Ujarnya lagi sambil cemberut.
Anti
menghela nafas karena melihat asistennya itu seperti sedang bersungut-sungut.
“Aku akan membacanya. Meskipun kau tidak menaruh profile penulis, setidaknya
kau menaruh nama penulisnya dan judulnya, kan?” Tanya Anti.
Viena
baru menyadari kalau dirinya terlupa akan hal itu. “Maaf aku lupa.” Ujar Viena
sambil menyengir dan kembali melangkah ke arah meja atasannya.
“Tulis
saja di post-it.” Ujar Anti.
“Oke.”
Ujar Viena sambil menulis nama pengarang dan judul karangan yang diberikannya
tadi, lalu pergi dari ruangan itu.
Anti
kembali mencoba menghubungi Josh tanpa mempedulikan post it yang ditulis Viena.
Kali ini dia mencobanya dari ponsel. Tampaknya, menghubungi Josh akan jadi
pekerjaan rutinnya selama beberapa hari ini. Teman semasa kuliahnya ini memang
pria yang keras kepala di mata Anti. Menulis cerita cinta mungkin memang bukan
keahlian Josh. Tetapi, melihat Josh menolak untuk menulis cerita mengenai cinta
walau hanya di satu sesi pada bab novelnya tanpa alasan apa-apa membuat Anti
kesal. Anti tidak tahu harus mengatakan apa pada bosnya jika Josh tidak
memberikan alasan yang masuk akal.
***
Cleo
membuka panci berisi air mendidih dan memasukan mie instan ke dalamnya. Melihat
makanan yang tersaji di atas meja yang sudah disiapkan pembantunya justru
membuat Cleo tidak berselera makan. Sudah lama Cleo merindukan masakan buatan
Mamanya, tetapi tetap saja Mamanya sepertinya sudah tidak memiliki waktu untuk
menyiapkannya makanan untuknya. Cleo selalu berpikir mungkin Mamanya sudah
tidak mempedulikannya lagi. Cleo merasa keluarganya sudah tidak harmonis seperti
dulu lagi ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Papanya
kini sibuk bekerja. Sementara, kedua adiknya lebih sering bermain di luar rumah
sepulang sekolah, atau kampus.
Cleo
melirik ke sekeliling rumahnya yang besar dan mewah. “Sepi sekali. Dulu rumah
tidak sebesar ini, tapi kami selalu berkumpul.” Desis Cleo seolah bicara pada
dirinya sendiri. Mungkin itu adalah kata-kata yang ingin disampaikan Cleo pada
keluarganya.
Cleo
segera duduk setelah menyajikan semangkuk penuh mie instan untuk dinikmatinya
sendiri. Wanita itu beberapa kali meniup mie instan yang diangkatnya dengan
garpu sebelum melahapnya. Seperti hari lainnya, Cleo tidak menyentuh makanan
yang tersedia di atas meja. Hanya meliriknya saja bisa membuat Cleo teringat
masa lalunya dan kebersamaan keluarganya, dan itu membuat Cleo merasa semakin
kesepian.
“Benar-benar
membosankan.” Desis Cleo lagi.
Tidak
ada teman untuk berbicara. Tidak ada orang lain yang merespon kata-katanya.
Setiap hari hanya menghabiskan waktu seharian untuk menulis dan bermain.
Suasana rumah yang dingin itu terkadang membuat Cleo tidak tahu harus melakukan
apa. Itu sebabnya, Cleo hanya menghabiskan waktu di kamarnya sendiri dan
menyibukkan dirinya sebisa mungkin. Meskipun, terkadang wanita ini merasa seperti
seorang putri yang terkurung di dalam istananya.
Cleo
kembali ke kamarnya dan melirik DVD yang di pause olehnya dan di layar TV masih
ada wajah Jun Matsumoto yang akan berciuman dengan tokoh utama wanita dalam
film tersebut. Cleo merebahkan dirinya di atas ranjang dan menutup kedua
matanya. Khayalannya terbang entah ke dimensi mana, yang pasti ada Jun
Matsumoto dalam khayalannya itu. Wajah Jun Matsumoto yang tersenyum muncul di
dalam pikiran Cleo. Jun Matsumoto seolah mencoba menjangkau tangannya yang terulur
ke depan dalam impiannya.
“Jun.”
Desis Cleo lagi.
Steve
yang berdiri di beranda kamarnya segera memanggil Josh yang ada di dalam
kamarnya, seolah ingin membagi berita besar dengan teman dekatnya itu.
“Oi,
Josh.” Panggil Steve.
“Kenapa?”
Tanya Josh.
Steve
menunjuk ke arah jendela kamar Cleo yang sejak tadi masih terbuka. Pemandangan
di dalam kamar Cleo yang menunjukan Cleo tidur di atas ranjang sambil
menggapaikan tangannya ke atas seolah mencoba meraih sesuatu terlihat dengan
jelas dari beranda kamar Steve. Kedua pria itu berpandangan sesaat dan terkikih
melihat ulah Cleo. Namun, mereka tetap mencoba menahan suara tawa mereka yang
mungkin akan terdengar Cleo.
“Apa
tetangga mu itu baik-baik saja?” Tanya Josh sambil menahan tawa.
“Entahlah.
Aku rasa dia memang sakit jiwa.” Balas Steve, lalu menutup mulutnya dengan
tangan kanannya.
Cleo
masih sibuk mengkhayalkan Jun Matsumoto yang meraih tangannya dan memeluknya
dengan erat. Meskipun kenyataannya Cleo sendiri menarik bantal guling dan
memeluknya dengan kencang, seolah memeluk Jun Matsumoto yang ada dalam
khayalannya. Cleo meneruskan dengan mencium bantal gulingnya dengan mesra
seperti sedang mencium Jun Matsumoto di dalam pikirannya. Hal itu membuat Josh
dan Steve tertawa terbahak-bahak, hingga Cleo akhirnya menyadari ada orang lain
yang sedang memperhatikannya. Cleo segera bangkit dari tempat tidurnya dan
melirik ke arah beranda kamar tetangganya. Cleo segera mendekati jendela
kamarnya yang terbuka lebar dan mendapati Steve sedang tertawa seorang diri.
Josh
sudah menunduk, bersembunyi saat menyadari Cleo bangkit dari tidurnya. Steve
yang belakangan sadar, tertangkap basah oleh Cleo saat sedang tertawa
terbahak-bahak sendirian. Cleo tidak mengerti apa yang dilakukan oleh Steve.
Steve segera berpura-pura melambaikan tangan. Cleo terkejut melihat anak
tetangga sebelah rumahnya itu melambaikan tangan ke arahnya seolah sedang
menyapanya. Cleo segera bersembunyi di balik gordyn, dan mencoba mengintip ke
arah Steve. Steve semakin tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Cleo yang
semakin aneh baginya. Cleo akhirnya berlari ke arah luar kamarnya dan menuruni
tangga. Sementara, Steve terpingkal-pingkal sendirian di balkon karena Josh
sudah merangkak masuk ke kamar Steve.
“Kau
lihat itu?” Tanya Steve di antara tawanya.
“Kau
keterlaluan.” Ujar Josh. “Jangan mempermainkan tetangga mu sendiri.” Ujar Josh
lagi.
Cleo
berjongkok sendirian di ruang tengah rumahnya sambil mengingat pria yang
tertawa terbahak-bahak, seorang diri pula tanpa menyadari penyebabnya. Cleo
segera mengusap kedua pipinya kemudian memeluk kedua kakinya yang tertekuk di
depan dadanya.
"Aneh
sekali orang itu. Apa dia gila?" Tanya Cleo pada dirinya sendiri sambil
bergindik.
***
Anti
berjalan ke arah pantry dan membawa naskah yang baru saja diberikan Viena
padanya. Cerita tentang cinta yang cenderung menyedihkan seperti roman picisan.
Anti tidak begitu menyukai cerita jenis ini. Tapi, entah mengapa novel seperti
ini yang biasanya akan mendapatkan respon positif dari pembaca. Anti baru
membaca setengah dari naskah itu secara acak. Viena senang melihat Anti yang
serius membaca karya temannya.
Walaupun
terkadang Anti terkesan bossy dan menyebalkan, dibalik pandangan itu, Viena
mengagumi atasannya yang duabelas tahun lebih tua darinya itu. Anti bekerja
dengan serius dan akan menanggapi setiap cerita yang dibacanya dengan jujur.
Viena yakin Anti memiliki radar untuk mencari naskah yang akan laris di
pasaran. Tapi, Viena tidak mengerti
mengapa Anti masih mempertahankan Joshia Alexander yang penjualan karyanya tidak
pernah meroket. Sampai hari ini, Viena terus berasumsi, kalau Josh bertahan
sebagai penulis, dan karyanya bisa terus mendapatkan sokongan dari perusahaan
mereka hanya karena Josh adalah teman dekat Anti. Sementara, Anti adalah cheif
editor senior yang juga penulis andalan di perusahaan ini.
"Bagaimana?"
Tanya Viena saat Anti melewatinya.
Anti
menganggukan kepalanya dan menatap tajam ke arah Viena. Hal itu mengejutkan
Viena. Wanita itu memundurkan kursi yang didudukinya menjauh ke belakang saat
Anti menatapnya dengan wajah serius.
"Apa
kau tidak suka ceritanya?" Tanya Viena.
Anti
belum juga menjawab pertanyaan Viena. Anti berjalan berputar-putar di depan
meja Viena, tetapi matanya terpaku pada lembaran naskah yang dipegangnya.
"Bagaimana
menurut mu sendiri?" Tanya Anti.
Viena
terdiam sesaat setelah Anti balik bertanya padanya.
"Bagus."
Ujar Viena. "Ceritanya mengenai wanita dan pria yang sempat berpisah
karena hubungan mereka yang ditentang. Namun, mereka bertemu kembali di reuni
sekolah saat pemeran utama pria sudah mengetahui dirinya akan meninggal
beberapa bulan kemudian, karena mengidap AIDS. Menurut ku ceritanya sedih. Tapi
sangat menyentuh." Ujar Viena lagi sambil menyentuh dadanya sendiri.
"Aku
rasa kau mulai memiliki radar pencium untuk menentukan cerita yang laris."
Ujar Anti.
Viena
tersenyum senang mendengar pujian dari Anti yang terkenal jarang memuji.
"Apa
kau mau memakainya?" Tanya Viena.
"Tidak."
Jawab Anti secepatnya.
Viena
baru saja merasa senang, kini dengan cepat Anti memutarbalikan perasaannya. Ini
biasa terjadi. Dalam pikiran Viena, Anti memang tidak akan membiarkannya senang
lebih lama lagi.
"Kenapa?"
Tanya Viena.
"Aku
tidak melihat ceritanya fokus. Membacanya tidak akan menarik jika semua hal
sudah bisa ditebak sejak awal." Anti menjelaskannya dengan singkat dan
jelas.
"Apa
benar-benar tidak menarik?" Desis Viena.
Anti
tertawa sinis. "Kalau semua orang bisa membuat cerita menarik, maka semua
orang bisa menjadi penulis novel hebat." Ujar Anti. "Katakan pada
teman mu untuk jangan banyak mengkhayal mengenai cinta. Kalau dia tidak pernah
tahu apa itu ciuman, sebaiknya jangan menggambarkan sesuatu seperti itu dengan
seenaknya." Ujarnya lagi.
Viena
hanya bisa terdiam melihat Anti masuk kembali ke ruangannya. Anti mengatakan
dengan jelas mengenai komentarnya pada naskah itu. Sebenarnya tak ada yang
salah dari pendapat Anti kecuali satu hal bag Viena, yaitu cara penyampaiannya
yang terlalu jujur.
"Ah,
dasar nenek sihir." Desis Viena saat Anti masuk ke ruangannya.
Anti
kembali duduk di depan komputernya dan mengetik e-mail untuk Josh. Kali ini,
Anti tidak bisa membantu temannya itu mendapatkan persetujuan dari bosnya untuk
mempublikasikan karya novel detektif terbaru yang dikirimkan Josh. Anti segera
mengirimkan e-mail berisi penolakan naskah novel berjudul Mr. E itu. Meskipun,
cerita kali ini adalah cerita terbaik Josh menurut Anti.
"Gomen
ne." Desis Anti sambil menekan mousenya. "Apa boleh buat, aku tidak
mungkin membiarkan mu kehilangan kesempatan. Tapi, kau sendiri tidak ingin
disebut sebagai penulis yang hanya menggantungkan harapan pada koneksi,
kan?" Ujar Anti sambil melirik foto Josh dan dirinya saat berwisata ke
Osaka bersama Steve dan anak laki-lakinya, Junior.
Anti
memang berteman akrab dengan Josh. Tapi, sepertinya kata 'teman' itu hanya ada
di pikirannya saja. Josh seringkali tidak mau membicarakan masalah pribadinya
pada Anti. Tidak seperti wanita yang sudah menjadi editor selama limabelas
tahun ini, yang tidak memiliki rahasia apa pun pada Josh. Empatbelas tahun
lalu, saat Anti memutuskan untuk memilih inseminasi buatan dan melahirkan
seorang anak tanpa menikah, Josh-lah yang membantu wanita ini untuk mendapatkan
sperma. Josh adalah orang yang menandatangani form persetujuan untuk Anti agar
bisa memiliki anak.
Anti
terkadang merasa mereka bukanlah teman seperti yang dipikirkannya. Sejak awal
mengenal Josh, Anti selalu merasa Josh yang akan selalu menolongnya. Tapi, Josh
tidak mau menerima apapun dari Anti untuk membalas kebaikannya pada Anti.
Bahkan, Josh menolak kata terima kasihnya, atau pertolongan balasan yang ingin
Anti lakukan untuk Josh. Dalam pemikiran Anti, teman seharusnya saling membantu
dan saling peduli satu sama lain. Jika hanya satu orang saja yang terus
menerima tanpa memberi, baginya itu tidak terlihat seperti teman.
***
“Apa
di rumah baik-baik saja?” Tanya Josh pada Mamanya di ujung telepon.
“Kau
tahu, orang dari penerbit mencari mu. Anti juga datang ke rumah kemarin dan
hari sebelumnya. Sebenarnya ada apa? Kenapa kau tidak mendatangi kantor penerbit?
Apa ada masalah?” Tanya Mamanya segera tanpa mempedulikan pertanyaan sang anak.
“Jangan
pikirkan mereka, Ma.” Keluh Josh. “Aku tidak menanyakan soal mereka. Tapi,
menanyakan kalian. Apa Papa dan Mama baik-baik saja?” Tanya Josh.
Sang
Mama segera membalas dengan suara yang dipaksakan keluar. “Ba..ik.” Ujar
Mamanya.
“Kalau
begitu ya sudah.” Ujar Josh. “Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menginap di
tempat Steve. Mama dan Papa akan baik-baik saja, kan? Sudah dulu ya.” Lanjut
Josh mengakhiri pembicaraannya dengan sang Mama.
Josh
menaruh ponselnya kembali di atas meja, dan merogoh saku belakang celananya,
mengeluarkan dompet yang sudah lusuh dari sana. Josh melirik foto lama yang
disimpannya dengan sangat hati-hati di dalam dompetnya. Setiap kali memandangi
foto tersebut, Josh merasa ada seseorang yang akan segera datang saat dirinya
berteriak meminta pertolongan. Foto Almarhum Kakaknya, yang juga tunangan dari
editornya Anti. Di balik foto ada lima lembar kertas yang sudah menguning
berisi tulisan tangan Kenta yang terakhir. Josh duduk di pojok kamar Steve
seorang diri, dan meletakan lembaran kertas yang disimpannya selama ini di atas
kedua belah pahanya yang menekuk. Sudah sekian lama di simpan di dalam
dompetnya, tulisan pada kertas mulai terlihat memudar. Namun, Josh masih dapat
membacanya dengan pasti. Bahkan, Josh hafal seluruh bagian cerita yang ditulis
sang Kakak untuk orang spesialnya itu.
Jika
tidak ada Almarhum Kenta Jo, saat ini dirinya pasti tidak akan menjadi penulis
novel. Kenta adalah kakak laki-laki Josh yang meninggal limabelas tahun lalu di
arena motor saat sedang bertanding. Kenta menjalin kasih dengan Anti saat itu.
Di arena pertandingan terakhir sang kakak, mereka bertemu dan berfoto untuk
terakhir kalinya. Saat itu, Kenta juga meminta Josh untuk mentranslasikan
sebuah cerita pendek ke dalam bahasa Jepang yang ditulis Kenta untuk Anti, yang
kebetulan berkuliah bahasa Jepang di tempat yang sama dengan Josh.
Cerita
pendek mengenai bagaimana Kenta bertemu dengan Anti, kemudian kencan pertama
Anti dan Kenta, dilanjutkan dengan ciuman pertama mereka, lalu pertama kali
mereka bertengkar dan mencoba untuk berpisah, hingga pernyataan cinta resmi
berupa lamaran bertunangan dari Kenta pada Anti di depan kampus. Hari itu,
sebelum Kenta menyelesaikan pertandingannya, Kenta terjatuh dan terlindas motor
lain di depan mata Josh dan Anti yang menonton pertandingannya. Anti berteriak
histeris saat Kenta terjatuh dan berusaha masuk ke lintasan arena pertandingan.
Anti bahkan memukul beberapa petugas yang menghalanginya saat melihat Kenta
terlindas motor dibelakangnya yang tidak berusaha menghindari tubuh Kenta yang
tergeletak di lintasan.
Saat
penuh emosi itu, membuat Josh tersadar betapa Anti mencintai Kakaknya. Hingga
saat terakhir Kenta dirawat di rumah sakit, Josh dapat melihat bagaimana cinta
tulus Anti pada sang Kakak. Josh juga tahu alasan lain Anti tidak ingin
menikah. Selain karena Anti tidak pernah ingin menikah sejak kecil disebabkan
traumanya pada pernikahan kedua orangtua Anti, wanita itu juga mengatakan pada
Josh bahwa, tidak akan ada pernikahan bagi dirinya jika mempelai prianya
bukanlah Kenta.
Saat
itu mendengar pernyataan Anti, Josh berpikir bahwa cinta tidak bisa dituliskan
di atas kertas, melainkan harus ditunjukan dan dibuktikan dalam kenyataan.
Setiap kali memandangi kertas penuh cerita yang ditulis Kenta, yang tidak
ditranslasikan Josh untuk Anti hingga detik ini, Josh merasa sesak. Josh tidak
bisa mentranslasikan cerita itu untuk Anti, karena takut Anti akan merasa sedih
saat membacanya. Josh juga menyembunyikan kertas ini dari Anti, agar wanita itu
tidak teringat pada Kenta di saat memulai kehidupan barunya sebagai seorang ibu
dari anak hasil inseminasi.
Lamunan
panjang Josh membuat Steve yang sejak awal sibuk dengan chattingnya, mulai mengalihkan
perhatian pada temannya yang berlutut di pojok kamarnya.
“Apa
itu?” Tanya Steve. “Kertas itu lagi.” Desis Steve saat menyadari benda yang
digengam erat Josh.
“Aku
tidak tahu harus mengatakan apa pada Anti.” Ujar Josh.
“Kenapa
dengan editor mu itu?” Tanya Steve. “Sebenarnya itu kertas apa?” Tanya Steve.
“Aku
pernah cerita kalau Anti itu adalah calon kakak ipar ku kan?” Tanya Josh.
Steve
mengangguk. “Kau bilang, waktu aku kuliah di Australia, kau mengenalkan Anti
pada Almarhum kakak mu, lalu mereka melanjutkan hubungan hingga hampir
menikah.” Ujar Steve.
“Tiga
hari lalu, saat bertemu dengan Anti di kantor untuk mengantarkan naskah novel,
aku melihat dia baru saja kembali makan siang dengan seorang pria.” Ujar Josh.
“Lalu?”
Tanya Steve yang bingung dengan perkataan Josh.
“Aku
kesal padanya.” Ujar Josh lagi.
Steve
mengernyitkan keningnya. “Kenapa? Apa editor mu itu tidak biasanya makan siang
dengan pria?” Tanya Steve. “Kau menyukai editor mu?” Tanya Steve segera.
Steve
selalu menduga Josh menyukai Anti. Sehingga cerita Josh dianggap seperti
rengekan cemburu Josh, karena Anti makan siang dengan pria lain.
Josh
menatap Steve dengan tatapan kesal. “Aku tidak ada hubungan seperti itu
dengannya.” Ujar Josh mencoba meluruskan cerita.
Steve
hanya mengangguk, tapi terlihat seperti tidak yakin dengan kata-kata Josh. Josh
menghela nafas dan bangkit dari duduknya mendekati Steve.
“Dengar,
cerita ku belum selesai.” Keluh Josh.
Steve
mencoba mendengarkan kembali Josh. “Baiklah. Teruskan cerita mu.” Ujar Steve.
“Anti
tidak pernah makan siang hanya berdua dengan pria lain, selain dengan aku atau
anak laki-lakinya. Dia biasanya akan membawa Viena atau asisten lainnya. Dia
selalu bilang, wanita akan mendapati dirinya sebagai target gosip saat pergi
hanya berdua dengan seorang pria. Jadi, dia tidak pernah mau melakukan hal
seperti itu. Tapi, kemarin dia melakukannya.” Ujar Josh.
“Melakukan
apa? Hanya makan siang, apa salahnya?” Tanya Steve. “Seperti yang aku bilang
kemarin, dia masih cantik dan seksi, pria mana pun bisa saja jatuh cinta
padanya. Apa salahnya editor mu berkencan dengan pria lain.” Ujar Steve.
“Itu
tidak seperti biasanya saja.” Desis Josh. “Itu sebabnya, tiga hari lalu aku
menyangka kalau dia sedang kencan dengan pria itu.” Ujar Josh.
“Jadi?
Aku benar kan, kau cemburu?” Tanya Steve.
Josh
menghela nafasnya lagi. Sepertinya Steve tidak pernah berhenti mencurigai
hubungannya dengan Anti yang diakui mereka hanya sebatas teman sejak kuliah.
“Aku
tidak cemburu.” Ujar Josh.
“Lalu,
kenapa kau begitu menganggap penting hal seperti itu?” Tanya Steve.
“Dia
pernah bilang, kalau bukan dengan kakak ku, dia tidak akan menikah.” Ujar Josh
akhirnya.
Steve
mengerutkan dahinya dan mencoba mengerti kata-kata Josh. “Lalu?” Tanya Steve.
“Berubah pikiran itu hal yang biasa terjadi pada manusia. Apa editor mu itu
bukan manusia?” Tanya Steve.
“Ya,
manusia memang suka berubah pikiran.” Desis Josh. “Aku mulai merasa, sepertinya
aku terlalu egois untuk berharap Anti tidak akan menikah seumur hidupnya.” Ujar
Josh.
Steve
tertawa kecil. “Anti juga manusia. Setiap manusia membutuhkan seseorang untuk
bersandar dan mengeluh sesekali. Apalagi dia wanita yang memang tidak menikah.
Sudah empatpuluh tahunan, tidak menikah, kau tidak tahu kalau mungkin saja dia
kesepian.” Ujar Steve.
“Tapi,
ada Junior yang menemaninya selama ini. Kenapa kesepian?” Pikir Josh sambil
bergumam sendiri. “Aku tidak pernah marah pada Anti selama belasan tahun
mengenalnya. Tiga hari lalu, aku baru mengatakan hal yang benar-benar buruk dan
jahat padanya. Dia pasti masih marah pada ku.” Desis Josh lagi.
“Junior
adalah anaknya. Biar bagaimana pun, seorang wanita membutuhkan seorang pria di
sisinya.” Desis Steve. “Memangnya apa yang kau katakan?” Tanya Steve.
Josh
tidak menjawabnya. Steve menunggu cukup lama agar pria yang dikenalnya sejak
Sekolah dasar ini mau bercerita. Josh memang bukan tipe orang yang ingin
ber-curhat ria seperti umumnya teman lain yang dikenal Steve. Hal yang biasa
jika melihat Josh tidak menjawab pertanyaannya seperti saat ini. Josh menghela
nafasnya lagi dan keluar dari kamar Steve tanpa sepatah kata pun.
Ingatan
Josh kembali pada saat tiga hari lalu, dirinya menunggu Anti di ruang kerja
Anti untuk mengantarkan naskah terbarunya. Saat itu, Anti tertawa berjalan
masuk bersama seorang pria yang terlihat lebih muda darinya. Saat menyadari
keberadaan Josh di ruangan itu, Anti segera memperkenalkan Josh dengan teman
barunya, Edy yang juga penulis muda berbakat, menurut Anti. Josh hanya terdiam
saat Anti berbincang dengan Edy sambil bercanda tawa. Josh tetap duduk di kursi
yang berada di depan meja kantor Anti, meski Anti mengajak Josh untuk
berbincang bersama Edy di sofa yang terletak di belakang ruang kantor Anti.
Josh terus memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Edy yang akhirnya pamit dan
meninggalkan ruangan Anti.
“Ada
apa? Kenapa hari ini seperti mayat hidup? Apa kau tidak bisa lebih ramah
sedikit saja pada tamu ku?” Tanya Anti.
Josh
tetap terdiam dan tidak bergeming sedikit pun untuk menjawab pertanyaan Anti.
“Ini
naskah mu?” Tanya Anti. “Kau baik-baik saja?” Tanya Anti lagi sambil
mengarahkan telapak tangannya pada kening Josh, seolah memeriksa suhu tubuh
Josh.
Josh
menangkis tangan Anti dan menatap wanita itu dengan tatapan kesal. “Kau
berpacaran dengan bocah ingusan tadi?” Tanya Josh begitu saja sambil berdiri di
hadapan Anti seolah ingin menunjukan bahwa dirinya sedang marah.
“Kenapa
jadi bertanya seperti itu?” Tanya Anti. “Edy adalah penulis baru yang akan ku
tangani. Bukankah tadi aku sudah mengatakannya?” Tanya Anti lagi.
“Apa
kau harus makan siang berdua dengannya? Bukankah kau sendiri yang bilang, kau
tidak mau berduaan dengan pria, karena harus menghindari gosip. Kau merasa muak
karena sudah banyak gosip sebelumnya tentang mu. Jadi, apa kau dan bocah
ingusan itu berkencan, dan kau ingin mengatakannya ke seluruh dunia kalau
kalian sedang jatuh cinta?” Pekik Josh.
Anti
tertawa sinis dan menghela nafas saat Josh menyentuh kedua bahunya dengan
genggaman keras. Tangan Josh yang bergetar memperlihatkan kekesalan dan
kemarahan Josh yang tertahan dalam hatinya. Anti segera menatap mata Josh
dengan tegas.
“Aku
tidak berkencan. Jangan berdelusi.” Ujar Anti segera.
“Kalau
begitu, kenapa kau harus makan siang dengan bocah ingusan itu, bercanda seperti
tadi. Benar-benar terlihat konyol. Kau ingin semua orang melihat mu dengan
bocah itu?” Tanya Josh. “Kau benar-benar ingin dianggap sebagai pelacur?” Tanya
Josh.
Pertanyaan
Josh seperti menginjak harga diri Anti. Kekesalan Anti tidak kalah dari Josh
saat ini. Anti menghela nafasnya lagi, lalu menepis kedua tangan Josh.
“Aku
juga manusia biasa, Josh. Aku butuh teman untuk bercerita, teman yang bisa
mengerti aku dan bisa menemani ku saat aku membutuhkan orang untuk sekedar
menyadarkan ku kalau aku tidak sendirian di dunia ini.” Ujar Anti. “Aku tidak
mengerti kenapa kau marah-marah seperti ini. Kalau kau memang sedang begitu
sensitifnya, lebih baik hari ini kau menyuruh Steve untuk mengantarkan naskah.”
Ujar Anti lagi.
“Kau
lebih suka Steve yang mengantarkannya? Apa kau begitu kesepiannya? Kau
mengirimkan e-mail yang mengganggu setiap hari untuk ku, sms, telepon, tanpa
peduli jam berapa itu, atau apakah aku sedang senggang. Apa semua itu tidak
cukup? Apa kau sebegitu kesepiannya?” Tanya Josh. “Apa kau berpikir untuk
memiliki suami sekarang?” Tanya Josh lagi.
Anti
yang duduk di kursi kerjanya menatap Josh dengan pandangan dingin. Anti seperti
kehabisan kata-kata, dan tidak tahu mengapa Josh tiba-tiba marah padanya. Anti
mencoba menahan kemarahannya yang tidak ingin dilampiaskannya karena takut
perbuatannya itu akan disesalinya nanti. Anti juga tidak ingin merusak hubungan
pertemanan mereka selama ini.
“Tidak.”
Ujar Anti. “Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan pria mana pun. Kau tidak
perlu khawatir, aku tidak pernah mengkhianati Kenta.” Ujar Anti berusaha
setenang mungkin menjawab pertanyaan Josh yang masih terlihat marah. “Aku juga
akan berhenti menghubungi mu, kalau itu mengganggu mu.”
Ekspresi
Josh seolah tidak percaya dengan kata-kata Anti saat itu. “Benarkah?” Tanya
Josh.
Anti
mencoba tersenyum kecil. “Aku sudah bilang, bukan? Aku tidak akan menikah kalau
mempelai prianya bukanlah Ken.” Ujar Anti yang sebenarnya teringat pada kisah
cintanya yang telah usai dengan Pria bernama Kenta, setelah pria itu meninggal
dunia.
Josh
masih tidak mempercayai kata-kata Anti yang baginya terlihat sedang berbohong.
“Kau mengatakan hal itu, hanya agar terlihat setia di depan kakak ku kan? Kenta
sudah meninggal dan hal yang biasa jika seorang wanita berpaling pada pria
lain. Apalagi kau punya anak, tapi tidak punya suami. Kau hanya akan mengatakan
kalau kau ingin memberikan ayah untuk Jun.” Desis Josh tanpa mempedulikan
perasaan Anti lagi.
Anti
merasa kesal dan tidak bisa menerima perkataan Josh yang seolah menghakiminya
sebagai seseorang yang berpura-pura terlihat baik dan setia. Anti menekan kedua
rahangnya yang nyaris memaki pria yang baru saja merusak moodnya hari ini. Pria
ini bahkan sudah merendahkannya tanpa alasan yang jelas, ketika Anti berusaha
menundukan kepala menghormati hubungan pertemanan mereka.
“Aku
memang tidak punya suami.” Ujar Anti sambil menatap tajam pada Josh.
Josh
sepertinya baru menyadari kalau perkataannya sudah keterlaluan, dan menyakiti
perasaan Anti. Josh terdiam tanpa bisa mengatakan apa-apa.
“Aku
memang tidak punya suami.” Ulang Anti. “Maaf kalau aku begitu mengganggu. Mulai
sekarang, kita tidak perlu saling berhubungan, kecuali untuk pekerjaan. Kau
hanya perlu mengabaikan ku saat aku mengirim berita mengenai Jun, atau hal lain
yang bersifat pribadi.” Ujar Anti. “Tidak. Salah.” Anti menggelengkan kepalanya
sendiri dan menghela nafas untuk kesekian kalinya. “Aku tidak akan mengganggu
mu, dan kau tidak perlu takut kalau aku akan berubah pikiran masalah
pernikahan.” Ujar Anti lagi.
“Anti...”
Desis Josh yang serba salah.
Josh
menyesal sudah melepaskan emosinya begitu saja. Anti bukanlah orang yang bisa
berubah begitu saja. Josh menyadari kalau dirinya telah melakukan kesalahan
dengan menuduh Anti akan berkhianat pada kata-katanya sendiri untuk tidak
menikah. Josh bahkan mengeluarkan kata-kata kasar dan menghina Anti. Sekarang,
Anti balik marah padanya. Anti pasti melakukan apa yang dikatakannya seperti
selama ini, dan hal itu membuat Josh takut. Josh merasa takut, kalau suatu saat
Anti akan memutuskan hubungan pertemanan mereka.
“Keluarlah
kalau sudah tidak ada urusan lagi. Aku akan meminta Viena menghubungi mu kalau
naskah mu disetujui oleh bos.” Ujar Anti sambil membuka beberapa lembaran
naskah lain yang sudah ada sejak tadi di atas mejanya.
Anti
berusaha tidak memperlihatkan kemarahannya. Tapi, ini justru yang ditakutkan
Josh. Saat Anti berubah menjadi wanita dingin yang tidak memiliki senyum sama
sekali. Anti akan jadi terlihat menyebalkan dan membuat orang marah dengan
wajah dinginnya itu, tanpa harus melakukan hal lain untuk membuat orang yang
melihatnya kesal. Selama ini, Anti tidak pernah melakukan hal itu pada Josh.
Cukup satu kali saja Anti marah. Siapa pun yang membuatnya kesal maka akan
diperlakukan dengan dingin oleh wanita itu, dan mereka yang diperlakukan
seperti itu akan merasa kesal dan tak
berdaya. Josh sering melihat Anti seperti itu pada beberapa orang lain, tetapi
tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh Anti.
Josh
kembali berpikir entah bagaimana dia menghadapi Anti kalau mereka bertemu lagi.
Anti memang menghubunginya berulang kali sejak dua hari lalu. Tapi, Josh tidak
tahu harus bicara apa saat dia menerima telepon dari editornya itu. Akhirnya,
Josh memutuskan untuk mengabaikan telepon itu. E-mail dan SMS yang masuk ke
ponselnya pun tidak di balas oleh Josh. Baru saja e-mail dari kantor Anti masuk
ke inbox Josh. Josh memutuskan untuk membacanya.
“Apa
itu e-mail dari Anti?” Tanya Steve. “Apa isinya?”
“Dia
bilang naskah ku ditolak untuk naik cetak.” Ujar Josh sambil membaca e-mail
dari kantor penerbit buku yang selama ini menerbitkan novel karyanya.
“Apa?”
Tanya Steve. “Ditolak? Kau yakin tidak salah baca?” Tanya Steve lagi.
Josh
menunjukkan e-mail yang dibacanya dari layar ponselnya. “Kau baca saja
sendiri.” Ujar Josh sambil menyodorkan Ponselnya pada Steve.
“Apa
mereka tidak salah? Ini karya mu yang paling bagus menurut ku. Anti juga
berpikir sama waktu kau memberikan plot awalnya kan? Tapi, kenapa harus ditolak
kalau masalahnya hanya tidak ada cerita cinta dalam novel mu?” Tanya Steve.
“Atau, jangan-jangan ini karena hal yang terjadi tiga hari lalu.” Tebak Steve.
“Anti
bukan orang seperti itu.” Ujar Josh.
“Aku
kan sudah bilang. Anti itu manusia juga. Dia pasti sudah berubah.” Ujar Steve.
“Kenapa kau begitu yakin dia tidak akan menolak naskah mu setelah kau
meributkan masalah dia berkencan dengan penulis lain?” Tanya Steve.
“Dia
tidak akan seperti itu.” Ujar Josh. “Pekerjaan adalah hal yang berbeda dengan
kehidupan pribadi untuk Anti.” Ujar Josh.
“Dia
kan wanita. Sama seperti wanita lain, terkadang wanita tidak menggunakan
logikanya melainkan mendahulukan perasaannya.” Ujar Steve.
“Dia
memang wanita. Tapi, dia bekerja seperti seorang pria.” Ujar Josh akhirnya.
“Wanita.” Desis Josh lagi.
“Kenapa?
Kau baru sadar kalau Editor mu itu juga seorang wanita?” Tanya Steve.
“Tapi,
aku tahu dia tidak akan menolak naskah ku begitu saja, hanya karena masalah
pribadi.” Ujar Josh dengan yakin.
Steve
hanya menganggukan kepalanya seolah mengerti. Walaupun, dalam hatinya Steve
tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Josh. Bagi Steve, semua wanita sama
seperti wanita lain yang dikenalnya. Tidak ada wanita yang akan menggunakan
logika lebih dahulu kalau perasaannya sudah bicara. Steve yakin, ada sesuatu
yang besar terjadi pada Josh dan Anti tiga hari lalu. Menurut Steve, hal itulah
yang pastinya menjadi penyebab hari ini Anti menolak naskah Josh.
***
Anti
dan Viena bergegas merapihkan beberapa naskah yang terpilih untuk naik cetak
bulan ini. Viena melirik naskah yang ditulis teman dekatnya yang tergeletak di
atas meja Anti. Entah mengapa tangannya membawa naskah itu bersamaan dengan
naskah lain dan mengantarkannya ke meja meeting. Bos besar mereka sudah
menunggu di dalam ruang rapat dengan sekertarisnya yang setia mendampinginya
selama duapuluh empat jam. Hal itu dikarenakan mereka adalah suami-istri yang
tidak memiliki anak.
“Ini
semuanya? Hanya lima saja?” Tanya bos besar mereka.
“Pak
Tedja, maaf seharusnya hanya empat.” Ujar Anti sambil melirik Viena yang tadi
mengangkat tumpukan naskah.
Pria
tua itu menghitung lagi jumlah tumpukan naskah yang ternyata tetap terdiri atas
lima naskah. Bos besar mereka itu mengerutkan dahinya dan memandangi Anti.
“Kau
tidak bisa berhitung, yaa? Atau karena terlalu banyak membaca, kau jadi tidak
bisa berhitung?” Tanya Pak Tedja dengan gaya gamblangnya seperti biasa.
“Benar
kok hanya empat.” Ujar Viena segera menarik sebuah naskah yang dilihatnya
paling atas. Dia yakin itu adalah naskah temannya yang dikomentari jelek oleh
Anti.
“Itu
naskah yang ditolak. Kau membawanya juga?” Bisik Anti.
“Maaf.”
Ujar Viena sambil mencoba menjauhkan naskah itu dari tumpukan lainnya.
Pak
Tedja melihat ke arah naskah itu sekali lagi dan menatap Anti yang sudah
dianggapnya seperti anak sendiri. Lalu menghela nafasnya lagi sambil
menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi ruang rapat yang di dudukinya.
“Kenapa
sepertinya kau masih memberi harapan pada karya tulis itu?” Tanya Pak Tedja.
Anti
melirik Viena sekali lagi dengan tatapan kesal. “Itu bukan naskah penulis yang
biasa bekerjasama dengan kita.” Ujar Anti.
“Apa
naskah itu menurut mu menarik?” Tanya Bu Tedja yang melihat perubahan wajah
Viena yang menunduk dengan wajah pucat.
“Ti..tidak.
Bukan begitu.” Ujar Viena dengan gugup.
“Bagaimana
mungkin kau membawa naskah yang sudah ditolak editor ke ruangan ini. Kau
meragukan penilaian Anti?” Tanya Bu Tedja.
Viena
semakin tidak bisa menjawab pertanyaan sekertaris bos besar perusahaan
publishing itu. Anti segera menghela nafas dan mencoba menengahi.
“Naskah
itu tidak benar-benar buruk.” Ujar Anti. “Aku hanya tidak menyukai
penggambarannya yang terlalu didasarkan pada khayalan saja.” Terang Anti lagi.
“Maaf.”
Desis Viena pada Anti lagi.
“Jadi,
kau membaca naskah ini dan menganggap naskah ini tidak begitu buruk.” Desis Pak
Tedja sambil menganggukan kepalanya berkali-kali. “Lalu, kenapa kau tidak
menghubungi penulisnya dan meminta dia memperbaiki cerita yang kau anggap hanya
berdasarkan khayalan?” Tanya Pak Tedja.
“Ini
adalah cerita ber-genre cinta. Tapi, penulisnya menggambarkan adegan dengan
berdasarkan khayalan saja. Pembaca tidak akan bisa membayangkan khayalan aneh
yang kekanakan seperti cerita yang ditulis temannya ini.” Ujar Anti lagi. “Kau
tahu kan pak, belakangan ini pembaca menuntut banyak dari penerbit untuk
menerbitkan cerita yang tidak membuat mereka merasa rugi sudah mengeluarkan
sejumlah uang dan waktu mereka.”
Pak
Tedjo dan Bu Tedjo tersenyum sambil berpandangan sesaat. “Aku tahu kau penulis
dan Editor berbakat yang dapat diandalkan di perusahaan ini. Aku yakin, kau
bisa membantu penulis lain untuk bisa diharapkan seperti mu.” Ujar Pak Tedjo.
“Aku
tidak ada waktu untuk mengurusi semuanya itu.” Ujar Anti dengan segera.
“Penulis naskah ini adalah penulis amatiran yang hanya mem-posting karyanya di
blog pribadi. Aku tidak mungkin membantu orang yang terlihat tidak pernah
mengalami cerita cinta dalam hidupnya untuk menulis cerita cinta.” Jelas Anti.
“Kau
pasti bisa membantu mereka.” Ujar Bu Tedjo.
“Mereka?”
Ulang Anti.
“Yang
dimaksudkan adalah Josh dan penulis naskah baru itu.” Ujar Pak Tedjo. “Kau
pernah membantu Josh sebelumnya untuk menulis novel. Kau pasti bisa membantu keduanya
sekarang ini. Sama seperti waktu karya pertama Josh, kau pasti berhasil
mengorbitkan dua penulis baru untuk perusahaan seperti lima belas tahun lalu.”
Lanjut Pak Tedjo.
Anti
menghela nafasnya. Wanita ini tidak tahu harus mengatakan apa untuk menolak
permintaan bos besarnya itu. Viena sendiri hanya bisa tertunduk malu sepanjang
meeting. Saat rapat berakhir, Viena hanya berani mengikuti Anti dari belakang
tanpa mengatakan sepatah kata pun. Anti terlihat kesal dan seperti akan menelan
Viena hidup-hidup. Hal itu membuat langkah Viena terhenti di depan ruangan
atasannya itu. Anti berbalik sambil melemparkan naskah yang diberikan Viena
pagi tadi ke atas meja kerjanya.
“Apa
kau sudah gila?” Pekik Anti pada Viena. “Kenapa belakangan ini pekerjaan mu
sering tidak bisa diterima akal sehat ku?”
“Maaf.”
Ujar Viena yang tetap menunduk.
“Besok
kau panggil teman mu itu ke kantor. Atur agar pertemuan ku dengan Edy bisa
pindah ke lain hari. Jangan lupa untuk menghubungi percetakan agar mereka
mengirim sample keempat buku itu. Malam ini pergi kesana untuk melihat pembuata
sample.” Ujar Anti akhirnya. “Ingat, tidak boleh bekerja seperti sambil melamun
begitu lagi. Kau bahkan tidak bisa mengatakan apa-apa untuk bertanggung jawab
selain maaf.”
Viena
hanya tertunduk tak berani menjawab Anti yang marah besar. Ini adalah hal yang
biasa diterima Viena selama Tujuh tahun bekerja untuk Anti. Bahkan, menurut
Viena kemarahan Anti lebih mengerikan dari biasanya. Karena hari ini Anti tidak
melemparnya dengan kertas naskah, atau memaki dengan kata-kata kasar. Viena
lebih memilih menerima kemarahan Anti daripada melihat Anti yang bisa berubah
jadi cuek padanya.
“Aku
bahkan tidak bisa mengharapkan mu untuk ke percetakan malam ini.” Desis Anti.
“Kau pulang duluan saja. Biar aku yang ke percetakan.” Ujar Anti sambil menarik
jaket hitam yang menggantung di sandaran kursi kerjanya.
Viena
benar-benar merasa semakin ketakutan. Entah bagaimana besok pagi Anti akan
mendiamkannya seperti pertama kali Viena berbuat kesalahan besar. Viena tidak
mau Anti melakukan aksi diamnya seperti waktu itu lagi. Butuh waktu dua tahun
untuk mengembalikan kepercayaan Anti padanya jika Viena sudah melakukan
kesalahan besar seperti apa yang dilakukannya hari ini.
“Aku
benar-benar menyesal.” Ujar Viena akhirnya. “Aku tidak akan salah membawa
naskah lagi.” Lanjut Viena saat Anti mencoba melewatinya yang berdiri di depan
pintu ruangan, menghalangi langkah Anti yang akan keluar.
“Tidak
perlu mengatakan apa-apa lagi.” Ujar Anti. “Ayo ke percetakan.” Ujar Anti
akhirnya.
Viena
terkejut untuk beberapa saat mendengar kata-kata Anti. Atasannya itu tidak
marah dan memakinya, tapi justru mengajaknya pergi ke percetakan bersama. Viena
segera tersenyum dan mengangguk dan memberi Anti jalan untuk keluar. Viena
mengikuti Anti dari belakang dengan wajah gembira. Entah kenapa Anti tidak
seperti biasanya. Tapi yang jelas, Viena merasa Anti yang saat ini jauh lebih
baik daripada Anti pemarah yang suka membentaknya.
***
Pagi
ini seperti hari sebelumnya, Cleo sendirian di dalam kamarnya dan memandangi
comment dari pembaca yang mengunjungi blognya setelah semalam dia meng-update
cerita. Seperti biasa Comment pertama yang muncul adalah comment dari
chipo_anzai yang tertulis, "Tulislah yang sesuai dengan kenyataan. Jangan
hanya berkhayal."
“Dia
lagi.” Keluh Cleo. “Siapa sih ini orang? Dia bahkan tidak mengijinkan orang
mengakses blognya, tapi berani mengomentari orang seperti ini. Benar-benar
mengesalkan.” Keluh Cleo.
Cleo
kembali menghapus komentar itu dari blognya seperti biasanya. Cleo segera
mematikan komputernya dan menarik handuk di sandaran kursinya. Cleo bersiap
untuk mandi dan membersihkan dirinya setelah dua hari tidak mandi. Sejenak Cleo
menatap ruangan kamar mandi di kamarnya yang terbuka di depannya.
“Hanya
mandi, kenapa harus merasa takut.” Desis Cleo pada dirinya sendiri.
Cleo
masuk ke dalam kamar mandinya. Namun, tangannya tidak ingin menutup pintu kamar
mandi itu. Akhirnya Cleo teringat lagi tentang masa kecilnya. Mamanya
seringkali mengurungnya di dalam kamar mandi hanya karena kesalahan kecil. Hali
itulah yang membuatnya hingga hari ini tidak berani menutup pintu atau jendela
di ruangannya. Setiapkali mencoba menutup pintu atau jendela rasa sesak di
dadanya membuatnya kesulitan bernafas. Cleo membiarkan pintu kamar mandinya setengah
terbuka, lalu mulai membuka bajunya. Wanita tigapuluh tahun ini juga tidak tahu
sampai kapan dia takut pada ruangan yang tertutup. Sudah berkali-kali dirinya
bersumpah dalam hati, suatu hari nanti saat dia memiliki anak, dia tidak akan
membiarkan anak itu dikurung. Karena Cleo tidak ingin anak itu menjadi penakut
seperti dirinya. Selain itu, ketakutan itu sulit sekali untuk dihilangkan
olehnya. Hal itu membuat Cleo kembali mengumpat Mamanya sendiri.
“Kenapa
kau harus melakukan hal ini kepada ku? Apa kau itu mama kandung ku?” Tanya
Cleo. “Apa anak kecil yang mengompol di malam hari itu, harus mendapatkan
hukuman kurungan? Apa aku ini narapidana? Kenapa dulu harus mengurung ku? Aku
jadi takut pintu itu tidak akan terbuka lagi seperti saat itu. Aku kedinginan.
Aku lapar. Aku haus.” Cleo mulai menangis di bawah pancuran air yang mengalir
dari shower-nya.
Cleo
mencurahkan seluruh kekesalannya pada sang Mama, sambil terus menggosok
tubuhnya, dan membersihkan seluruh tubuhnya. Jika orang lain tahu apa yang
dilakukannya. Maka, orang lain akan menganggapnya semakin aneh. Atau, mungkin
mereka menganggap Cleo sudah gila.
Sebuah
nada dering sayup-sayup terdengar dari kamar Cleo. Cleo segera berlari dengan
hanya melilitkan handuk, menggapai smartphone yang tergeletak di atas meja di
dalam kamarnya. Cleo tidak memperhatikan dua pasang mata memperhatikannya dari
balkon kamar anak tetangganya.
“Halo?”
Ujar Cleo begitu mendekatkan smartphone-nya ke arah telinga.
“Ini
aku.” Bisik Viena dari ujung sambungan telepon.
“Oh,
kenapa Vi?” Tanya Cleo sambil melirik cermin yang tergantung di dinding depan
meja tempatnya berdiri.
“Jam
satu siang ini, editor ku menunggu mu di kantor. Editor ku ingin membicarakan
masalah naskah yang waktu itu kau tulis.” Bisik Viena lagi.
“Apa
naskahnya diterima?” Tanya Cleo dengan senyum lebar di depan cermin.
“Kau
datang saja dulu.” Ujar Viena dengan suara sekecil mungkin. “Jangan lupa, jam
satu siang ini, dan jangan telat.” Ujar Viena.
“Baiklah.
Aku harus memakai baju seperti apa?” Tanya Cleo sambil bergaya di depan cermin
dengan banyak ekspresi di wajahnya.
“Tidak
penting.” Ujar Viena. “Yang pasti, kau datang jam satu tanpa terlambat.” Viena
menekankan kembali waktu di mana Cleo harus datang.
“Sip.”
Ujar Cleo sambil mengarahkan jempolnya ke arah cermin seolah memberi isyarat
‘bagus’ pada dirinya sendiri.
“Jam
satu.” Ulang Viena menutup pembicaraan mereka.
Cleo
segera meloncat kegirangan, dan menari dengan gembira di depan cermin kamarnya
tanpa memperhatikan sekeliling. Cleo bahkan tidak peduli dengan apa yang
dipakainya saat ini, dan mulai loncat di atas ranjangnya.
Steve
dan Josh yang sejak tadi memperhatikan wanita itu terkikih dan mencoba menahan
suara tawa mereka. Cleo yang terus menerus menari tak jelas itu sudah seperti
hiburan tersendiri untuk mereka berdua. Mereka sepertinya akan menjadikan
balkon kamar Steve sebagai tempat favorit baru. Setidaknya tingkah wanita aneh
yang tinggal di rumah sebelah itu bisa sedikit menghibur mereka, dan membuat
mereka tertawa terpingkal-pingkal.
“Apa
setiap wanita seperti itu ya, saat di kamar mereka?” Pikir Steve.
“Di
luar, mereka akan terlihat menjaga image mereka, tapi di kamar mereka bisa
melakukan apa pun. Dulu, aku juga pernah melihat wanita seperti itu.” Ujar
Josh.
“Oh
ya? Apa ada wanita yang dekat dengan mu sampai kau bisa melihat kamar dan
tingkahnya saat di kamar?” Tanya Steve.
“Anti
tidak melakukannya hanya di kamar. Dia akan sibuk berjoget sendiri di kampus.
Dia akan melakukan apapun yang dia mau.” Ujar Josh lalu menghela nafas. “Dia
bahkan dijuluki si-gila di kampus dulu. Siang hari saat tidak ada dosen, dia
akan bermain ‘Daruma san ga koron da’, atau petak umpet seperti anak kecil.
Terkadang dia akan tidur di pojok kelas saat mata kuliah kewarganegaraan. Saat
iseng, dia akan bernyanyi bersama beberapa teman lainnya seperti sedang ada di
karaoke centre.” Cerita Josh.
“Wah,
kau mengatakannya seperti hal itu baru kemarin terjadi.” Ujar Steve.
“Aku
baru sadar.” Desis Josh lagi. “Hal itu yang membuat kakak ku jatuh cinta
padanya.” Lanjut Josh.
“Mungkin
hal itu juga yang membuat mu, ... falling in love....” Ujar Steve seperti
sedang bernyanyi.
Josh
segera mengapit kepala Steve dengan sebelah tangan, lalu menekan kepalan
tangannya pada kepala Steve. Steve mencoba menghindar dan mereka mulai seperti
anak kecil, berlarian di sekeliling kamar. Cleo yang mendengar suara Steve yang
antara seperti sedang bernyanyi dan berteriak, melirik balkon kamar tetangganya
itu. Melihat Steve dan Josh berlarian lalu saling menindih membuat khayalan
liar Cleo bangkit.
“Apa
mereka itu Yaoi (gay dalam bahasa Jepang)? Sepertinya si-kurus, anak tetangga
itu yang sheme, dan uke-nya adalah pria yang satunya lagi.” Ujar Cleo sambil
manggut-manggut sendiri.
***
Anti
berjalan ke arah pasar tempat Josh biasanya membantu kedua Orangtua angkatnya
untuk berjualan. Wanita itu berharap, pagi ini dia dapat menemui Josh untuk
membujuknya agar memasukan cerita cinta dalam novelnya. Meskipun, sebenarnya
Anti tidak tahu harus melakukan apa agar Josh mau mendengarnya. Anti sendiri
memutuskan hanya ingin menjalin hubungan kerja dengan Josh. Setelah kejadian
tiga hari lalu, Anti yakin kalau Josh tidaklah bisa untuk dijadikan teman. Pria
itu membuatnya kesal belakangan ini. Josh mungkin sudah berubah, tidak seperti
Josh yang dulu Anti kenal. Setidaknya, Josh yang dulu dikenal Anti adalah Josh
yang akan mendengarkannya walaupun di awal marah padanya. Josh juga tidak akan
memarahinya begitu saja tanpa alasan, atau menyalahkannya tanpa bukti. Josh
juga bukan tipe teman yang akan berkata kasar padanya bahkan saat marah
sekalipun.
Tapi,
Anti tidak menyerah untuk meminta Josh sekali lagi memikirkan masalah menulis
cerita cinta meskipun hanya bagian kecil dalam novelnya. Anti akhirnya sampai
pada sebuah toko besar yang dikenalnya sebagai tempat Orangtua Josh berjualan segala
macam barang, seperti layaknya kebanyakan toko yang dimiliki orang-orang
keturunan Cina. Entah mengapa hari ini situasinya terlihat janggal dan tidak
memungkinkan untuk Anti memasukinya, bahkan cenderung menyeramkan. Beberapa
petugas berpakaian cokelat muda memblokir jalan di depan toko. Beberapa dari
mereka melempar keluar barang-barang dari dalam toko. Pegawai toko terlihat
ketakutan saat diseret beberapa orang berpakaian sama. Mereka segera menarik
dua orang yang familiar bagi Anti. Keduanya dilempar ke jalanan begitu saja
seperti barang yang juga dilemparkan dari dalam. Mereka menangis berpelukan dan
meminta tolong agar toko itu tidak ditutup. Tapi, percuma saja, beberapa
petugas itu menggeser rolling-door dan menggembok pintu itu. Sebuah surat segel
diberikan pada pasangan tua itu, dan gembok itu pun disegel oleh petugas.
Anti
terus mencoba mendorong petugas yang ada di depannya, berusaha untuk berlari ke
arah dua Orang tua yang masih terlihat menangis histeris. Anti merasa dadanya
sesak saat melihat kedua orang itu diperlakukan begitu kasarnya, di depan
matanya, tapi tidak ada hal yang bisa dilakukannya kecuali berteriak memanggil
mereka. Sekilas Anti melihat seperti ada sesosok orang yang sangat dikenalnya
berdiri di belakang pasangan tua itu menatapnya dengan pandangan sedih. Pria
yang dicintainya sejak dulu hingga sekarang itu seperti nyata hadir di sana
berteriak meminta pertolongannya.
“Anti,
tolong ....” Kira-kira itu kata yang dikatakan pria itu.
Pria
itu terlihat menangis dan memandangi kedua Orang tua itu, lalu menghilang dari
sana begitu saja. Bayangan itu menghilang tepat saat petugas membiarkan Anti
melewatinya. Anti tersadar saat mendapati hanya pasangan tua yang diusir keluar
dari tokonya itu yang bersimpuh menangis di atas aspal jalanan. Melihat Kenta
berdiri di sana, meminta tolong, dan menangis melihat kedua orangtuanya
diperlakukan dengan buruk oleh petugas itu, memang hanya delusi Anti saja. Anti
tersadar saat tangan wanita tua yang menangis di depannya meraih celananya dan
menangis sejadi-jadinya.
“Tante,
...” Ujar Anti sambil bersimpuh di depan keduanya.
Anti
tidak tahu harus berkata apa. Anti membiarkan wanita tua itu memeluknya dengan
erat, sambil menangis keras. Pria tua itu menangis menatap Anti dengan mata
penuh kesedihan yang pernah dilihat Anti saat anak tunggal mereka meniggal di
arena pertandingan balap motor itu. Anti mencoba menahan air matanya yang
sebentar lagi sepertinya akan mengalir begitu saja. Wajahnya panas dan nafasnya
mulai tersengal-sengal ketika seorang petugas kembali dengan tampang seramnya
berkata, “Toko ini sudah jadi milik bank. Kalian tidak punya hak lagi berjualan
di sini.” Ujar Petugas itu, lalu pergi dari sana.
Tidak
ada kata-kata yang keluar dari mulut kedua Orang tua itu sepanjang perjalanan
mereka. Dari barang yang di bawa mereka, Anti dapat menduga kalau mereka sudah
tidak tinggal di rumah mereka lagi. Dua buah koper dan sebuah tas besar yang
sepertinya berisi pakaian itu tidak hentinya dipandangi pria tua yang duduk di
bangku belakang mobil yang dikendarai Anti. Anti membawa keduanya ke rumah
pribadinya, dan tidak tahu harus melakukan apa. Setelah Anti meletakan koper
dan tas itu di salah satu kamar kosong, Anti menarik gagang telepon sambil
meminta pembantunya untuk menyiapkan kamar untuk keduanya.
“Bi,
tolong siapkan kamar dan buatkan teh untuk om dan tante.” Perintah Anti pada
pembantunya yang segera melaksanakan tugasnya itu.
“Jangan.”
Ujar Wanita tua itu pada Anti.
“Josh
harus tahu mengenai ini Tante.” Ujar Anti.
“Kau
tidak mengerti.” Ujar Pria tua yang sejak tadi duduk di sofa dengan tatapan
kosong. “Josh, bukan anak kandung kami. Kami tidak bisa membiarkan dia
menanggung kesalahan kami.” Ujar pria tua itu lagi sambil menatap Anti.
“Kalau
Josh tahu, dia akan berusaha membantu kami. Walaupun dia tidak bisa, dia tetap
akan ngotot membantu kami. Dia belum menikah sampai sekarang juga, karena dia
belum bisa meninggalkan kami. Kami tidak bisa melakukan ini.” Ujar orang yang
Anti panggil dengan sebutan Tante itu.
“Josh
pasti akan pulang mencari kalian. Bagaimana kalau saat dia pulang, kalian tidak
ada di sana dan dia mendengar hal buruk terjadi pada kalian? Apa kalian pikir
Josh tidak akan tahu selamanya?” Tanya Anti yang tetap berusaha menghubungi
Josh.
Kedua
Orang tua itu hanya bisa berpandangan dan menunduk sedih. Mereka tertipu oleh
orang dan harus kehilangan rumah serta toko mereka. Sekarang Keduanya tidak
merasa punya harga diri untuk bertemu dengan putra angkat mereka yang sudah
sejak kecil dirawat mereka. Anti tidak menyerah untuk menghubungi Josh yang
tetap tidak mau menerima panggilan teleponnya. Pasangan tua itu berpandangan
sekali lagi saat menyadari Anti sudah mencoba menghubungi Josh, putra mereka
untuk kesekian kalinya.
“Percuma.”
Ujar Wanita tua itu. “Josh memang sengaja menghindari mu. Kau pasti tahu itu.
Tidak mungkin dia mengangkatnya.”
Anti
tidak peduli dengan kata-kata yang di dengarnya. Wanita itu tetap berusaha
menghubungi Josh meskipun suara yang di dengarnya tetap sama. Suara yang
menyatakan nomor yang dihubunginya tidak aktif atau berada di luar area servis
itu tidak menghentikan Anti untuk terus me-redial Josh berulang kali, dengan
harapan Josh entah dengan sengaja, atau mungkin tidak sengaja menekan tombol
‘yes’ atau tombol berwarna hijau yang ada pada ponselnya.
Setelah
meminta kedua Orang tua itu untuk beristirahat di kamar, akhirnya Anti
memutuskan untuk mengirimkan pesan dari ponselnya dengan nomor pribadi yang
biasa dipakainya untuk menghubungi Josh jika ada masalah pribadi. Di luar
dugaan, pesan terkirim dengan cepat. Anti mulai berjalan kesana-kemari, gelisah
menunggu balasan SMS dari Josh. Beberapa menit kemudian, Josh membalas SMS
tersebut dengan singkat.
“Aku
kesana sekarang.” Itu yang ditulis oleh Josh.
Anti
tersenyum menatap layar ponselnya dan kembali duduk menanti kedatangan Josh.
Anti bahkan tidak ingat akan ada janji untuk bertemu dengan penulis baru di
kantornya siang ini.
***
Cleo
segera merapihkan kemejanya dan menutup pintu lemari yang menghalangi pandangan
luar untuk melihatnya saat berganti pakaian. Rambut se-bahu-nya di sisir dengan
tangan, dan di rapihkan kembali dengan sisir yang baru ditemukannya di bawah
tumpukan bantal di atas ranjangnya. Cleo menarik tas kecilnya, dan memasukan
dompetnya yang sempat menyembul keluar dari bukaan atas tasnya. Hari ini, Cleo
merasa seperti ada bunga sakura yang berjatuhan perlahan di sekitarnya, sebagai
tanda musim semi di hatinya. Sejak menerima kabar dari Viena, Cleo tak
henti-hentinya tersenyum ceria. Dalam khayalannya, seseorang akan memanggilnya
di pinggiran jalan dan menanyakan namanya.
“Ya,
aku adalah Cleo. Apa kabar? Kau mau minta tanda tangan? Aku akan
menandatanganinya. Wah, ini buku terbaru ku. Apa kau menyukai ceritanya?” Cleo
sibuk mengoceh entah kepada siapa sambil berakting seolah sedang menyapa
penggemarnya.
Mungkin
hal seperti khayalannya akan terjadi setelah dirinya menjadi penulis terkenal.
Cleo menari-nari dengan riangnya tanpa peduli pada sekitarnya. Wanita yang
sudah kepala tiga, alias berusia tigapuluh tahun itu tidak hanya mengkhayal
saat bertemu penggemarnya saat dia terkenal nanti. Tapi, Cleo juga membayangkan
saat dirinya diminta untuk wawancara seperti penulis terkenal lainnya. Cleo
duduk di atas meja tempat komputernya yang masih menyala itu berada, lalu mulai
mengambil sisir dan berlagak seperti seseorang yang sedang diwawancarai.
“Aku
memang menulisnya untuk Jun Matsumoto. Aku membayangkan Matsumoto-san saat aku
menulisnya. Tentu saja, tokoh utama wanitanya adalah aku. Maksud ku, saat
menulisnya aku membayangkan tokoh utama wanitanya adalah aku. Kau juga salah
satu penggemar ku? Ah, kau membuat ku malu. Aku memang terkenal. Hahahaha....”
Cleo tertawa terbahak-bahak saat membayangkan apa yang terjadi jika dia
diwawancarai ketika novelnya laris di pasaran bak kacang goreng.
Cleo
akhirnya berhenti tertawa saat menyadari jam dindingnya sudah menunjukan pukul
sepuluh lewat. Cleo segera menarik flashdisk yang menempel di komputernya
setelah itu mematikan komputernya, dan melangkah keluar kamarnya.
Di
balkon kamarnya, Steve hanya bisa tertawa sampai perutnya merasa sakit karena
sejak tadi menertawakan aksi Cleo yang terlihat di kamarnya, di seberang balkon
kamar Steve. Sementara, Josh dengan segera menarik kunci motornya dan keluar
dari kamar Steve.
“Aku
pinjam motor mu.” Ujar Josh saat itu sambil menuruni anak tangga.
“Kau
mau kemana?” Tanya Steve yang mengejar Josh turun ke lantai dasar rumahnya.
“Urgent.”
Ujar Josh sambil mencari helm di lokasi biasanya Steve menaruh helm. “Di mana
helm?”
Steve
menarik kunci motornya dari tangan Josh. “Motor ku tidak bisa di pakai. Nanti
sore aku ada kencan. Gunakan saja mobil ku.” Ujar Steve sambil mengganti kunci
motor yang tadi ada di tangan Josh dengan kunci mobil.
“Ayolah,
kali ini saja.” Bujuk Josh. “Aku harus secepatnya ke rumah.” Ujar Josh.
“Pakai
mobil saja.” Ujar Steve lalu naik ke lantai atas lagi.
“Kau
tahu kan, Jakarta macet sekali. Kali ini saja.” Rengek Josh.
Steve
hanya melambaikan tangannya dan masuk ke kamarnya, menghilang dari pandangan
Josh pada anak tangga terakhir di atas. Josh memandangi kunci di tangannya.
Sudah tidak ada pilihan lain. Josh segera membuka pintu depan rumah Steve dan
berlari membuka gerbang rumah Steve seorang diri. Pembantu Steve baru saja
datang dan membantu Josh beberapa saat kemudian untuk menutup gerbang itu.
Josh
segera mencari celah pada setiap kali dia menemui jalan yang padat merayap.
Perasaannya kacau saat ini. Awalnya, melihat SMS yang dikirimkan oleh Anti dari
nomor pribadinya, membuat Josh berharap temannya itu akan mengatakan akan
melupakan kata-kata Josh yang kasar karena mereka teman, atau sekedar SMS
rengekan Anti yang sedang bercerita mengenai betapa menyebalkannya hari ini.
Tapi, berita mengejutkan dari Anti membuat Josh merasa ‘beku’. Mendengar berita
bahwa Orangtua Josh telah ditipu orang dan selama ini menyembunyikan
permasalahan ini darinya, membuat Josh kesal, marah, dan tentunya sedih. Josh
tidak dapat menerima kenyataan bahwa selama ini Orangtuanya menyembunyikan
masalah besar darinya. Terlebih lagi harus menerima kabar ini dari Anti, yang
dianggap sebagai orang ‘luar’ di keluarganya.
Josh
berusaha secepat mungkin untuk sampai ke rumah Anti dan menemui kedua
Orangtuanya yang mungkin sedang shock dan depresi. Anti sudah menunggunya di
depan rumah saat Josh masuk ke komplek perumahan tempat di mana Anti tinggal.
Tanpa banyak bicara, Anti membuka pintu rumahnya dan berjalan mendahului Josh
yang baru saja tiba.
“Mereka
di kamar bawah.” Ujar Anti sambil menunjuk pintu kamar yang memang satu-satunya
terletak di lanati dasar rumah itu.
Josh
mengangguk dan segera mengetuk pintu kamar itu, lalu masuk ke dalam kamar
setelah Mamanya membukakan pintu. Anti tidak berencana untuk mengikuti Josh
masuk ke dalam, karena dirinya menyadari betul posisinya sebagai orang ‘luar’
keluarga itu. Anti hanya duduk di sofa ruang tengah, menunggu hasil pembicaraan
Josh dengan Orang tuanya. Anti terdiam menatap foto yang dikeluarkannya dari
dompetnya. Gambar yang sama dengan yang ada pada foto yang disimpan Josh dalam
dompetnya itu. Di dalam foto terakhir yang diambil pada pertandingan terakhir yang
diikuti Kenta saat itu ada Kenta, dirinya dan Josh yang berpose saling
merangkul satu sama lain. Kata-kata Kenta saat itu seperti rekaman suara yang
terdengar sayup-sayup di telinga Anti.
“Aku
mencintai mu.” Bisik Kenta saat itu.
Anti
tersenyum mendengar pernyataan cinta Kenta yang nyaris setiap hari didengar
olehnya. Kenta mengarahkan kamera polaroidnya ke atas dan mengajak Anti serta
Josh untuk berfoto bersama. Dua kali kamera itu mengeluarkan blits-nya dan dua
lembaran foto polaroid keluar dari dalam kamera itu. Anti mencoba berfoto
sekali lagi dan mengajak kedua pria itu berpose lagi. Tapi, lembaran negatif
filmnya tidak menunjukan foto mereka. Anti sedikit kecewa saat itu, tapi Kenta
segera membelai rambutnya dan mengacak-acak rambut Anti yang terikat karet.
“Dua
orang yang penting bagi ku sudah datang, itu sudah cukup. Sayangnya, Mama dan
Papa tidak mau ikut. Kalau aku tidak ada, kau harus menjaga mereka, oke?” Ujar
Kenta.
Anti
membalas perkataan Kenta dengan senyum lebar. Wanita itu mencium pipi Kenta dan
memeluknya dari samping.
“Aku
mencintai mu.” Bisik Anti di telinga Kenta saat itu.
Kenta
tersenyum dan membalas pelukan Anti. Josh segera mengingatkan Kenta untuk masuk
ke dalam arena pertandingannya. Dengan gagah, Kenta mengendarai motornya pada sesi
foreplay pertama sebelum pertandingan. Kenta terlihat berdoa dan mencium kalung
salib yang diberikan Anti untuknya sebagai hadiah kencan yang mereka lakukan di
hari valentine dua tahun lalu. Sejak hari itu, kalung salib itu selalu menjadi
‘lucky charm’ di mata Kenta.
“Terima
kasih.” Josh menyadarkan Anti dari lamunannya.
Anti
melirik ke arah pintu kamar yang kembali tertutup. “Biarkan mereka di sini.”
Ujar Anti.
“Mereka
juga ingin seperti itu.” Ujar Josh.
Anti
dapat melihat kekecewaan pada wajah Josh. Anti segera menghela nafas panjang
dan tersenyum kecil. “Mereka tidak ingin kau menanggung permasalahan ini.
Karena mereka tidak mau kau memaksakan diri mu untuk membantu mereka.” Terang
Anti.
“Aku
merasa seperti orang asing.” Desis Josh. “Mereka bahkan lebih suka untuk
menghubungi mu saat ada masalah, daripada aku, anaknya sendiri.” Keluh Josh.
“Aku
ke toko pagi ini untuk mencari mu. Tapi, tidak disangka terjadi hal ini. Mereka
tidak menghubungi ku seperti dugaan mu.” Ujar Anti. “Aku ingin mereka di sini,
tidak apa-apa kan kalau begitu?” Tanya Anti lagi.
“Aku
tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka memaksa ku untuk pulang dan tidak usah
mengkhawatirkan mereka.” Ujar Josh. “Bagaimana mungkin tidak mengkhawatirkan
Orangtua sendiri.” Desis Josh lagi.
“Aku
akan mengurus mereka.” Ujar Anti.
“Kau
seharusnya tidak perlu mengurus mereka. Seharusnya, kau menikah dan tidak
terikat oleh Kakak lagi. Dia sudah meninggal sejak belasan tahun lalu.” Desis
Josh.
Anti
menatap wajah Josh dengan tatapan sedih karena teringat Kenta. Belakangan ini,
entah mengapa bayangan Kenta sepertinya lebih sering muncul daripada biasanya.
Anti sendiri tidak bisa mengatakan apa-apa dan hanya menggigit bibir bawahnya.
“Aku
rasa, aku egois karena sudah meminta mu untuk tidak berkencan dan menikah.” Ujar
Josh.
“Tidak
ada yang meminta ku untuk tidak berkencan dan menikah.” Tegas Anti. “Aku yang
tidak bisa melupakan semuanya. Kau juga sudah tahu itu dari dulu. Jadi, tolong
jangan mengatakan hal bodoh lagi.” Ujar Anti seolah memelas pada Josh.
Josh
menatap Anti lekat tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ingatannya kembali pada
saat hari pertandingan yang merengut nyawa Kenta. Sejak awal putaran pertama di
mulai, Josh sibuk mem-video-kan kenta yang berada pada posisi ke lima saat
start awal dengan camcordernya. Anti terlihat gugup dan berdoa sejak awal
foreplay sambil tak hentinya melihat ke arah arena. Putaran kedua dilewati
dengan mulus. Kenta berada di posisi ketiga sampai pada putaran kedua terakhir.
Pada putaran akhir, sebuah motor yang ada di samping motor yang dikendarai
Kenta menyenggol ban belakang motor. Kenta kehilangan keseimbangan dan terjatuh
di dalam arena pertandingan. Anti berteriak dan berlari ke arah arena dengan
kalap. Hanya dalam hitungan detik, pemandangan mengerikan terjadi di arena. Tubuh
Kenta tertabrak dua buah motor yang tidak mampu menghindarinya. Salah satu
motor lain entah mengapa melindas tubuh Kenta. Semua orang yakin, pembalap yang
melindas tubuh Kenta, sebenarnya bisa menghindari hal itu, karena saat itu
posisinya cukup jauh. Tapi, Kenta akhirnya terlindas dengan cepat di depan mata
Anti dan Josh.
Kenta
tidak pernah sadarkan diri sejak hari itu. Meskipun sempat dirawat di ruang ICU
selama tiga hari, Kenta akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Sejak saat
itu, Anti tidak lagi bisa ceria seperti dulu saat pertama Josh mengenalnya.
Anti tidak mengencani pria mana pun dan menolak pernyataan cinta siapa pun.
Anti bahkan mengatakan tidak ingin menikah pada Josh, dan meminta pria itu
untuk membantunya mendapatkan donor sperma untuk proses inseminasi buatan yang
ingin dilakukan Anti.
“Maaf
merepotkan mu.” Ujar Josh pada Anti yang duduk di sofa ruang tengah rumahnya.
“Biar
bagaimana pun, mereka nyaris menjadi mertua ku. Kau tidak perlu mengucapkan
terima kasih pada ku.” Balas Anti.
Josh
hanya bisa terdiam, duduk di ruang itu sendirian setelah Anti meninggalkannya.
Anti tidak ingin berbicara dengan Josh yang sekarang terlihat seperti orang
asing di matanya. Wanita itu lebih memilih menyiapkan makan siang di dapur dan
membiarkan Josh di ruang tengah rumahnya. Ponsel Anti berbunyi dan di layar
ponsel tertera tulisan ‘sekolah’. Anti segera menerima panggilan itu saat Josh
beranjak dari duduknya dan mendekati dapur tempat Anti berada.
“Halo,
Benar aku ibunya.” Ujar Anti tanpa menghentikan kegiatannya yang sedang
menggoreng. “Berkelahi? Apa Jun baik-baik saja?” Tanya Anti yang segera
mematikan kompor dan menghentikan kegiatannya. “Baiklah, aku akan segera
kesana.” Ujar Anti yang mulai gemetaran mematikan sambungan telepon di
ponselnya.
“Bi,
tolong teruskan. Aku ada urusan.” Ujar Anti sambil berjalan ke arah pintu
dapur, di mana josh berdiri menatapnya dengan pandangan seolah ingin bertanya
ada apa.
“Aku
harus ke sekolah dulu. Kau tunggu saja di sini. Makan siang-lah bersama Om dan
Tante.” Ujar Anti dengan langkah terburu-buru melewati Josh dan mengambil kunci
mobilnya.
Tangan
Anti masih gemetar saat kakinya sudah berada di ruang tamu. Anti segera
meletakan kunci mobil dan berlari ke arah luar tanpa mempedulikan apapun yang
ada di depannya. Selama Josh mengenal wanita itu, tidak pernah melihatnya
gemetar seperti itu kecuali saat Kenta menghembuskan nafas terakhirnya. Josh
segera mengejar Anti keluar dari rumah, tapi Anti sudah tidak terlihat lagi.
Josh segera menaiki mobil yang dipinjamkan Steve padanya, berusaha mengejar
Anti yang terlihat gemetaran, dan sendirian pergi ke sekolah Junior, putranya.
***
Anti
segera menundukan kepala seperti sedang melakukan ojigi di depan orangtua anak
lain dan suster sekolah. Junior memandanginya dengan tatapan kesal. Anti segera
melirik ke arah putra satu-satunya itu dan memelototinya.
“Jun
cepat minta maaf!” Perintah Anti.
Junior
tidak juga mengatakan sepatah kata pun. Anti merasa serba salah. Kedua suster
sekolah berpandangan satu sama lain. Sementara, Ibu dari anak yang dipukul
Junior bertolak pinggang dengan tatapan sinisnya.
“Aku
benar-benar minta maaf.” Ujar Anti lagi sambil kembali menunduk di depan Ibu
dari anak yang terlihat babak belur berdiri di sebelahnya. “Kenta Junior, cepat
minta maaf!” Perintah Anti lagi.
Junior
tidak mempedulikan kata-kata Anti dan membuang pandangannya ke arah lain. Anti
segera menarik tangannya dan mencoba menundukan kepala Junior di depan anak
yang sudah dipukuli Junior sampai babak belur. Junior tetap menolak untuk
meminta maaf. Mata Junior terarah pada anak yang babak belur di depannya dan
mengepalkan tangannya di samping kedua tubuhnya.
“Junior.”
Ujar Anti lagi mencoba meminta agar Junior mau meminta maaf pada korban
pemukulannya. “Kau harus belajar bertanggung jawab. Setidaknya mulailah dari
meminta maaf pada orang yang sudah kau lukai.” Pekik Anti pada Junior.
Junior
menatap wajah Anti dengan tatapan kesal dan menepis tangan Anti dari bahunya.
Junior segera berjalan keluar dari ruangan itu dan menendang bak sampah di
dekat pintu sebelum akhirnya berlari menjauhi Anti.
“Kenta
Junior!” Panggil Anti dengan keras. “Jun!” Panggil Anti sekali lagi, tetapi itu
tidak menghentikan langkah Junior yang sudah tidak terlihat lagi.
Anti
berusaha menebalkan wajahnya dan kembali tertunduk untuk meminta maaf.
“Maaf.
Aku tidak bisa mengajari anak ku dengan baik. Aku akan mengajarinya lagi agar
dia tidak melakukan kesalahan kelak.” Janji Anti di depan kedua suster, Ibu
korban dan korban pemukulan Junior.
“Sh,
seharusnya kau itu tidak menaruh anak mu di sekolah, tapi di ring tinju.” Ujar
Ibu korban itu dengan nada sinis. “Aku mengerti. Wajar saja dia seperti itu,
karena tidak punya ayah untuk mengajarinya. Anak nakal seperti itu, entah
bagaimana wanita seperti mu bisa membuat dia lebih baik.” Ujar Ibu korban lagi.
“Aku
benar-benar minta maaf.” Ujar Anti lagi.
“Apa
gunanya meminta maaf sekarang? Anak ku sudah babak belur seperti ini, apa kau
bisa tanggung jawab? Benar kata anak ku, anak haram seperti itu, tidak pantas
berada di sekolah ini. Jangankan mendengarkan perkataan orang lain, ibunya
sendiri tidak didengar. Seharusnya kau punya suami untuk menghajar anak itu.”
Keluh Ibu korban itu tanpa berhenti menghina Junior.
Kesabaran
manusia memang ada batasnya. Anti sudah tidak lagi peduli kali ini dia berada
di sekolah atau pasar, baginya kata-kata yang baru didengarnya tidak bisa di
terima lagi. Anti segera menatap wanita itu dengan tatapan penuh kemarahan.
“Maaf.”
Desis Anti. “Tapi, Junior bukanlah anak haram.” Ujar Anti dengan segera sambil
mendekat ke arah wanita itu. “Kenta Junior adalah anak ku, dan dia bukan anak
haram. Tolong jaga kata-kata anda.” Ujar Anti seolah mengancam wanita itu.
“Apa?”
Desis Ibu korban membalas tatapan Anti dengan mata mendelik.
“Kau
tuli?” Tanya Anti begitu saja.
Wanita
itu mulai terlihat kebingungan dan menatap ke arah kedua suster seolah ingin
mencari alasan mengapa dirinya mendapat perlakuan seperti itu dari Anti.
“Dua
bulan lalu, Jun memukul kakak kelasnya yang tubuhnya lebih besar dari anak mu
karena anak itu sudah menghina Jun dan menyebut aku sebagai pelacur. Aku rasa,
hari ini kasus yang sama terulang lagi. Apa kau tidak punya orangtua?” Tanya
Anti di depan wajah wanita itu. “Kalau seorang anak menyebut anak mu sebagai
anak haram dan ibunya pelacur, apa anak mu begitu bodohnya menerima perkataan
itu?” Anti kembali bertanya pada wanita itu dengan tatapan yang sama. “Kalau
kau tidak mau diejek dengan kata-kata itu, maka jangan perlakukan orang lain
seperti itu. Pelacur pun tidak mau diejek sebagai pelacur. Tidakkah kau
mengajari anak mu untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bicara? Mulut itu
bukan bokong yang tidak bisa menahan untuk buang angin.”
Wanita
itu terdiam dan tidak bisa mengatakan apapun untuk membela diri. Bocah yang
berdiri di sampingnya terlihat menunduk ketakutan.
“Sebaiknya
kau yang mengajari putra mu untuk menjaga mulutnya agar tidak seperti mulut mu
yang bau itu.” Ujar Anti dengan nada tegas. “Permisi.” Ujar Anti sambil
melangkah meninggalkan ruangan itu dengan segera.
Anti
akhirnya melepaskan sedikit emosinya. Meskipun tubuhnya masih gemetar karena
menahan emosi, matanya tidak berhenti mencari anak satu-satunya itu. Junior
sepertinya sudah berlari jauh dari sekolah. Anti mencoba menelusuri jalan raya
dan mencari Junior di setiap sisi jalanan yang dilaluinya. Sesekali Anti
menggigit kuku jempol kanannya sambil mencoba mengatur nafasnya. Di perempatan
yang dilaluinya, Anti memilih jalan yang biasa ditempuh Junior untuk
pulang-pergi ke sekolahnya, dan mata Anti akhirnya menemukan Junior yang
berjalan menyusuri pinggiran trotoar memanggul tasnya dan menunduk memandangi
setiap langkah kakinya sendiri.
Anti
tidak segera berlari ke arah Junior, melainkan mengikuti anak yang belum genap
berusia tiga belas tahun itu dari belakang. Anti mencoba mengeluarkan nafasnya
yang berat dari hidung beberapa kali untuk menghilangkan rasa sesak di dada
akibat gejolak emosinya yang baru saja keluar. Junior menyadari kehadiran Anti
dari cermin di dalam toko tempat cukur. Anak itu segera berlari menjauh dari
Anti karena merasa malu pada Mamanya karena sudah membuat masalah. Dua bulan
lalu setelah Junior memukul kakak kelasnya, Mamanya berusaha tersenyum dan
tidak mengungkit masalah yang dilakukannya di sekolah. Junior merasa sudah
menyakiti perasaan Mamanya yang tidak pernah mau terlihat marah di depannya.
Anti
berhenti sejenak saat Junior yang mencoba berlari menjauhinya, terjatuh karena
kakinya menabrak hydran di pinggir jalan. Anti segera berlari saat melihat
pundak Junior bergetar seolah menahan tangisan atau memang sudah menangis. Anti
segera memeluk erat Junior yang ternyata sudah menangis terduduk di atas
trotoar.
“Maaf.”
Bisik Anti pada Junior.
Tangisan
Junior semakin menjadi keras. Anti menarik dagu anaknya dan menghapus air mata
yang turun dari mata bocah itu dengan kedua tangannya.
“Jangan
menangis lagi. Mama yang salah. Jangan menangis, kau bukan anak kecil lagi,
kan?” Bisik Anti pada Junior sambil memeluk tubuh Junior lagi.
Anti
mencoba untuk tersenyum lebar di depan Junior, dan menghapus air mata Junior
yang masih membasahi pipinya. Anti segera memeluk Junior lagi dengan lebih
erat. Josh yang sudah melihat mereka dari kejauhan segera memberhentikan
mobilnya dan menghampiri mereka.
“Naiklah
ke mobil. Kita ke rumah dulu.” Ujar Josh.
Anti
tersenyum menatap Junior dan menarik tangannya. Junior masih terdiam dan tidak
melakukan apa-apa. Josh membukakan pintu belakang mobil, dan Junior segera
masuk ke dalam mobil dengan wajah yang masih penuh kekesalan. Josh melajukan
mobilnya setelah Anti duduk di bangku samping tempatnya duduk. Dua bulan lalu,
atmosfer seperti ini terjadi di mobil Anti yang saat itu juga di kendarai Josh.
Junior terdiam sepanjang jalan, sementara tangan Anti tidak hentinya gemetar.
Semua terdiam dan tidak berusaha untuk menciptakan suatu pembicaraan.
Ponsel
Anti kembali berdering. Anti baru menyadari bahwa ada seseorang yang tengah
menunggunya di kantor. Kemarin, dia meminta Viena untuk menghubungi penulis
baru yang tampaknya menarik perhatian bos besar perusahaan publishing tempatnya
bekerja. Anti segera menekan tombol hijau pada ponselnya dan mendekatkan
ponselnya ke telinga.
“Viena,
maaf. Aku ada urusan penting di sekolah Jun hari ini. Bisakah kau mengatur
ulang pertemuan ku dengan penulis baru itu?” Tanya Anti segera. “Jam satu besok
siang. Baiklah.” Ujar anti mengakhiri pembicaraannya dengan Viena.
Suasana
di dalam mobil kembali sepi. Junior mendapati tangan Anti yang masih gemetar
menahan emosi sesaat setelah mengembalikan ponselnya ke dalam tas. Josh juga
masih memperhatikan tangan Anti yang terus saja gemetaran sesekali. Josh yakin,
minggu ini Anti banyak memiliki masalah yang mungkin membuatnya marah besar,
sampai harus menahan emosi sebanyak itu hingga hari ini. Junior segera berlari
keluar dari mobil saat mereka sudah sampai di rumah. Anak itu naik ke lantai
atas dan mengurung dirinya di kamar.
“Jun.”
Panggil Anti.
Junior
tidak menghiraukan panggilan Anti yag masih menatap anak tangga, berdiri dengan
tubuh gemetaran di ruang tengah. Entah mengapa pemandangan ini membawa ingatan
Josh pada hari di mana Kenta Jo menghembuskan nafas terakhir. Tanpa sadar Josh
sudah melangkah dan memeluk tubuh Anti dari belakang. Anti tertunduk dan
menangis untuk waktu yang lama. Josh mempererat pelukannya pada bahu temannya
itu. Mereka tidak berbicara satu sama lain.
***
“Maaf
ya.” Ujar Viena pada Cleo yang sudah menunggu Anti di ruangannya selama
beberapa menit.
Cleo
merasa sedikit kecewa, tapi tidak ada yang dapat dilakukan kecuali pulang. Toh,
besok siang Viena meyakinkan Cleo, kalau atasannya tidak akan ingkar janji.
“Tidak
apa-apa.” Ujar Cleo sambil melangkah keluar bersama Viena. “Besok aku akan
datang lagi.”
“Maaf.
Aku benar-benar tidak enak pada mu karena kau sudah datang tepat waktu, tapi
atasan ku ada urusan dengan anaknya secara tiba-tiba.” Ujar Viena dengan wajah
menahan rasa malu.
“Ini
waktu makan siang mu kan? Bagaimana kalau kita makan siang saja?” Ajak Cleo
tiba-tiba. “Kita kan sudah lama tidak makan siang bersama.”
Viena
segera tersenyum dan menarik dompetnya yang tergeletak di atas meja. “Baiklah.
Ayo. Biar aku yang traktir.” Ujar Viena.
“Benar?”
Tanya Cleo. “Asik. Kenapa tidak sering-sering saja kau begini?” Canda Cleo.
Mereka
segera berjalan ke arah elevator dan Viena menekan tombol turun pada dinding di
sebelah pintu elevator. Cleo segera teringat pada sebuah cerita lama yang di
bacanya entah di mana.
“Lift ini kusebut ‘elevator cinta’. Disinilah pertemuan perdana untuk aku
dan dia berpapasan, bertemu dan berkenalan. Tempat bersejarah dalam kehidupan
cinta kami, cinta yang membuat ku sadar, cinta inilah yang harus ku miliki.”
Desis Cleo mengutip salah satu awal cerita dari salah satu karya tulis
seseorang yang pernah dibacanya.
Viena yang mendengar suara desisan Cleo segera mengarahkan pandangannya
pada Cleo. Saat itu, putra bos besar perusahaan publishing itu terlihat sekilas
tersenyum padanya. Viena seringkali jadi salah tingkah karena senyuman itu, dan hari ini
pun begitu. Cleo menatap wajah Viena yang memerah dan sedang mengarahkan
pandagannya pada orang yang berada di sebelah kanan Cleo. Cleo segera melirik
ke arah pria yang ada di sebelah kanannya dan menatap wajah pria setengah tua
yang mengenakan setelan jas dan tampak masih tampan. Lalu, Cleo mengalihkan
pandangannya ke arah Viena yang masih terpaku pada pria itu. Cleo mulai
celingak-celinguk tidak tahu harus mengatakan apa.
“Itu kutipan awal dari novel berjudul ‘Hati Beku’ yang ditulis salah satu
penulis andalan kami.” Ujar Pria itu pada Cleo secara tiba-tiba.
Cleo
melirik ke arah pria itu dan mengangguk-angguk sendiri. Viena segera tersadar
dari lamunannya saat suara pintu elevator di depannya terbuka. Mereka masuk ke
dalam elevator yang sama dan suasana terlihat sepi untuk sesaat.
“Apa
kau suka kutipan itu?” Tanya pria itu pada Cleo.
Cleo
segera tersenyum. “Aku tidak tahu di mana membaca kutipan itu, tapi sejak
pertama membacanya sepertinya kata-kata itu sudah menempel di otak ku.” Ujar
Cleo.
"Itu
adalah kutipan favorit ku juga. Gaya bahasa yang dipakai benar-benar sederhana,
dan itu sungguh membuat ku kagum padanya." Ujar Pria itu.
Viena
masih terdiam menatap pria itu dengan tatapan penuh rasa kagum dan terdiam
dengan wajah memerah, dan mulut terbuka. Cleo menyadari ekspresi wajah Viena
yang tampak seperti orang bodoh itu bisa terbaca oleh Pria di sebelahnya. Cleo segera menyikut pinggang Viena sebelum
pria di sebelahnya menyadari tatapan aneh Viena. Tepat sebelum pria itu
menyadari keberadaan Viena yang berdiri
di samping Cleo, Viena menutup mulutnya dan tersenyum pada pria itu.
"Mbak
Viena." Sapa pria itu. "Apa kabar?" tanya pria itu dengan senyum
lebar.
"Baik."
Ujar Viena dengan segera. "Makan siang juga, pak Dennis?" Tanya Viena
mencoba berbasa-basi.
Pria
itu tersenyum lagi. "Tadi baru saja selesai meeting, jadi baru bisa makan
sekarang." Ujar pria itu yang di sebut Dennis itu. "Kalian juga baru
makan siang?" Tanyanya.
"Ah,
iya." Ujar Viena segera.
"Teman
mu?" Tanya Pak Dennis sambil mengarahkan pandangannya pada Cleo.
"Bu
Anti sebenarnya ingin bertemu dengan dia hari ini. Tapi, karena ada urusan
mendadak, dibatalkan." Ujar Viena.
"Oh."
Balas Dennis singkat. "Panggil saja Dennis." Ujarnya lagi sambil
mengarahkan tangannya di depan Cleo sambil memperkenalkan diri.
"Cleo."
Ujar Cleo gantian memperkenalkan diri sambil menyalam pria itu.
"Apa
kau yang menulis naskah yang diperbincangkan Ayah dan Ibu ku? Ku dengar Anti
akan membantu mu untuk proses edit agar karya pertama mu bisa naik cetak."
Ujar Dennis. "Semangat, ya." Ujar Dennis mengakhiri pembicaraan saat
mereka melangkah keluar elevator.
"Terima
kasih." Ujar Cleo sambil menundukan kepalanya.
Viena
segera menahan suara memekik yang hampir keluar dari mulutnya saat Dennis sudah
berjarak cukup jauh dari mereka.
"Ahh,
..." Pekik Viena saat Cleo menarik tangan temannya itu.
"Apa
itu tadi? kenapa menunjukan wajah seperti orang bodoh begitu di depan pria yang
kau suka?" Tanya Cleo.
Viena
segera menatap Cleo dengan lekat. "Apa iya seperti orang bodoh?"
Tanya Viena segera. "Aduh, aku malu sekali." Ujar Viena lagi.
Cleo
hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Lain kali sepertinya aku harus
menunjukan cermin di depan wajah mu saat kau membuat ekspresi wajah seperti
tadi. Apa kau tidak bisa menahan ekspresi normal mu? Di mana harga diri mu yang
tinggi dulu sewaktu masih menjadi ketua Himpunan jurusan bahasa Jepang?"
Tanya Cleo, lalu wanita itu mendengus.
"Kau
tidak tahu apa-apa. Pria yang tadi itu adalah anak dari pemilik perusahaan ini.
Hal yang jarang bisa ngobrol dan satu elevator dengannya. Dia kan super
sibuk." Ujar Viena memberi alasan. "Tapi, dari mana kau tahu aku
menyukai pria itu?" Tanya Viena.
"Entahlah,
mungkin dari ekspresi wajah bodoh mu tadi. Tapi, kalau dia anak bos mu,
sebaiknya lupakan saja." Ujar Cleo.
"Kenapa?
Memangnya tidak boleh menyukai anak bos?" Protes Viena. "Aku sadar
diri kok, aku tidak sepadan dengannya." Ujar Viena lagi.
"Kalau
begitu segera lupakan saja perasaan seperti itu. Untuk apa menahan cinta yang
bertepuk sebelah tangan seperti itu?" Balas Cleo.
"Itulah
mengapa dia bilang kau tidak realistis terhadap cinta." Desis Viena
mengulang perkataan Anti sewaktu mengomentari karya Cleo.
"Apa
maksudnya?" Tanya Cleo. "Yang tidak realistis itu adalah orang yang
seperti katak dalam tempurung." Ujar Cleo.
"Pungguk
merindukan bulan." Ujar Viena membetulkan peribahasa yang seharusnya
dipakai Cleo.
"Ya,
apalah itu. Intinya, kau seharusnya tahu kalau cinta yang seperti itu tidak akan
bisa kau raih. Percuma saja." Ujar Cleo tak mau kalah.
"Aku
tahu. Tapi, perasaan tidak bisa dilupakan begitu saja seperti ingatan. Lupa
ingatan sekalipun, tetap tidak bisa lupa perasaan." Ujar Viena.
Cleo
hanya bisa terdiam mendengar perkataan Viena. Menurut Cleo, cinta adalah hal
yang seharusnya masuk akal, memakai logika, dan tidak mengesampikan fakta.
Tapi, Viena sepertinya memiliki pendapatnya sendiri.
***
Junior
tidak kunjung membuka pintu kamar meskipun, Anti mengetuk pintu dan memanggil
namanya berkali-kali. Anti belum juga menyerah dan terus mengetuk sambil
memanggil Junior agar mau membukakan pintu kamarnya yang terkunci dari dalam.
Josh yang melihatnya sejak tadi akhirnya menghentikan gerakan tangan Anti.
"Biar
aku yang bicara padanya." Ujar Josh. "Kau makan siang bersama
Orangtua ku saja. hmm?" Bujuk Josh.
Anti
mengangguk perlahan tapi tidak juga beranjak dari sana sampai akhirnya Josh
mendorongnya bahu Anti ke dekat tangga.
"Cepat
sana." Ujar Josh dengan nada lembut.
Anti
sekali lagi mengarahkan pandangannya pada pintu kamar bertuliskan nama Junior.
Lalu, wanita itu melirik ke arah Josh yang segera mengisyaratkannya untuk
turun. Akhirnya Anti menuruni anak tangga itu dengan langkah perlahan. Di
wajahnya masih menempel ekspresi antara tak berdaya dan kemarahan yang
ditahannya. Anti menghela nafasnya seolah ingin mengeluarkan beban yang sedang
diangkut hatinya. Josh memang selalu bisa mengajak Junior untuk bicara dari
hati ke hati. Entah karena mereka sama-sama pria, atau karena selama ini Josh-lah
yang menggantikan sosok ayah yang mungkin diinginkan Junior.
"Kami
jadi menyusahkan mu." Desis Pria tua yang sudah duduk di depan meja makan
bersama istrinya, menunggu Anti untuk turun sejak tadi.
"Tidak.
Sama sekali tidak, Om. Ayo, kita makan." Ajak Anti pada kedua orang itu.
Anti
segera duduk di depan meja makan dan berusaha untuk tidak menunjukan ekspresi
wajah lain, selain senyum yang dibuatnya se-alami mungkin. Pasangan tua itu
memang tidak membuatnya merasa kesulitan, atau kesal. Jadi, Anti berusaha agar
keduanya merasa nyaman untuk tinggal di rumahnya.
Josh
mengetuk pintu kamar Junior dan memanggil nama Junior dengan suara kecil.
Junior segera membuka pintu kamarnya dan membiarkan pria itu masuk. Bagi
Junior, Josh adalah sosok pria dewasa yang ingin sekali diajaknya untuk tinggal
di rumah itu, agar mereka bisa lebih sering untuk saling berbicara layaknya
sesama pria.
Josh
berjongkok di depan ranjang tempat Junior duduk. Mereka mulai saling menatap
dan tersenyum satu sama lain.
"Kenapa
kau melakukannya lagi? Paman bilang waktu itu kan, lain kali kalau kau mau
menghajar orang seperti itu, lakukanlah di luar sekolah." Ujar Josh sambil
mengacak-acak rambut Junior.
"Bocah
tengik itu menyebut Mama sebagai pelacur. Aku tidak tahu kenapa aku memukulnya.
Aku hanya merasa kesal. Aku lupa kalau itu masih di sekolah. Dia langsung
berlari mengadu pada suster." Ujar Junior. "Paman, apa Mama
marah?" Tanya Junior.
"Kau
ingin melihat Mama mu marah?" Tanya Josh.
Junior
tertunduk dan kembali memandang Josh saat Josh menggelengkan kepalanya.
"Mama
mu bukan orang yang bisa marah pada anaknya." Ujar Josh. "Apalagi,
Mama mu juga tahu, kalau kau tidak sepenuhnya bisa disalahkan." lanjut
Josh.
"Aku
tahu, aku hanya bisa membuatnya sedih. Aku tahu setiap kali tangannya bergetar saat
menahan kemarahannya, Mama sebenarnya marah pada dirinya sendiri." Ujar
Junior.
"Kau
juga bisa melihat kebiasaan Mama mu kan. Dia tidak akan marah pada mu. Hanya
suaranya saja yang keras, tapi sebenarnya hatinya tidak sekeras itu." Ujar
Josh. "Dia akan semakin sedih kalau kau mengurung diri seperti ini.
Sebaiknya kau keluar dan makan bersama kami." Ujar Josh lagi.
"Aku
tidak suka melihat Mama menahan kemarahannya sendiri, lalu menangis di dalam
bathtub sendirian. Lebih baik kalau dia marah pada ku." Ujar Junior.
Josh
merangkul kepala Junior dan tertawa kecil. "Itu kebiasaannya. Mana mungkin
kita bisa mengharapkan kebiasaan yang bertahun-tahun dilakukan, hilang begitu
saja." Ujar Josh. "Menurut Mama mu, air bisa menghilangkan emosi di
hatinya walau hanya untuk sesaat. Dia tidak ingin orang lain, terutama kau
untuk melihat ekspresi sedih atau marah di wajahnya. Itu sebabnya, jangan
membuatnya khawatir lagi." lanjut Josh.
Junior
mengangguk dan mengikuti langkah Josh yang merangkulnya untuk keluar dari kamarnya.
Junior memandangi pria di sebelahnya ini dan tersenyum.
"Paman,
bisakah paman tinggal bersama kami? Aku ingin paman ada di rumah ini. Hanya
paman yang bisa menghibur Mama saat sedih." Ujar Junior sambil menuruni
anak tangga.
Josh
hanya tersenyum menanggapi permintaan Junior. Tangan Josh lagi-lagi mengacak
rambut Junior.
"Permintaan
apa itu? mengatasnamakan Mama mu." Desis Josh pada Junior.
Dalam
hatinya, Josh mengerti mengapa Junior beranggapan seperti itu. Selama ini, Anti
tidak pernah mengencani pria, apalagi berpikir untuk menikah. Satu-satunya pria
yang selalu datang saat masalah muncul dalam kehidupan Anti ataupun Junior
adalah Josh. Josh sendiri tidak mengerti mengapa dirinya begitu peduli pada
Anti dan Junior, walaupun terkadang Josh merasa jenuh pada dua orang itu.
Mungkin karena Anti adalah temannya, atau karena Anti terlihat begitu kesepian,
atau juga karena Junior adalah anak yang didapatkan Anti dari proses inseminasi
dengan tanda tangan Josh sebagai penjamin yang membuat Josh merasa memiliki
tanggung jawab yang sama dengan Anti untuk merawatnya.
***
Sesampainya
di rumah Steve, Josh hanya berbaring di kasur extension dan menutup matanya.
Steve sibuk menceritakan wanita yang tadi sore dikencaninya sambil
mengotak-atik komputer.
"Aku
mengajaknya makan di restauran korea tadi. Kau tahu, wanita itu bilang apa saat
merasakan kimchi? Dia bilang sayur itu sudah busuk dan bau. Bagaimana mungkin
di zaman ini ada orang yang tidak tahu Kimchi." Ujar Steve. "Yang
lebih, benar-benar memalukan adalah saat wanita itu menggunakan sumpit dengan
kedua tangannya seolah itu adalah garpu dan sendok. Aku rasa semua pengunjung
restauran itu melihat ke arah kami." Lanjut Steve.
Josh
tidak menanggapi kata-kata steve sama sekali. Tapi, Steve tetap bercerita
mengenai kencannya terus.
"Kau
tahu, wanita yang wajahnya cantik, biasanya memang tidak memiliki pengetahuan
se-cantik wajahnya. Sama seperti wanita berdada besar, umumnya otak mereka
tidak sebesar dada mereka yang menggoda." Ujar Steve lagi sambil
menggerakan jari tangannya di depan, seolah sedang meremas sesuatu. "Lihat
foto ini. Wanita ini adalah kencan ku hari ini. Wajahnya cukup manis,
kan?" Tanya Steve lalu berbalik melihat Josh yang tetap berbaring tanpa
menghiraukannya.
Steve
segera meraih bantal dan melempar wajah Josh dengan bantal itu. Josh membuka
mata dan melihat Steve dengan tatapan seolah tidak tahu apa yang dilakukan
Steve. Josh kembali menutup matanya setelah melemparkan bantal itu ke arah
ranjang.
"Kau
itu kenapa sih?" Tanya Steve. "Aku sedang cerita, kau malah pura-pura
tidak dengar." Keluh Steve.
"Aku
tidak mau tahu bagaimana kencan mu." Ujar Josh.
Steve
memegang kedua belah lengannya sendiri. "Brr, dinginnya." Ledek
Steve. "Itulah mengapa selama tigapuluh lima tahun kau tidak pernah
kencan. Pria saja tidak suka melihat cara mu yang dingin memperlakukan
orang." Desis Steve.
Josh
tidak bergeming sedikit pun. Steve segera mendekati Josh.
"Bagaimana
kalau kau mulai kencan? Mungkin sikap dingin mu itu bisa berubah perlahan
dengan berkencan. Biar aku carikan wanita yang kira-kira tepat untuk bisa
mengimbangi mu. Bagaimana kalau wanita yang 'hot'? Kau suka wanita yang seperti
apa? Katakan saja, kita kan teman. Aku akan carikan yang sesuai." Ujar
Steve.
"Besok
aku akan ke penerbit." Ujar Josh singkat.
Steve
menunggu kata-kata Josh selanjutnya. Tapi, pria itu tidak mengatakan apa-apa
lagi. Steve kembali melemparkan bantal ke arah Josh. Josh justru membalikan
badan memunggungi Steve setelah melemparkan bantal yang mengenainya tadi ke
arah Steve.
"Kau
tahu, aku rasa kau harus bilang pada ku sekarang juga. Apa kau gay?" Tanya
Steve.
Josh
yang sejak tadi terdiam memunggungi Steve, akhirnya berbalik menatap Steve
dengan pandangan kesal.
"Aku
sudah pernah kencan dengan wanita, pacaran dengan wanita, dan aku bukan gay. Kau
puas?" Tanya Josh.
"Tapi
menurut penelitian straight juga bisa jadi homoseksual. Kau sudah belasan tahun
tidak pacaran, mungkin saja kan kau sudah berubah haluan? Sebaiknya kau
kencan." Ujar Steve. "Dan kau harus ingat aku masih masih jadi
penyuka lawan jenis. Jangan meraba tubuh ku saat aku tidur nanti ya."
Canda Steve.
Josh
segera berbalik memunggungi Steve.
"Ku
carikan yang seksi, mau?" Goda Steve lagi.
"Tidak
usah. Terima kasih." Ujar Josh.
"Atau,
ku carikan yang pintar dan terlihat cerdas?" Tanya Steve. "Atau,
sebenarnya kau ingin wanita yang seperti editor mu? Pintar mengurus semua hal,
strata dua, menguasai tiga bahasa asing, seksi, dan aku rasa di usianya
sekarang Anti terlihat cantik." Lanjut Steve. "Kalau ada yang seperti
itu dan lebih muda sedikit saja dari ku, aku pasti sudah mengejarnya."
"Berisik."
Desis Josh yang segera menutup telinganya dengan bantal.
***
Cleo
berlari ke arah stasiun kereta api secepatnya dan membeli tiket untuk
perjalanan ke Jakarta. Di saat bersamaan Josh mengantri di line yang sama
dengannya. Josh sempat terkejut melihat Cleo, tetangga Steve yang dianggapnya
aneh itu berdiri di sampingnya saat menunggu kereta. Tapi, Josh memutuskan
untuk berpura-pura tidak mengenali wanita di sampingnya itu.
Saat
kereta datang dan beberapa orang berebut menaiki kereta itu, Cleo tampak
kesulitan karena tidak terbiasa dengan angkutan umum seperti kereta. Sudah lama
sekali dia tidak menaiki kereta yang mengharuskannya bersaing dengan ibu-ibu
yang membawa barang dan suka sekali melanggar antrian, atau dengan bapak-bapak
yang diam-diam menyelam sambil minum air, alias mencari kesempatan berdempetan
dengan wanita yang terlihat masih muda. Cleo tidak mendapatkan tempat untuk
duduk dan berdiri di gerbong yang sama dengan Josh. Beberapa kali, Cleo melirik
kanan-kiri dan mencoba mengingat di mana dia harus turun. Dengan kedua tangan
terangkat, Cleo memegangi tiang yang ada di kereta agar dirinya tidak terjatuh
atau kehilangan keseimbangannya saat berdesakan di antar penumpang kereta pagi
itu.
Cleo
memang masih memiliki banyak waktu untuk pergi ke kantor penerbit yang
memanggilnya. Tapi, Cleo merasa lebih nyaman jika datang lebih cepat dan lebih
baik menunggu daripada harus membuat orang lain menunggunya. Lagipula, rasanya
sudah nyaris tujuh tahun dia tidak menggunakan transportasi umum seperti hari
ini. Sesekali Cleo ingin mencari suasana baru yang memungkinkan dia untuk
memperhatikan sekitarnya. Cleo teringat seorang wanita pernah mengatakan hal
itu sebelumnya pada wanita tigapuluh tahun ini.
“Melihat
sekeliling, memperhatikan, dan memahami hal yang terkadang tidak dipikirkan
oleh orang lain akan membantu kalian membuat karya tulis yang akan merubah
pandangan dunia orang yang membacanya. Itu sebabnya orang mengatakan kalau buku
adalah jendela dunia. Karena di dalam sebuah buku penulisnya akan mencurahkan
seluruh tenaga, usaha, pikiran, dan perasaan mereka tentang hal yang ingin
dibaginya dengan pembaca.” Wanita itu mengatakannya di depan kuliah umum yang
diadakan di kampusnya belasan tahun lalu.
Perkataan
itu membuat Cleo yang awalnya malas membaca, menjadi pembaca yang rajin
memperhatikan buku-buku baru. Cleo bukan hanya mengoleksi buku-bukunya, tapi
juga memiliki impian baru sebagai penulis. Cleo yakin, dirinya bisa merubah
pandangan dunia dengan menuliskan karya yang baik bagi pembaca.
“Karya
ku kelak akan bisa merubah dunia dalam pandangan orang yang membacanya. Aku
yakin itu.” Bisik hati kecil Cleo sambil mengepalkan sebelah tangannya di depan
dada sambil komat-kamit seorang diri.
Josh
yang sesekali melirik ke arah Cleo tersenyum-senyum sendiri karena melihat
tingkah Cleo. Dalam pikirannya, Josh merasa wanita itu sudah gila. Tidak hanya
di kamarnya, bahkan di tempat umum seperti ini, wanita aneh itu masih saja
melakukan gerakan-gerakan aneh seperti yang dilihatnya beberapa hari ini. Josh
menyadari stasiun berikutnya adalah tempatnya untuk berhenti. Josh tidak lagi
memperhatikan sekitar. Pria itu hanya berharap secepatnya sampai di kantor
penerbit, dan bertemu dengan Anti.
Josh
segera turun ketika kereta berhenti di stasiun Dukuh Atas, Jakarta dan siap
untuk berjalan keluar dari stasiun saat seorang terjatuh di depan pintu kereta.
Josh awalnya tidak begitu peduli pada suara jatuh itu. Dilihatnya kereta sudah
jalan kembali, dia berpikir seorang petugas stasiun pasti sudah
menyelamatkannya. Meskipun berpikir seperti itu, akhirnya Josh tetap saja
berbalik untuk melihat seseorang di belakangnya tadi yang terjatuh saat kereta
sudah mulai berjalan.
Wanita
yang dianggapnya aneh itu masih terduduk sambil mengusap-usap lututnya yang
terjatuh saat keluar dari kereta. Josh merasa sedikit kasihan dan menyesal
tidak berbalik menolong wanita itu. Tapi, perasaan itu segera ditepisnya. Josh
melanjutkan langkahnya, dan memutuskan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Tak
berapa lama, Josh dapat mendengar teriakan wanita itu seperti sedang meneriaki
seseorang.
“Copet.”
Pekik wanita itu sambil berusaha berdiri, mengejar pria tinggi besar yang
mengambil tas pinggangnya yang tadi terjatuh di depan wanita itu.
Josh
merasa hati nuraninya tidak dapat berbohong lagi. Wanita itu mungkin tidak
mengenalnya, tapi dia jelas pernah mengetahui wanita itu sebelumnya. Walaupun
ingin berpura-pura tidak mendengar teriakan itu seperti orang lain yang tidak
berani menolong, Josh tidak bisa menghentikan gerakan spontannya yang segera
berbalik dan mencari pria yang mengambil tas pinggang wanita itu. Josh melihat
wajah pria yang mencurigakan membawa tas pinggang berwarna pink mencolok, yang
dirasa tidak pantas untuk dibawa pria berwajah garang itu. Josh mengarahkan
kakinya ke arah tulang kering yang berada di bawah lutut pria itu, menohok
leher pria itu hingga pria itu menjatuhkan tas pinggang yang diambilnya. Cleo
yang mencoba berjalan meskipun lututnya masih terasa perih, terkagum melihat
seorang pria menghajar pria bertubuh besar yang mengambil tas pinggangnya
dengan cepat, dan membuat pria sangar itu terjatuh.
“Tidak
apa-apa, kan?” Tanpa sadar Josh mengatakan hal itu pada Cleo yang segera
bertepuk tangan di depannya.
Josh
langsung menyadari orang di sekeliling mereka mulai memperhatikannya. Beberapa
orang memuji tindakan Josh yang berani. Mereka mulai berkerumun dan tersenyum
menatap Josh, seolah adegan tadi adalah tontonan. Beberapa lainnya mengarahkan
ponsel mereka ke wajah Josh, seolah pria ini adalah artis yang sedang melakukan
syuting film action. Pria bertubuh besar itu pun menggunakan kesempatan ini
untuk kabur. Tapi kaki Josh segera menginjak tangan pria itu. Beberapa petugas
pengamanan stasiun mulai datang dan menangkap pria bertubuh besar itu. Cleo dan
Josh terpaksa harus ikut ke ruangan kepala stasiun untuk ditanya-tanya oleh
polisi. Mereka juga harus menunggu pihak kepolisian untuk membuat berita acara.
“Mungkin
ini salah satu alasan mengapa orang-orang tidak mau menolong orang lain saat
mereka berteriak meminta tolong. Karena setelah menolong orang, mereka masih
harus menyediakan waktu untuk menjadi saksi mata dari kasus itu. Cukup membuang
waktu.” Pikir Josh saat menunggu proses pembuatan berita acara selesai.
Cleo
tampak seru menceritakan bagaimana kejadian tadi sebenarnya terjadi. Josh
melirik jam tangannya berulang kali dan mencocokannya dengan jam dinding yang
tergantung di ruang kepala stasiun kereta. Berapa kali pun mencoba mencari
perbedaan jam tangan dan jam dinding itu tetap menunjukan sekitar pukul 10.35.
Josh hanya bisa menahan rasa kesal karena setelah menolong orang pun, dia masih
harus membuang waktunya di tempat itu. Sesekali Josh melirik ke arah Cleo dan
menyadari bahwa wanita yang ditolongnya itu bukan gila, hanya saja wanita ini
overacting, dan mungkin sudah tingkat dewa. Hal itu pun terpikirkan jika memang
dewa overacting itu ada. Josh memegangi kepalanya sendiri karena sudah bosan
menunggu lama di tempat itu. Karena menunggu memang merupakan pekerjaan yang
paling melelahkan di dunia ini bagi Josh.
“Jika
menolong orang itu, tidak boleh setengah-setengah.” Kata-kata Mamanya-lah yang
berusaha diulang Josh dalam hatinya berkali-kali untuk menghindari perasaan
menyesal karena sudah menolong orang.
“Kenapa
juga harus memakan waktu se-lama ini?” Pikir Josh saat mendapati mata polisi
yang sedang mengetik surat berita acara sibuk memperhatikan ke arah selain
wajah wanita yang sempat kehilangan tas pinggangnya itu.
Saat
mengalihkan pandangannya ke arah salah satu petugas stasiun, Josh juga
mendapati petugas itu memandangi wanita itu dengan tatapan nakal. Mata mereka
sama-sama tertuju pada bagian yang menonjol di balik kemeja yang dikenakan
wanita itu. Josh menghela nafas saat mendapati arah pandangan sama yang
ditujukan beberapa pria lainnya di ruangan itu. Josh akhirnya merasa terlalu
penasaran dan mulai mengarahkan pandangannya ke arah yang sama. Kini, semua
mata kecuali mata wanita yang sibuk bercerita dengan semangat berapi-api itu,
tengah memandangi bagian di bawah leher wanita itu.
“Hah.
Pantas saja mereka melihatnya dengan tatapan seolah nyaris mengeluarkan air
liur.” Desis Josh saat melihat salah satu kancing bagian atas kemeja yang
dikenakan wanita itu terlepas.
Entah
mengapa, beberapa menit kemudian Josh merasa tidak nyaman untuk memperhatikan
wanita seperti itu. Biar bagaimana pun juga, orang yang melahirkannya adalah
wanita. Rasanya sungguh tidak sopan jika harus bersenang-senang memelototi
bagian itu saat orang yang memilikinya tidak tahu. Mungkin kalau wanita ini
tahu, mereka pasti malu, dan terlebih lagi wanita ini.
“Kenapa
aku malah ikut-ikutan?” Pikir Josh.
Tangan
Josh langsung mencari sesuatu yang biasa diletakannya di salah satu loop
celananya. Kebiasaan yang didapatnya setelah bertahun-tahun mengenal Anti.
Karena, Anti selalu mengatakan kalau terkadang peniti memiliki fungsi lebih
daripada yang dipikirkan orang. Setelah mencopot satu peniti yang ada di loop
celananya, Josh hanya bisa memandanginya.
“Bagaimana
caranya, ya?” Tanya Josh pada dirinya sendiri.
Kalau
wanita itu Anti, Josh merasa pastinya tidak akan canggung untuk memperingatkan
temannya saat kancingnya terlepas. Tapi, mereka bahkan tidak saling mengenal
satu sama lain. Josh akhirnya bangkit berdiri dan melepaskan jaket kulit yang
dipakainya. Josh mendekati meja tempat petugas kepolisian membuat berita acara.
“Aku
ada pekerjaan dan janji hari ini. Apakah berita acaranya sudah selesai?” Tanya
Josh denga segera.
Petugas
itu menyadari kalau dirinya tertangkap basah memperhatikan bagaian tubuh yang
tidak seharusnya dari wanita yang menjadi korban itu. Josh bahkan sengaja
menghalangi pandangan pria-pria itu dengan jaket yang disampirkannya di lengan
kanannya. Para pria di ruangan itu saling berpandangan untuk beberapa saat,
sampai akhirnya mereka berdiri dari tempat duduk mereka.
“Sudah.
Anda dan Saudari Ratu bisa menandatangani berkas berita acara ini.” Ujar
petugas yang tadi mengetik berita acara tersebut.
Josh
segera menandatangani berkas, diikuti oleh Cleo. Josh segera berjalan keluar
dari ruangan itu dan memberikan kode agar Cleo mengikutinya. Cleo
menyalahartikan kode yang diberikan Josh dan menyalami satu persatu petugas
yang ada di tempat itu. Seperti mendapatkan durian runtuh mereka bisa
memandangi dari dekat bagian tubuh Cleo yang tidak sengaja menyembul dibalik
kemeja yang kehilangan kancing bagian atas itu. Josh segera menarik tangan Cleo
sebelum seluruh petugas disalaminya satu persatu. Cleo terkejut dan hanya bisa
mengikuti Josh yang tengah menariknya dan mengajaknya jalan hingga pintu depan
toilet wanita.
Cleo
segera tersenyum lebar dan berterima kasih pada Josh. Wanita itu bahkan
melakukan hal yang sama seperti saat di ruangan tadi, menyalami tangan Josh
dengan kedua tangannya, dan mendekatkan pandangan Josh pada bagian tubuhnya
yang terbuka. Cleo bahkan menunduk sehingga Josh dapat melihat dengan jelas
belahan dada Cleo yang memang masih terbungkus bra berwarna pink. Josh segera
menarik tangannya dan mendorong Cleo ke arah pintu toilet.
“Ini.”
Ujar Josh dengan wajah yang merah padam.
Cleo
tidak mengerti, mengapa pria yang tadi menolongnya mendorongnya dan memberikan
sebuah peniti padanya. Josh menghela nafas dan menarik tangan Cleo, lalu
menaruh peniti itu di tangan Cleo. Josh mengarahkan tangannya ke arah dadanya
sendiri, dan menunjuk ke arah kancing atas kemajanya.
“Kancing
mu terlepas.” Ujar Josh sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Cleo
segera tersadar dan menutupi belahan dadanya dengan tangan yang mengapit
kemejanya. Cleo segera masuk ke dalam toilet dan memandangi kaca toilet sambil mencoba
memasangkan peniti tersebut untuk menggantikan kancing kemajanya yang hilang
entah kemana. Setelah peniti tersebut terpasang dengan baik pada kemejanya,
Cleo segera keluar untuk berterima kasih pada Josh karena sudah membantunya dua
kali dalam beberapa jam ini. Tapi, Josh sudah menghilang dari sana dan Cleo
tidak dapat menemukannya.
“Sudah
pergi.” Keluh Cleo. “Aku bahkan belum berterima kasih. Aku juga tidak tahu
siapa namanya, dan di mana dia bekerja.” Ujar Cleo lagi.
Cleo
akhirnya menyadari jam di tangannya sudah menunjukan pukul 11.30. Wanita itu
akhirnya berjalan dengan terburu-buru keluar dari stasiun dan menunggu minibus
yang biasa lewat disekitar sana, yang mengarah ke kantor penerbit yang dituju
olehnya.
=to be continued=
First Love Story 2
An a.k.a ^Inriani Sianipar^
=to be continued=
First Love Story 2
An a.k.a ^Inriani Sianipar^
Komentar
Posting Komentar